Oleh Feri Irawan, SSi, MPd
Berkaca pengalaman sebelumnya, pergantian Menteri Pendidikan selalu berbuah kerumitan. Salah satu tantangan utamanya adalah ketidakstabilan kebijakan akibat perubahan politik. Pendek kata, pergantian menteri adalah pergantian program, yang kemudian diterjemahkan menjadi pergantian kurikulum
Sah! Prabowo-Gibran resmi jadi Presiden dan Wapres RI. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengucapkan sumpah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Prabowo-Gibran resmi menjadi orang nomor 1 dan 2 di Indonesia periode 2024-2029. Pengucapan sumpah berlangsung saat Sidang Paripurna MPR RI di gedung Nusantara MPR/DPR RI, Senayan, dan dipimpin Ketua MPR Ahmad Muzani. Prabowo dan Gibran menggantikan posisi Jokowi dan Ma’ruf Amin yang telah menjabat pada periode 2019-2024. Prabowo resmi menjabat Presiden ke-8 RI dan Gibran sebagai Wapres ke-14 RI.
Setiap kali presiden baru terpilih, sering kali terjadi perubahan susunan kabinet, termasuk posisi menteri-menteri strategis seperti Menteri Pendidikan. Dalam konteks pendidikan, perubahan Menteri Pendidikan sering kali berarti adanya peninjauan dan revisi kebijakan yang signifikan. Pergantian ini sering kali diikuti dengan pengenalan kebijakan-kebijakan baru yang disesuaikan dengan visi dan misi presiden baru serta kebutuhan bangsa yang terus berkembang.
Tentunya menteri pendidikan yang baru akan membawa visi dan pendekatan yang berbeda dalam merumuskan kurikulum dan kebijakan. Hal ini karena perbedaan visi, misi, dan prioritas masing-masing menteri. Profesor Abdul Muti, menggantikan kursi bos Gojek, tentunya punya misi dan visi sendiri. Setiap menteri biasanya memiliki agenda tertentu yang ingin diterapkan dalam kurikulum.
Di sisi lain, pengaruh politik seringkali menjadi faktor dominan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Kita berharap kepemimpinan baru di Kementerian Pendidikan era Prabowo-Gibran dapat membawa perubahan positif bagi sistem pendidikan Indonesia.
Pergantian menteri memang tidak selalu membawa perubahan dramatis. Tapi kalau sudah bicara kurikulum, Indonesia selalu punya drama baru. Sejarah mencatat, ganti menteri pendidikan selalu berimplikasi ganti kurikulum imbasnya pada kerepotan sistem pendidikan nasional.
Refleksi Komprehensif
Pergantian menteri ini diharapkan tidak hanya menjadi upaya pelestarian kebijakan, tetapi juga momentum untuk merefleksikan kembali arah pendidikan nasional yang lebih komprehensif, yang tidak hanya mengejar angka dan teknologi, tetapi juga adab dan kebijaksanaan. Sebagai contoh, Kurikulum 2013 yang dianggap sebagai salah satu perubahan besar dalam pendidikan, juga mengalami penyesuaian ketika terjadi pergantian pemerintahan.
Sementara Kurikulum Merdeka yang di arsiteki Mas Nadiem berupaya menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi dengan mengedepankan digitalisasi dan literasi teknologi yang dibutuhkan industri modern. Semuanya dibungkus dalam satu paket canggih bernama “Merdeka”. Namun, apakah guru dan siswa merdeka beneran Jangan-jangan mereka malah bingung. Seperti traveler yang hilang di hutan sambil pegang Google Maps tapi tanpa sinyal. Ingat! Pergantian kurikulum bukan hanya soal siapa yang di atas. Tapi, siapa yang di bawah, yaitu, para guru dan siswa. Mereka ini lah yang sering kali menjadi korban eksperimen kurikulum yang katanya “inovatif”.
Jangan lupa, Kurikulum Merdeka Belajar ini bukannya tidak punya lawan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan sudah mengkritisi kurikulum merdeka ini. Mereka meminta Kemendikbudristek untuk refleksi diri. “Apakah benar kurikulum ini mencerdaskan bangsa, atau hanya jadi kosmetik pendidikan?” tanya Ubaid Matraji dari JPPI.
Kurikulum Merdeka juga mendapat kritik keras dari wakil presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla dalam acara Diskusi Terumpun ‘Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan’ yang diselenggarakan di kawasan senayan, Jakarta, Sabtu (7/9/2024). Menurut JK, sebaiknya pemerintah mengumumkan konservatif dalam menyelenggarakan pendidikan. JK mengatakan, Merdeka Belajar justru tak membuat anak belajar karena tidak ada ujian. JK pun mengusulkan kembali diadakannya Ujian Nasional untuk membuat para siswa menjadi belajar.
Lebih lanjut, JK meminta agar pemerintah mencontohkan India dan China yang memiliki demografi besar dengan pendidikan yang terbilang sukses. Negara-negara tersebut pun dinilai menerapkan PBB. “Apa inti di sana, Ujian Nasional. Anda boleh lihat di sana,”ujar JK.
Pertanyaannya, seiring dengan pergantian pemerintahan, kebijakan politik hingga kritikan dari JPPI dan JK, apakah Kurikulum Merdeka akan tetap dilanjutkan atau justru akan digantikan dengan Kurikulum ‘Terserah Anda’? Sebentar lagi kita mungkin akan menyaksikan episode terbaru: “Merdeka atau dikandangkan lagi? Benarkah kurikulum besutan Nadiem Makarim kini berada di ujung tanduk?
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, proses pergantian Menteri Pendidikan selalu berbuah kerumitan. Salah satu tantangan utama dalam sistem pendidikan Indonesia adalah ketidakstabilan kebijakan akibat perubahan politik. Pendek kata, pergantian menteri adalah pergantian program, yang kemudian diterjemahkan menjadi pergantian kurikulum. Semuanya berujung pada keruwetan murid, guru, dan orang tua murid.
Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa evaluasi komprehensif mengenai implementasi kurikulum ini harus dilakukan agar pemerintah bisa melihat apa yang perlu diperbaiki dan apa yang sudah berjalan dengan baik.
Setiap kebijakan baru ini bertujuan untuk menjawab tantangan zaman dan meningkatkan daya saing siswa Indonesia di kancah global. Diganti atau tidak Kurikulum Merdeka sangat tergantung pada faktor visi dan misi Menteri Pendidikan yang baru. Termasuk evaluasi terhadap efektivitas Kurikulum Merdeka itu sendiri serta dinamika politik dan kebutuhan pendidikan nasional.
Jika Kurikulum Merdeka dianggap berhasil dan mendapat dukungan luas dari berbagai pihak, kemungkinan besar kebijakan ini akan dilanjutkan atau disempurnakan oleh menteri sekarang. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa kurikulum ini efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan, maka perubahan besar mungkin tidak diperlukan.
Jika merasa ada kebutuhan untuk perubahan yang signifikan, mereka mungkin akan mengusulkan perubahan atau perbaikan kurikulum. Dukungan dari pemerintah, DPR, serta masyarakat dan pendidik juga akan berpengaruh. Jika ada tekanan untuk mempertahankan atau mengganti kurikulum, hal ini akan mempengaruhi keputusan menteri baru.
Perubahan kurikulum akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam berbagai hal, misalnya dari sisi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, penilaian dan evaluasi. Perubahan kurikulum dilakukan pada dasarnya dalam rangka memperbaiki kekurangan-kekurangan yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan kurikulum itu, selain itu tentunya dalam memenuhi tuntutan perubahan zaman. perubahan kurikulum akan banyak membawa pengaruh pada satuan pendidikan terutama pada elemen penting di sekolah yaitu guru. Pertanyaannya adalah mengapa guru?, karena gurulah yang akan melaksanakan implementasi tersebut.
Jejak Kurikulum
Sejak 1947, Indonesia tercatat telah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 10 kali. Pergantian kurikulum di Indonesia tercatat dimulai tahun 1947 dengan nama “Rencana Pembelajaran” yang kemudian berganti menjadi “Rencana Pembelajaran Terurai” pada 1953. Kemudian berganti lagi menjadi kurikulum “Rencana Pendidikan” pada 1964 dan selanjutnya “Kurikulum 1968”.
Pergantian selanjutnya secara berturut-turut adalah “Kurikulum 1975”, “Kurikulum 1984”, “Kurikulum 1999”, “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)” 2004, “KTSP 2006”, “Kurikulum 2013”, sebelum akhirnya kembali lagi pada “KTSP 2006”, hingga sekarang kurikulum merdeka.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.