Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Makna Pesan Jewer Menjewer

  • Bagikan

Ketika kabar tentang jewer menjewer ini beredar di media, baik media massa dan media sosial, maka interpretasi pesan itu kemudian berkembang. Tidak hanya menjadi milik si pelatih biliar selaku penerima pesan tetapi telah menjadi milik publik secara umum

Ketika Amrozi, tersangka teroris pengebom Bali muncul di berita televisi, dia menampakkan wajah yang tersenyum. Orang Australia di seberang sana lantas mencak-mencak. “Tolong-lah ada orang yang menampar dia (Amrozi) supaya senyum di wajahnya itu menghilang,” teriak mereka penuh derita.

Amrozi dianggap mengejek mereka para korban dan para keluarga korban bom Bali yang telah tewas mengenaskan. Karena dalam pandangan mereka, orang yang masih terlihat “tersenyum manis” setelah melakukan kejahatan besar seperti teror bom Bali adalah penghinaan yang tak terampuni.

Orang Aussie itu tentu tidak tau streotipe orang Jawa seperti Amrozi. Senyum seperti itu disebut sumeh. Pemilik wajah ini akan selalu terlihat seperti tersenyum dalam berbagai kondisi. Baik ketika senang, marah, sedih atau sedang serius. Kita mendefenisikannya sebagai orang yang “murah senyum”.

Air mukanya akan menunjukkan wajah tidak tersenyum hanya pada beberapa saat saja. Selebihnya wajah itu akan mengalami shifting menjadi sumeh. Jadi kalau Anda ngeprank si sumeh ini hingga dia terkejut seterkejutnya, sampai-sampai wajahnya pusat pasi—tapi itu hanya sesaat, karena wajah itu secara ajaib akan tersenyum lagi.

Ini kearifan lokal belaka. Karena orang dengan senyum sumeh di wajahnya adalah orang yang menyampaikan pesan non verbal bahwa dia adalah orang yang akan selalu menghadapi segala masalah yang menderanya dengan senyuman. Jadi ungkapan, “hadapilah dengan senyuman” itu bukan isapan jempol saja.

Tapi betapa pun orang Aussie akhirnya tau soal sumeh, bukan berarti mereka lantas nrimo dan memakluminya. Itu karena selain alam dan latar belakang yang berbeda, mereka juga telah dikuasai oleh emosi dan berbagai kepentingan yang umumnya butuh dijelaskan karena rumitnya. Penyebabnya karena senyum tak pantas diletakkan di wajah orang yang didakwa membunuh banyak nyawa. Itu senyum yang salah tempat.

Maka setidaknya ada tiga perspektif dalam melihat persoalan senyum sumeh ini. Pertama, dari perspektif kearifan dengan segala kandungan filosofis di dalamnya. Kedua, dalam perspektif penerima pesan dengan segala perbedaan latar belakangnya. Dan ketiga, perspektif kepentingan. Di dalam kepentingan ini ada emosi, keinginan, bahkan keserakahan.

Dengan pattern seperti ini saya melihat “keributan” yang terjadi belakangan ini ketika Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menjewer seorang pelatih biliar. Dalam sebuah acara, Edy memanggil ke atas panggung seorang belatih biliar karena tidak tepuk tangan atas prestasi atliet PON Sumut.

Edy lantas menjewer pelatih itu, menyebutnya sontoloyo dan menyuruhnya pulang dan tidak “dipakai” lagi (sebagai pelatih). Pertama, dari perspektif Edy ini adalah hal yang lumrah dalam hubungan patron-client sebagaimana rumusan James Scott (1972). Saya bahkan lebih jauh lagi, bahwa ini adalah kearifan.

Ini adalah hubungan timbal balik dua orang dengan status sosial ekonomi yang berbeda atas dasar saling menguntungkan. Keduanya saling memberi dan saling menerima. Pihak dengan status sosial yang lebih tinggi (patron) dengan adanya sumber daya yang dimiliki memberikan perlindungan serta keuntungan kepada orang dengan status sosial lebih rendah (client).

Scott menyebutkan tiga karakter hubungan patron-client, pertama, ketidakseimbangan pada pertukaran antara patron-client. Patron memiliki posisi, dan juga status sosial yang lebih tinggi dari client.

Sedangkan client adalah individu yang memasuki hubungan pertukaran yang tidak setara dimana ia tidak dapat membalas sepenuhnya dengan materi. Client memiliki kewajiban membalas jasa patron yakni dengan memberikan tenaga dan pengabdian.

Kedua, dari sifat hubungan tatap muka. Patron memilih orang sebagai client. Patron memilih orang yang sudah dikenalnya untuk dapat bekerjasama dan dapat dijadikan client. Meringankan pekerjaan pada hubungan kedekatan adalah salah satu cara yang ditempuh oleh patron.

Singkatnya, patron adalah pihak yang mendominasi dalam hubungan dengan client-nya, dan memang patron harus dominan. Ini hubungan cinta indah yang tak perlu setara. Ini seperti hubungan orang tua dengan anak, kiayi dengan santri, atau seperti komandan dengan prajurit.

Orang tua, kiayi atau komandan sebagai patron boleh menasehati, atau marah kepada client-nya. Bahkan kalau komandan penampar, menonjok bahkan menunjang, itu adalah bentuk cintanya kepada pasukannya. Supaya mereka kuat mental dan fisiknya, gak letoy.

Persepektif kedua, penerima pesan. Si pelatih biliar boleh jadi adalah orang yang memiliki latar belakang yang sama atau pun berbeda dengan Edy. Jika memiliki kesamaan, misalnya sama-sama militer, maka dia akan lebih memahami perilaku Edy itu. Jika tidak maka akan ada efek yang muncul dari peristiwa itu. Nyatanya si pelatih melapor ke polisi.

Kesenjangan itu muncul karena adanya perbedaan latar balakang. Dan kesenjangan itu akan berubah menjadi aksi manakala perbedaan latar balakang ini tidak difahami oleh orang-orang yang menyampaikan pesan. Ingat, ketika Anda sedang berbicara tentang apapun di depan publik, sejatinya Anda sedang menyampaikan pesan, dan makna pesan itu bisa dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda latar belakang dengan Anda.

Ketiga, perspektif kepentingan. Ketika kabar tentang jewer menjewer ini beredar di media, baik media massa dan media sosial, maka interpretasi pesan itu kemudian berkembang. Tidak hanya menjadi milik si pelatih biliar selaku penerima pesan tetapi telah menjadi milik publik secara umum.

Karena ketika pesan memasuki ruang publik (public sphere) maka pesan itu memiliki efek yang lebih luas bahkan mengikat. Sebagaimana Jurgen Habermas merumuskan bahwa dinamika di ruang publik akan memberikan dampak pada kebijakan publik (public policy).

Itu sebabnya Ferdinand Hutahaen gak bisa ngeles bahwa cuitannya di media sosial twitter adalah dialog imajinernya sendiri. Ini kesalahan elementer para pelaku kejahatan hatespeech dan penistaan di dunia digital sosial.

Kita kembali ke soal jewer menjewer. Ketika publik menafsirkan pesan, maka di sana akan bergelut berbagai persoalan seperti kepentingan politik, sosial, budaya, agama dan sebagainya. Ada juga keinginan dan emosi yang mewarnainya. Yang disebut terakhir adalah faktor yang melatarbelakangi tindakan yang tidak objektif—sebagaimana kepentingan politik.

Dalam perspektif ketiga inilah suatu masalah yang sesungguhnya sederhana bisa digoreng-goreng ke sana ke mari sampai gosong. Peristiwa pencetusnya seringkali hanya sebagai alasannya saja, karena tujuan utama si penggoreng adalah kepentingannya sendiri.

Gonjang ganjing soal jeweran yang terjadi kini sudah didominasi oleh kepentingan pihak di luar si penyampai pesan dan si penerima pesan. Mereka punya agenda, punya tujuan sendiri yang membonceng peristiwa jeweran itu.

Kesimpulan
Secara ringkas ini adalah persoalan kesalahan elementer komunikasi. Karena orang yang mengirimkan pesan tidak memperhitungkan apa dan siapa yang sedang dihadapinya ketika menyampaikan suatu pesan—kecuali kalau memang mau cari gara-gara.

Bahkan suatu kearifan akan bermakna buruk karena berdampak jelek secara sosial, karena dilakukan tidak pada tempatnya. Senyum Amrozi dan jeweran Edy betapa pun berasal dari kearifan, ia akan menjadi salah ketika berada di tempat yang salah.

Kata kuncinya adalah penyesuaian. Karena ketidaksesuaian adalah pangkal dari banyak masalah. Segala sesuatu harus disesuaikan antara objek dan subjeknya, antara isi dan wadahnya, bahkan antara ilmu dan adabnya juga harus sesuai. Itu sebabnya orang yang akan berperang akan dibekali dengan ilmu militer, dan militer yang purna bakti akan disipilkan kembali biar sesuai.

Penulis adalah News Editor, Dosen Fisipol UMA.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *