Kritik Kewenangan DPR Dalam Mencopot Pejabat : Apakah Konstitusional

  • Bagikan
Kritik Kewenangan DPR Dalam Mencopot Pejabat : Apakah Konstitusional

Oleh : Dr. Muzwar Irawan.SH., MH

“Penambahkan pasal Pasal 228A pada Peraturan DPR Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib, dinilai menjadi topik utama, yaitu mekomendasikan pemberhentian atau pencopotan terhadap salah satu pejabat negara”.

Mengutip pendapat Friedrich Julius Stahl tentang ilmu politik, bahwa konsep Negara Hukum (rechtsstaat) kekuasaan didalam suatu negara harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya berdasarkan kehendak pribadi penguasa. Tujuannya adalah untuk menciptakan keadilan yang setara bagi semua lapisan masyarakat di hadapan hukum.

Pembahasan suatu peraturan yang saat ini menjadi konsesi bagi masyarakat Indonesia adalah revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020, khususnya Pasal 228A Pasal 228A berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”

Menurut pendapat saya selaku dosen hukum tata negara, fenomena ini disebut dengan “legislatif heavy” karena DPR memiliki wewenang lebih luas dalam mengevaluasi pejabat secara berkala, dikhawatirkan akan memicu intervensi politik yang lebih besar, terutama bagi calon pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.

Dengan kekuasaan DPR yang lebih besar ini, berpengaruh terhadap independensi kekuasaan eksekutif dan yudikatif. sehingga, check and balance antar lembaga negara tidak berjalan baik.

Kondisi ini sangat bertentangan dengan teori Pluralisme Kekuasaan dari Robert Dahl, dimana stabilitas sistem pemerintahan negara demokrasi sangat dipengaruhi oleh penyebaran kekuasaan yang tidak terpusat pada satu lembaga negara saja. Dengan kata lain, harus ada pembagian kekuasaan (distribution of power) sehingga tidak terjadi yang namanya “abuse of power” akibat penumpukan kekuasaan.

Alasan pasal 228 A Peraturan DPR RI No.1 Tahun 2020 tentang Tatib Ini disahkan?


Terkait usulan revisi Tatib yang disusun dan dibahas secara cepat dalam rapat Baleg DPR RI tertanggal 3 Februari 2025 di antaranya Pasal 228 dan Pasal 229, selanjutnya disisipkanlah Pasal 228A, berbunyi :

Ayat 1: Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan Komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 Ayat 2, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR;

Ayat 2: Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh Komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Dengan kata lain, pasal 228A diperlukan DPR untuk mengawasi dan atau memastikan peningkatan kinerja serta akuntabilitas pejabat negara pada masing-masing lembaga negara seperti Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Agung (MA), dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) demi kepentingan integritas nasional dengan prinsip “good governance”.

Dan jika pelaksanaan mekanisme ini tetap dilaksanakan oleh DPR, tidak menutup kemungkinan, Panglima TNI, Kapolri dan para duta besar juga bisa diberhentikan oleh parlemen sewaktu-waktu, akibatnya penerapan sistem ketatanegaraan kita bisa menjadi kacau balau.

Pada hal secara formil kedudukan peraturan DPR RI berkedudukan di bawah UU dan UUD NRI 1945, terlihat pada pasal 7 ayat 1, pasal 8 beserta pasal 20 A ayat 1 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Kemudian, tata tertib DPR hanya mengatur dan mengikat ke dalam atau internal parlemen saja.

Dan parlemen tak bisa membuat tata tertib yang mengatur dan mengikat peraturan di atas dirinya, dengan kata lain perbuatan DPR telah menyalahi asas lex superior derogate legi inferiori.

Dalam kesempatan ini, saran saya kepada anggota DPR RI agar kinerja mereka dapat lebih terukur dan efektif, sehingga peran dan kontribusinya benar-benar terlihat serta berdampak positif.

Alangkah bijaksananya jika ke depannya agenda kerja DPR RI mencakup pembahasan mengenai penyusutan atau pengurangan jumlah partai politik di Indonesia, dengan alasan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan menciptakan sistem politik yang lebih efisien dan terkoordinasi, sekaligus mengefisiensikan pembiayaan anggaran yang banyak membiayai partai-partai yang sangat besar, sehingga penyusutan jumlah partai dapat mengurangi beban pembiayaan publik.(Penulis Dosen Hukum Universitas Sari Mutiara Medan)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Kritik Kewenangan DPR Dalam Mencopot Pejabat : Apakah Konstitusional

Kritik Kewenangan DPR Dalam Mencopot Pejabat : Apakah Konstitusional

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *