Media Massa & Medsos Dalam Pemilu

  • Bagikan
Media Massa & Medsos Dalam Pemilu
Lat

Oleh Nesten Marianus Marbun

Catatan Bawaslu yang dikutip dari bawaslu.go.id, 4 November 2019, terjadi 18.564 pelanggaran, di antaranya 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik dan 2.057 pelanggaran hukum. Padahal, pascaPemilu dua Capres yang tadinya berkompetisi, bisa duduk bersama, berbincang dan menikmati kopi

Media massa adalah sarana sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, seperti mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia, untuk menyampaikan pesan, informasi sekaligus edukasi kepada masyarakat luas, atau dalam bahasa Soekarno disebut sebagai ‘penyambung lidah’ antara pemerintah dengan masyarakat atau sebaliknya.

Sedangkan media sosial (Medsos) adalah platform digital yang memfasilitasi penggunanya dalam menyampaikan pesan dan informasi berdasarkan ekspresi atau perasaan sesuai dengan keinginan penggunanya, baik secara pribadi maupun kelompok.

Pemilu adalah sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang menjadi hak mutlak bagi bangsa Indonesia sebagai penganut sistem demokrasi, dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berdasarkan Pancasila Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 22 E ayat (6). Dengan kata lain, Pemilu adalah motor penggerak sistem perpolitikan Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting karena melibatkan seluruh elemen dan lapisan masyarakat.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi serta lahirnya media sosial, dan tingginya animo masyarakat dalam menggunakan media sosial, membawa dampak yang luar biasa, terutama dalam pola pikir, etika, norma serta kultur, suku, ras bahkan norma agama. Pengertian Pemilu sebagai kedaulatan bangsa digeser menjadi peralihan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, dan untuk kedaulatan orang tertentu saja.

Hal ini tidak lepas dari aksesnya yang sangat mudah, mulai dari penjuru kota hingga pelosok desa sepanjang ada jaringan telekomunikasi semua bisa memanfaatkan sarana itu. Bahkan penggunanya tidak hanya kawula muda saja, masyarakat usia lanjut sekalipun kini sudah menggunakannya.

Dampak lainnya adalah hubungan sosial (social relationships) dewasa ini seperti kehilangan keseimbangan dan terjadi sangat cepat. Pengaruh ini dipercepat disaat pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu. Salah satu contohnya adalah ‘Cebong’ dan ‘Kampret’.

Dua kata ini ramai diperbincangkan di media sosial pada Pemilu tahun 2019, pendukung calon Presiden A menyebut calon Presiden B dengan sebutan Kampret, sedangkan pendukung calon presiden B menyebut calon presiden A dengan sebutan Cebong.

‘Perseteruan’ dua pendukung calon ini seperti ‘bertarung’ bebas tanpa batas dan tanpa identitas. Tanpa aturan dan tanpa wasit, tidak ada norma dan tidak ada etika. Bahkan, tidak jarang di dalam rumpun satu keluarga yang berbeda pilihan pun terjadi konflik.

Catatan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang dikutip dari bawaslu.go.id, 4 November 2019, terjadi 18.564 pelanggaran, di antaranya 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik dan 2.057 pelanggaran hukum. Padahal, pasca Pemilu dua Capres yang tadinya berkompetisi, bisa duduk bersama, berbincang dan menikmati kopi.

Sementara, narasi Cebong dan Kampret masih berlanjut. Meskipun istilah kata itu kemudian berkurang memasuki tahun kedua pasca Pemilu. Namun, istilah baru akan kembali muncul menjelang, pada saat dan tahun pertama usai Pemilu dilakukan.

Cikal bakal lahirnya kelompok–kelompok sosial yang mengatasnamakan agama, suku dan pola perilaku tertentu juga dari media sosial. Dari sisi bisnis, media sosial memang memiliki nilai positif karena dapat memperoleh dan menyampaikan informasi dengan mudah.

Media sosial juga bisa menjadi alat promosi bisnis yang efektif karena dapat diakses oleh siapa saja, sehingga jaringan promosi bisa lebih luas. Media sosial menjadi bagian yang sangat diperlukan oleh pemasaran bagi banyak perusahaan dan merupakan salah satu cara terbaik untuk menjangkau pelanggan.

Media massa yang digadang-gadang sebagai lawan tanding dari media sosial, seperti berada dalam ‘kepungan’ dan seolah tidak memiliki kemampuan untuk berhadapan langsung dengan media sosial.

Mengapa hal itu terjadi ? Karena pengguna media sosial tidak diikat dengan kode etik, meskipun terbatas karena adanya UU ITE, sedangkan media massa memiliki kode etik (UU Pers No 40 Tahun 1999), kemudian tidak semua lapisan masyarakat mampu mengaksesnya dengan berbagai keterbatasannya.

Walaupun, dari sisi kemanfaatan, media massa memiliki peran penting dalam proses edukasi politik ditengah masyarakat secara luas sekaligus sekaligus menjadi counter black dari informasi yang disajikan media sosial karena memiliki fungsi gate keeper (menyaring informasi untuk disajikan sebagai bahan pemberitaan), terutama dalam penyelenggaraan Pemilu.

Penulis adalah Divisi Data PPK Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbahas.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Media Massa & Medsos Dalam Pemilu

Media Massa & Medsos Dalam Pemilu

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *