Limit Joko Widodo

  • Bagikan

Limit Joko Widodo. Berhenti dari inkonsistensi serius adalah keinginan rakyat terhadap Joko Widodo. Untuk memperkuat semangat rakyat, narasi yang sangat diperlukan ialah evaluasi perjalanan bangsa sesuai kehendak imperatif konstitusi

Catatan dunia menunjukkan variasi kemampuan pengawetan kekuasan di berbagai negara. Fidel Castro (Kuba, 49 tahun) berada pada puncak keawetan, disusul Paul Biya (Kamerun, 46 tahun), Kim Il-sung (Korea Utara, 45 tahun), Teodoro Obiang Nguema Mbasogo (Equatorial Guinea, 42 tahun), Muammar al-Gaddafi (Libya, 42 tahun), Omar Bongo (Gabon, 41 tahun), dan Enver Hoxha (Albania, 40 tahun).

Penguasa yang mampu mengabadikan kekuasaan selama 38 tahun atau lebih singkat hingga 30 tahun antara lain José Eduardo dos Santos (Angola), Gnassingbé Eyadéma (Togo), Robert Mugabe (Zimbabwe), Hun Sen (Kamboja), Josip Broz Tito (Yugoslavia), António de Oliveira Salazar (Portugal), Todor Zhivkov (Bulgaria), Alfredo Stroessner (Paraguay), Ali Abdullah Saleh (Yaman), Mao Zedong (China).

Félix Houphouët-Boigny (Côte d’Ivoire), Yumjaagiin Tsedenbal (Mongolia), Dawda Kairaba Jawara (Gambia), Pham Van Dong (Vietnam Utara), János Kádár (Hungaria), Habib Bourguiba (Tunisia), Lee Kuan Yew (Singapura), Mobutu Sese Seko (Kongo), Hastings Kamuzu Banda (Malawi), Suharto (Indonesia), Joseph Stalin (Uni Soviet), Rafael Trujillo (Republik Dominika), Porfirio Díaz (Mexico), Abdou Diouf (Senegal), dan Maumoon Abdul Gayoom (Maldives).

Pengawetan kekuasaan inilah pokok kontroversi hari-hari belakangan. Banyak orang menilai tak perlu perpanjangan masa jabatan dan tak perlu mengamandemen konstitusi untuk kepentingan Joko Widodo dan oligarki di belakang Beliau. Tetapi sejarah membuktikan tak mudah mengalahkan kehendak penguasa. Dalam pengalaman terbelah sepanjang masa jabatan Joko Widodo, pro dan kontra pun sangat potensil meningkat menjadi sesuatu yang cukup mencemaskan.

Di Solo belum rampung menurut masa jabatan keduanya sebagai walikota, Joko Widodo pergi “mengadu nasib” ke DKI Jakarta. Belum selesai sebagai gubernur sudah ingin menjadi Presiden RI. Menang dua kali, dengan pasangan yang berbeda.

Kini, saat periode keduanya belum selesai, sudah pula digadang-gadang membisakan diri untuk memperpanjang masa jabatan atau untuk mengabadikan diri dalam jabatan puncak eskekutif itu hingga 3 periode atau lebih. Keinginan itu terbentur ketentuan konstitusi. (jabatan Presiden hanya 2 (dua) periode).

Salah seorang dari menterinya, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), tampaknya berada di balik gerakan politik ini. Argumentasinya mengandalkan analisis atas big data dengan klaim 110 juta rakyat mendukung penundaan pemilu 2024. Belakangan amat diragukan oleh berbagai pihak. Tetapi LBP tak surut. Meski tanggal pelaksanaan pemilu sendiri baru saja ditetapkan, namun beberapa partai sudah menyatakan dukungan, walaupun jumlahnya belum mencapai angka mayoritas.

Joko Widodo memulai karir sejak terpilih Walikota Solo (2005). Tahun 2010 terpilih untuk periode kedua. Semua masih ingat bagaimana ia menyedot perhatian nasional dengan proyek pengembangan mobil ‘ESEMKA’ tim murid-murid SMK di Solo yang hingga kini mempersepsikan namanya tak begitu baik
(https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2014/06/140626_lapsus_pilpres_profil_jokowi).

Kata-katanya kerap memukau. Misalnya, dalam debat kontestasi yang ditayangkan televisi: “demokrasi bagi saya adalah mendengarkan masyarakat, melaksanakan apa yang mereka inginkan.” Kampanye “revolusi mental” untuk Pilpres 2014 berisi strategi membangun karakter bangsa yang diandaikan dapat mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta sikap intoleran. Pembangunan karakter bangsa, katanya, dapat dilakukan melalui pendidikan.

Untuk pengembangan pendidikan dan kesehatan, Joko Widodo mengandalkan program Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, sebuah replikasi dari DKI Jakarta. Implementasi e-governance untuk mengurangi korupsi birokrasi juga dijanjikan. Meski banyak kritik soal pengalaman minim, sehingga Jusuf Kalla yang kemudian menjadi wakilnya (2014-2019) “terlanjur” berkata “bisa hancur Indonesia”, namun ia memenangi Pilpres.

Masa keemasan Joko Widodo dapat ditautkan dengan sejumlah simbol, di antaranya “kemeja kotak-kotak”. Kemudian “kemeja putih lengan panjang dan digulung”. Narasi revolusi mental, kerja-kerja-kerja, stop impor, pertumbuhan ekonomi meroket, pungli Rp10 ribu akan dikejar, uang untuk pembangunan infrastruktur itu ada, dan lain-lain memperkuat masa keemasan itu.

Tetapi kemerosotan segera tiba. Bahkan pada tahun-tahun pertama dari periode pertamanya. Jambore Komunitas Juang Relawan Jokowi, misalnya, menghasilkan lima poin pernyataan berisi maklumat: pertama, menyerukan evaluasi dan perbaikan terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada perubahan dan kesejahteraan rakyat.

Kedua, evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung implementasi Tri Sakti dan Nawacita. Ketiga, evaluasi dan penguatan kabinet agar dapat bekerja secara efektif dan sejalan dengan semangat Tri Sakti dan Nawacita.

Keempat, perlu dipastikan agar pembangunan ekonomi dan percepatan proyek-proyek infrastruktur dilakukan dalam semangat berdiri di atas kaki sendiri. Modal asing diletakkan bukan sebagai sumber utama.

Kelima, perlunya sesegera mungkin dilahirkan berbagai kebijakan dan program yang mendorong produktivitas rakyat sebagai penyangga ketahanan ekonomi dan sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Maklumat itu ditandatangani 15 organisasi relawannya sendiri dan diserahkan langsung kepada Presiden Joko Widodo yang hadir di acara jambore. (https://www.tribunnews.com/nasional/2015/05/16/ini-isi-lengkap-maklumat-relawan-jokowi-jk).

Tetapi karena pentingnya perkampanyean pilpres dan didukung emosi keterbelahan rakyat, produktivitas narasi yang ditimpali scenario pencitraan besar-besaran dapat menutupi semua ketidakpatutan yang terjadi. Kini banyak orang menagih janji. Kadar rasionalitas rakyat semakin tinggi, civil society menggeliat serius. Seiring itu represi terasa meningkat. Banyak orang menyindir “mau ketawa takut ditangkap” (pendekatan hukum menopang pemerintahan), “mau ketawa takut dosa” (deploy kalangan berlabel agama menopang pemerintahan).

Nyaris tak ada yang membela mengapa kebijakan anggaran menghadapi Covid-19 tidak efektif dan malah gugatan pada MK menghasilkan kecemasan pemerintah. Begitu dahsyat unjukrasa untuk menolak UU Ciptakerja dan revisi UU KPK, namun pemerintah menunjukkan bahwa Joko Widodo maunya seperti itu.

Limit Joko Widodo. Berhenti dari inkonsistensi serius adalah keinginan rakyat terhadap Joko Widodo. Untuk memperkuat semangat rakyat, narasi yang sangat diperlukan ialah evaluasi perjalanan bangsa sesuai kehendak imperatif konstitusi. Niat dan tujuan memerdekakan Indonesia termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, yakni perlindungan penduduk dan tumpah darah, penghapusan penjajahan dalam semua bentuknya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan upaya perbaikan tata dunia.

Beberapa kekuatan normatif sangat prinsip di dalam UUD 1945 di antaranya pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 (cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat).

Perombakan radikal legalframework demokrasi dan politik sangat penting. Tundukkan kepada konstitusi. Perombakan makroekonomi menjadi makroeknomi konstitusi begitu penting. Memberi setiap partai Rp1 triliun per tahun agar tak merampok (lagi). Membubarkan KPK dengan sekaligus memastikan institusi penegak hukum siuman dan efektif harus menjadi rencana yang kuat menyelamatkan negeri.

Agar perilaku pemerintahan tidak terus didikte oligarki melalui instrumen parpol, tambahlah kursi legislatif untuk semua level menjadi 4 kali lipat. Biarkan jumlah yang sekarang diperebutkan oleh parpol dengan transaksi. Mayoritas lainnya untuk organisasi jihadis pendiri negara (Muhammadiyah, 1912 dan NU, 1926, dan lain-lain) dan organisasi profesi dan golongan, wakil daerah, serta organisasi yang berintegritas lainnya.

Rakyat harus disadarkan pentingnya perampingan kabinet dengan mereview urusan pemerintahan berdasarkan pokok gagasan sesuai konstitusi. Membubarkan Menko perlu, karena jabatan itu hanya diperlukan dalam kondisi Presiden kurang cakap dan rada feodal.

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sungguh memiliki tagihan yang belum pernah dipikirkan oleh rezim silih berganti. Pasal ini mungkin mengedepankan pekerjaan last resort. Simulasinya dapat dibuat di sini. Berapa jumlah pengangguran saat ini? Katakanlah 10 juta jiwa. Mereka diberi pekerjaan last resort dengan upah Rp3 juta setiap bulan. Anggaran yang dibutuhkan adalah 10.000.000 x 12 x Rp 3.000.000. Kucurkan dana dari APBN melalui rekening bank sesuai nama dan alamat pekerja agar jangan ditelan koruptor. APBN tidak akan kolap.

Pekerjaan utama pekerja last resort itu dapat pada proyek infrastruktur, pertanian, sanitasi, support terhadap pendidikan, support terhadap lembaga-lembaga pelayanan publik lainnya, dan lain-lain. Proyek dan jenis pekerjaan itu dapat berupa kombinasi pembiayaan pemerintahan nasional dan lokal. Jangan lupa, batalkanlah target pengangguran yang selalu dicantumkan sebagai prasyarat dalam setiap penetapan APBN menjadi nol persen.

Indonesia memiliki dalil yang amat kuat tentang hal ini. Secara eksplisit Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa penduduk (warga negara) adalah determinan utama negara yang wajib menjadi pusat perhatian utama pemerintah. Sekali lagi, pasal 27 ayat (2) UUD 1945 itu secara imperatif menegaskannya di samping berulangkali penggantian UUD dan berapa kali amandemen, pasal ini tetap ada (amat istimewa).

Meski usul perpanjangan masa jabatan dan atau penundaan pemilu hanya menandakan limit Joko Widodo, namun siapa bisa mengeremnya untuk tidak mengikuti jejak Soekarno Presiden Seumur Hidup meski terinterupsi menjadi 21 tahun oleh Soeharto yang berkuasa 30 tahun lebih? Siapa yang sehebat Joko Widodo dalam sejarah Indonesia? Siapa di balik semua ini? Pantangkah dibicarakan? WASPADA

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan