Komunikasi, IQ Vs EQ

  • Bagikan

Ternyata IQ yang tinggi tidak cukup untuk berkomunikasi yang menyenangkan dan diterima semua orang. Masih dibutuhkan kecerdasan yang lain, yakni EQ

“Bahasa menunjukkan bangsa”, untuk anak-anak milenial mungkin ungkapan ini terasa asing. Tetapi tidak untuk generasi yang lahir pada era 60-an atau 70-an. Jika dilihat dari kalimat diatas, secara praktis bisa saja diartikan bahwa ketika orang menggunakan bahasa tertentu dalam berkomunikasi, maka akan kelihatan dari negara mana dia berasal.

Jika kita mendengar orang berbahasa asing, misalnya, maka kita tinggal melihat bahasa negara mana yang dipakai untuk mengetahui dari negara mana bereka berasal. Atau ketika mereka menggunkan bahasa daerah, maka akan diketahui nereka dari suku mana. Namun, sejatinya bukan begitu.

Arti kalimat “bahasa menunjukkan bangsa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah [pb] budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). Jadi, bisa dikatakan bahwa ketika kita berkomunikasi, lawan berkomunikasi kita, atau komunikan kita, bisa menilai bagaimana kita. What kind of human being we are.

Berkomunikasi, merupakan kegiatan memindahkan picture in our head, gambaran dalam kepala kita, ke kepala komunikan kita, lawan komunikasi kita, melalui pesan. Pesan itulah yang diterima oleh komunikan, atau lawan atau kawan kita berkomunikasi. Menjadikan gambaran dalam kepala kita menjadi pesan, bukan sesuatu yang sederhana.

Perlu ketrampilan dan perbendaharaan kata yang cukup. Di samping juga perlu mengidentifikasi kemampuan komunikan kita untuk menafsirkan pesan tersebut. Tak kalah pentingnya, kondisi dan karakter dari komunikan tersebut.

Jika kita diminta untuk menjelaskan apa itu pecal, misalnya, maka pasti yang tergambar di kepala kita adalah sepiring pecal. Nah, bagaimana agar ketika menjelaskan apa itu pecal, yang diterima komunikan kita juga sepiring pecal, bukan tahu goreng, bukan gado-gado, atau urap.

Komunikasi kita dikatakan berhasil, jika lawan bicara kita atau pihak yang menangkap pesan kita, mengerti apa yag kita komunikasikan. Gambaran dalam kepala kita berpindah menjadi gambaran dalam kepala mereka. Itu baru masalah pecal, belum masalah lain yang lebih penting, urgen, atau mendesak.

Apalagi jika pesan dari komunikasi itu membutuhkan respon atau feedback yang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini membutuhkan Kecerdasan Intelektual, atau Intelligence Quotient, IQ, dari si komunikator.

Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris: intelligence quotient, disingkat IQ) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, daya tangkap, dan belajar.

Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.

Nah, dari penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk menjelaskan sesuatu dalam berkomunikasi, IQ mempunyai peran penting. Semakin tinggi IQ komunikator semakin mampu ia menjelaskan sesuatu kepada komunikannya.

Orang-orang yang mempunyai IQ tinggi, cenderung punya pengetahuan yang komplit dan wawasan yang luas, dan orang-orang selalu mengatakan mereka sebagai orang pintar, bukan dukun maksudnya. Namun, terkadang kita melihat orang-orang pintar tersbut, jika berkomunikasi, selalu kelihatan sombong atau angkuh.

Sinis dan kesannya melecehkan orang. Terkadang malah setelah mereka berkomunikasi, walaupun benar apa yang dikatakan, tetapi menuai hujatan atau dibully oleh orang banyak. Bahkan berujung pada pengaduan karena dianggap melakukan hal yang tidak menyenangkan.

Ada apa di balik ini. Ternyata IQ yang tinggi tidak cukup untuk berkomunikasi yang menyenangkan dan diterima semua orang. Masih dibutuhkan kecerdasan yang lain, yakni EQ.

Kecerdasan emosional (bahasa Inggris: emotional quotient, disingkat EQ) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.

Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ).

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang, terutama melalui komunikasi.

Menurut Howard Gardner (1983) terdapat lima pokok utama dari kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.

Pakar kepemimpinan Zig Ziglar menggambarkan kecerdasan emosional (EQ) sebagai sikap (attitude) yang lebih relevan dibandingkan dengan kecerdasan intellektual (IQ) yang digambarkan sebagai kompetensi (aptitude): “It is your attitude (EQ), and not your aptitude (IQ), that will determine your altitude (ketinggian prestasi)”.

Implementasi dari kedua teori ini, dalam proses komunikasi dapat kita lihat dari keberhasilan seorang komunikator menghadapi komunikannya. Dengan isi pesan yang baik dan pola komunikasi yang dapat diterima.

Jika komunikator mempunyai IQ yang tinggi, tetapi EQ nya rendah, maka, walaupun isi pesan yang ia komunikasikan sarat dengan ilmu dan gagasan, tetapi tidak semua orang menerima dengan senang hati. Sebahagian besar orang bisa jadi akan berkomentar miring terhadap dirinya, bukan isi pesannya.

“Memang pintar, tetapi cara komunikasinya jelek”, atau “Orangnya sih, oke, tapi gayanya itu, menjijikkan”, atau “Kok ada ya orang pintar seperti itu, sombong”. Namun sebaliknya, jika komunikatornya memmpunyai EQ yang tinggi tetapi tidak mumpuni dalam hal IQ, pada awalnya orang akan senang.

Namun beberapa kali didengar, isi pesannya tidak banyak berubah, monoton, akhirnya komunikan akan bosan dan meninggalkannya. Yang paling parah adalah komunikator yang mempunyai IQ rendah dan EQ nya juga rendah.

Dapat dibayangkan bagaimana isi pesan dari komunikasinya yang pastinya tidak akan bernutu dan pola serta gaya komunikasi yang tidak mengena dengan komunikannya. Jika ia seorang pejabat publik, yang dengan sistem saat ini, memungkinkan ia untuk menjabat, maka setiap ia berkomunikasi akan mengundang reaksi negatif atau bahkan menjadi “sasaran tembak” dari lawan politiknya.

Apalagi era teknologi komunikasi yang semakin canggih dengan media sosial yang semakin berkembang dan sangat tebuka dan bebas. Komentar miring terhadap apa yang diucapkan dan gaya komunikasi yang ditampilkan, akan membuat yang membaca komentar tersebut tertawa miring. “Tong kosong nyaring bunyinya”, inilah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan komunikator yang tingkat IQ dan EQ nya, sama rendahnya.

Komunikator yang mempunyai IQ tinggi, dan EQ juga tinggi, akan cepat menyadari jika gaya komunikasinya tidak mengena dengan komunikannya. Ia tidak akan berusaha keras mencari pembenaran atas apa yang sudah ia ucapkan atau gaya komunikasi.

Terutama komunikasi non verbal yang sudah ia tampilkan. Segera meminta maaf atau meralat isi pesan yang sudah lepas dari mulutnya, adalah cara paling elegan yang dimiliki oleh komunikator ber-EQ tinggi.

Tidak perlu menunggu lama, komunikan akan memahaminya dan memaafkannya. Bukan kah bangsa kita bangsa pemaaf. Terkadang, ketika kita berkomunikasi, sekalipun kita ber-IQ tinggi, bisa “terpeleset” juga dalam menggunakan kata atau kalimat maupun gaya atau gesture serta body language.

Komunikator yang baik akan menyadari bahwa sekali waktu pasti ia akan salah juga, setinggi apapun IQ dan EQ nya. Pasti akan bisa terjadi komunikasi yang berujung kontroversial. “Yes, that is what I said but not what I mean” Itu memang yang saya katakan, namun bukan itu yang saya maksud. Allah lah yang maha kuasa dan maha mengetahui. WASPADA

Penulis adalah Dosen Tetap Fisipol, Universitas Medan Area (UMA).

  • Bagikan