Lingkungan Dan Pemberdayaannya Oleh Shohibul Anshor Siregar

  • Bagikan

Core values seluruh regulasi mengenai lingkungan di Kota Medan tunduk pada karakter yang hanya lebih mementingkan pengesahan kelembagaan formalnya belaka sebagai bagian terbawah dari birokrasi pemerintahan. Dengan begitu lingkungan dengan pemberdayaannya sangat tak mungkin menjadi ujung tombak urusan dan pelayanan

Semua warga kota Medan berdomisili di sebuah Lingkungan, apa pun pekerjaan dan jabatannya. Rumah Dinas Walikota, Rumah ibadah, perumahan termewah tempat tinggal paling eksklusif para penguasa ekonomi, hotel berbintang, rumah sakit, kampus, sekolah, semuanya berada di sebuah Lingkungan.

Daerah kumuh tempat penduduk miskin berdomisili, atau gelandangan yang menyusun lembaran-lembaran kardus untuk berlindung di kolong jembatan, berada di sebuah Lingkungan tertentu.

Jika banjir melanda, daerah korban adalah unit atau unit-unit wilayah Lingkungan. Jika sampah tidak terurus, jika pencemaran sungai semakin parah, jika sosialisasi menghadapi bencana seperti Covid-19 ingin disikapi, jika ingin beroleh data kemiskinan untuk alokasi bantuan sosial, maka untuk semua itu variable lingkungan tidak bisa diabaikan.

Urusan memfasilitasi rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya (termasuk pembuatan daftar pemilih) pada hakekatnya harus berawal dari Lingkungan.

Tulisan ini menawarkan konsep pemberdayaan Lingkungan tanpa melanggar regulasi yang ada. Tawaran ini dimaknai sebagai pemosisian tingkatan terbawah dari organisasi pemerintahan untuk benar-benar menjadi ujung tombak pelayanan publik sesuai UU Nomor 25 Tahun 2009.

Sekaligus menjadi perkuatan mekanisme pencapaian visi dan misi pemerintah kota.
Dukungan aparatur yang proporsional dilihat dari segi kapasitas mau pun jumlah serta dukungan pembiayaan digambarkan dalam simulasi yang akan diberikan di bawah ini.

Kepling dan Asisten Kepling

Tahun 2020 Pemerintah Kota Medan memiliki lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) tenaga honorer. Sebuah anomali, karena jumlah itu hampir sama dengan jumlah PNS Kota Medan. Dugaan buruk sah untuk ini. Kewenangan mengangkat tenaga honorer berindikasi masalah kompleks.

Ada paradoks ketika lingkungan sebagai unsur terbawah dari pemerintahan tidak diberi peran, tetapi biaya besar ditunaikan untuk mendanai tenaga honorer.

Bagaimana jika alokasi anggaran untuk tenaga honorer itu dialihkan untuk pemberdayaan Lingkungan? Bunyi bab XI pasal 23 Perda Nomor 9 Tahun 2017 “pendanaan atas pelaksanaan Perda ini bersumber dari APBD”.

Namun tidak ada alokasi terperinci meskipun pada pasal 24 dan 25 ada frasa “Kepling dapat diberikan insentif yang bersumber dari APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.”
Berapa anggaran untuk pemberdayaan Lingkungan ini dan bagaimana bentuk pemberdayaan itu akan dilakukan?

Pertama, jika 2000 Kepling di Kota Medan beroleh insentif bulanan masing-masing Rp4 juta, maka dalam setahun diperlukan alokasi Rp96 miliar.

Kedua, jika setiap Kepling memiliki 5 (lima) Asisten Kepala Lingkungan (Askep) masing-masing dengan insentif Rp 3.200.000 setiap bulan, maka dalam setahun diperlukan alokasi Rp384 miliar.

Ketiga, biaya operasional di luar insentif Kepling dan Askep setiap lingkungan masing-masing Rp 1 juta, totalnya Rp24 miliar. Anggaran pemberdayaan Lingkungan dalam setahun Rp96 miliar + Rp384 miliar + Rp24 miliar sama dengan Rp504 miliar.

Dari mana sumbernya? Tahun 2020 alokasi anggaran untuk tenaga honorer adalah Rp 400 miliar (https://www.mistar.id/medan/minggu-depan-pegawai-honor-pemko-medan-gajian/).

Ketika merebak informasi rencana pemecatan, Wakil Ketua DPRD Medan, Ihwan Ritonga, mengharapkan agar jangan sampai dijadikan ajang oleh kepala organisasi perangkat daerah (OPD) untuk mencari keuntungan.

Diduga pengeluaran besar untuk aparatur tidak jelas manfaatnya. Klausul pengangkatan tenaga honorer sarat indikasi abuse of power. Kemungkinan proses rekrutmen sangat bermasalah (bisa terjadi suap-menyuap). Pertanggungjawaban anggaran potensil fiktif (https://www.litigasi.co.id/posts/ribuan-tenaga-honorer-pemko-medan-bakal-dipecat).

Anggaran Rp504 miliar tidak seberapa dibandingkan tugas dan tanggung jawab pemerintahan yang diembankan kepada aparatur tingkat terbawah ini, terutama dalam membantu kelancaran pemenuhan fungsi-fungsi pelayanan publik sesuai UU Nomor 25 Tahun 2009.

Semua personal Kepling dan Aspek tidak boleh makan gaji buta. Persyaratan Askep misalnya berusia antara 21 hingga 35 tahun, kwalifikasinya mampu proaktif untuk tugas yang jamak seperti menggali parit, mengangangkat sampah, hingga memfasilitasi musyawarah warga.

Rekrutmen menggunakan sistem terbaru. Reward and punishment diciptakan sebaik-baiknya.
Apakah dengan rencana ini semua tenaga honorer akan kehilangan pekerjaan? Mereka, untuk pertamakalinya, dianggap layak ikut seleksi terbuka.

Ada kemerosotan gengsi? Tidak, karena dengan menjadi Askep kejelasan tugas dan penghasilan membuat orang sekaligus beroleh harapan meraih martabatnya secara mulia sebagaimana bekerja di sektor lain.

Rencana ini tidak akan mengubah keadaan jika proses rekrutmen tidak transparan dan tidak mengacu kepada pola merit system seperti yang diributkan beberapa hari ini serta jika dalam pelaksanaan tugasnya kelak Kepling dan Askep selalu rawan pemotongan tak berdasar dalam penerimaan honor setiap bulan.

Mereka akan mengembangbiakkan cara-cara koruptif mencari korban tak berdaya seperti yang dialami oleh rakyat setiap kali berurusan dengan instansi pemerintah pada level mana pun, termasuk ketika mengurus dokumen kependudukan (Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Akte Kelahiran dan lainnya).

Untuk pemerataan kesempatan di tengah masyarakat yang diterpa kelangkaan lapangan kerja ini masa tugas Kepling dan Askep dibatasi 2 (dua) tahun meski boleh mengikuti seleksi untuk satu masa jabatan berikut.

Menu prajabatan untuk mereka memadu aspek doktrin kepegawaian, wawasan dan keterampilan bidang kamtibmasy, inveronmental ethic, kesehatan, pendidikan dan keagamaan. Status mereka disahkan wali kota dan dilantik usai prajabatan di kantor wali kota.

Visi & Misi Pemerintahan
Visi Kota Medan ialah Terwujudnya Masyarakat Kota Medan yang Berkah, Maju dan Kondusif. Sasaran visi ini ialah semua penduduk yang berdomisili di Lingkungan.

Keseluruhan wilayah administratif Kota Medan terbagi habis menurut Lingkungan. Dengan demikian, sekali lagi, sewajarnyalah berfikir bahwa ujung tombak pelayanan publik berada atau berawal di lingkungan.

Jika semua lingkungan menangkal penumpatan parit, jika itulah (sedimentasi) kendala terbesar di balik keluhan genangan air atau banjir setiap musim hujan, maka dapat diasumsikan sebagian tertanggulangi dengan baik.

Di mana saja ada kejadian, misalnya pohon tumbang, konflik sosial, aktivitas makar narkoba, fenomena kependudukan (keluar, masuk, meninggal, lahir) di sana ada enam orang “petugas negara” yang siap memberi respons.

Tergantung kepada kualitas dan kuantitas kejadian, ke 6 orang petugas ini akan melakukan penilaian awal apakah dapat ditanggulangi secara mandiri atau harus meminta bantuan kepada instansi teknis terkait.

Karena itu untuk langkah selanjutnya setiap lingkungan perlu dibekali dengan peralatan standar, misalnya untuk menjaga kebersihan (sapu, skop, cangkul dan sebagainya). Beberapa di antara jenis peralatan itu dikonsentrasikan di kelurahan (chain shaw, pompa air, dan sebagainya), sedangkan jenis peralatan lainnya diparkirkan di kantor Kecamatan (traktor, mobil pemadam kebakaran, mobil pengangkut sedimen dan sampah).

Tinjauan Regulasi
Perda Nomor 9 Tahun 2017 bukan regulasi pertama tentang Lingkungan di Medan. Tahun 2001 terbit Keputusan Walikotamadya Medan Nomor 141/084/SK/2001. Kemudian dirubah dengan Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 5 Tahun 2012 dan Perwal Nomor 29 Tahun 2012.

Ada pun Perwal Nomor 21 Tahun 2021 hanya menambah persyaratan dan ketentuan, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kepling.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1979 Lingkungan dikepalai oleh Kepling, PNS yang berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas Kepala Kelurahan yang diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas nama Gubernur.

Ketentuan itu digugurkan oleh PP Nomor 55 Tahun 1980 yang kemudian dipertegas lagi oleh PP Nomor 73 Tahun 2005. Secara permanen urgensi Lingkungan hilang dari regulasi.
Banyak anomali dalam birokrasi, politik dan demokrasi Indonesia.

Di antaranya pengabaian atas kenyataan bahwa semua rakyat berdomisili di dalam lingkungan atau nama lain yang setara, tetapi “tangan dan kaki” aparatur terbawah ini sengaja dibikin tak berdaya.

Sejak dahulu pegawai Indonesia dibikin berpenghasilan yang tak memungkinkannya membela keluarganya. Bahasa lain untuk mempersilakan korupsi ini tetap dikontrol dengan mendiskriminasi orang yang dipandang perlu dijebloskan ke penjara.

Karena itu diyakini bahwa apa yang dibahas secara khusus mengenai Lingkungan di Kota Medan saat ini berpeluang menjadi representasi dari pengalaman birokrasi, politik dan model pilihan demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

Penutup
Core values seluruh regulasi mengenai lingkungan di Kota Medan tunduk pada karakter yang hanya lebih mementingkan pengesahan kelembagaan formalnya belaka sebagai bagian terbawah dari birokrasi pemerintahan. Dengan begitu lingkungan dengan pemberdayaannya sangat tak mungkin menjadi ujung tombak urusan dan pelayanan.

Mungkin masalah ini berakar pada anomali politik, birokrasi dan demokrasi Indonesia yang eggan bergeser dari pengarusutamaan perebutan dan pelestarian kekuasaan ketimbang menyejahterakan rakyat. Anomali ini terbukti bersejarah panjang.

Karena itu Wali Kota Medan ditawarkan segera mengajukan perubahan Perda Nomor 9 Tahun 2017 untuk mewadahi pelayanan publik pada level terendah tempat tinggal semua warga kota, yakni Lingkungan.

Jangan takut merencanakan perubahan. Bergeser cepat dari pola-pola penggalangan opini pujian adalah hal terbaik untuk seintensif mungkin mengurusi substansi pelayanan publik.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan