0leh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Sepuluh hari awal Dzulhijjah merupakan hari-hari yang paling agung dan utama. Keagungan dan keutamaan hari-hari ini melebihi hari-hari lainnya dalam bulan Dzulhijjah bahkan dalam setahun. Hari-hari ini menjadi sangat istimewa dan utama di sisi Allah ta’ala sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini menunjukkan keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijjah dari hari-hari lainnya dalam bulan Dzulhijjah bahkan dalam setahun.
Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Tampaknya sebab yang menjadikan istimewanya sepuluh hari (awal) Dzulhijjah adalah karena padanya terkumpul ibadah-ibadah induk (besar), yaitu: shalat, puasa, sedekah dan haji. Hal itu tidak terdapat pada hari-hari yang lain.” (Fathul Baari: 2/593).
Dari segi waktunya, sepuluh hari awal Dzulhijjah memiliki banyak keutamaan.
Di antara keutamaannya yaitu:
Pertama; Allah ta’ala bersumpah dengan sepuluh malam pada sepuluh hari awal Dzulhijjah secara umum dan dengan sebahagiannya secara khusus. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2). (Lathaif Al-Ma’arif: 345).
Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab menjelaskan tafsir kedua ayat ini, “Adapun al-fajar (dalam ayat ini), ada yang berpendapat fajar secara umum. Ada pula yang berpendapat maksudnya terbit fajar, atau shalat Fajar, atau siang harinya. Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat para ulama tafsir. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya adalah fajar tertentu. Kemudian ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya (fajar tertentu) adalah fajar hari pertama dari sepuluh hari awal Dzulhijjah. Bahkan ada juga yang berpendapat fajar hari terakhir dari sepuluh hari awal Dzulhijjah yaitu hari Nahr (hari raya kurban). Berdasarkan semua pendapat ini, maka sepuluh hari awal Dzulhijjah mencakup fajar yang disumpah dengannya oleh Allah ta’ala.”
“Adapun “malam-malam yang sepuluh” yaitu sepuluh hari (awal) Dzulhijjah. Inilah pendapat yang benar. Ini pendapat mayoritas para ulama tafsir. Inilah riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas lebih dari satu riwayat. Adapun riwayat dari Ibnu Abbas bahwa maksudnya sepuluh hari Ramadhan sanadnya dhaif.” (Lathaif Al-Ma’arif: 345-346).
Para berbeda pendapat dalam memahami malam-malam yang sepuluh ini, malam apa? Mayoritas para ulama menafsirkan “malam yang sepuluh” dalam ayat di atas dengan sepuluh malam awal Dzulhijjah, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, ‘Ikrimah, Masruq, dan kebanyakan para ulama dari kalangan ulama salaf dan khalaf. (Tafsir Ath-Thabari: 30/180, Tafsir Ibnu Katsir: 8/255, Lathaif Al-Ma’arif: 346).
Pendapat ini yang dipilih oleh Imam Ath-Thabari, Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahumullah, Imam Al-Qurthubi serta menjadi pendapat mayoritas para ulama. (Tafsir Ath-Thabari: 30/180, Tafsir Ibnu Katsir: 8/255, Lathaif Al-Ma’arif: 346, Tafsir Al-Qurthubi: 20/36).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Malam-malam yang sepuluh yang Allah bersumpah dengannya adalah malam-malam sepuluh awal Dzulhijjah.” (Tafsir Ath-Thabari: 30/180).
Masruq rahimahullah, seorang ulama tabi’in, menafsirkan firman Allah ta’ala, “dan demi malam yang sepuluh,” (Al-Fajr: 2), ” yaitu sepuluh awal Dzulhijjah yang Allah janjikan kepada Musa shallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ath-Thabari: 30/181).
Sebahagian ulama menafsirkan,”malam-malam yang sepuluh” yaitu malam sepuluh awal Muharram. (Tafsir Ath-Thabari: 30/181, Tafsir Ibnu Katsir: 8/255).
Sebahagian ulama berpendapat sepuluh malam terakhir Ramadhan. (Lathaif Al-Ma’arif: 344, Tafsir Taisir al-Karim Ar-Rahman: 1301).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Oleh karena ini, Allah bersumpah dengan malam-malam yang sepuluh, yaitu menurut pendapat yang benar malam sepuluh terakhir Ramadhan atau sepuluh awal Dzuhijjah, karena malam-malam ini mencakup hari-hari yang utama, yang terjadi padanya ibadah-ibadah yang tidak ada pada hari-hari lainnya.” (Tafsir Taisir al-Karim Ar-Rahman: 1301).
Dalam kitab tafsirnya “Adhwaul Bayan”, Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Mukhtar Asyinqithi berkata, “Adapun malam-malam yang sepuluh, maka pendapat-pendapat para ulama tafsir hanya terbatas dalam sepuluh awal Dzulhijjah, sepuluh awal Muharram dan sepuluh akhir Ramadhan.” (Adhwaul Bayan fi Idhahil Qur’an bil Qur’an: 9/94).
Kedua; Sepuluh hari awal Dzulhijjah merupakan hari-hari yang paling utama dam paling dicintai oleh Allah ta’ala untuk melakukan amal shalih padanya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada hari-hari untuk melakukan amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari ini.” (Yakni sepuluh hari awal Dzulhijjah). Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah jihad di jalan Allah (paling dicintai Allah)?”. Beliau menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah (lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari ini), kecuali orang yang berangkat dengan jiwa dan hartanya untuk berjihad dan tidak kembali dengan membawa sedikitpun dari semua itu (mati syahid).” (HR. Al-Bukhari).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah hari-hari yang paling agung dan paling dicintai oleh Allah untuk melakukan amal shalih padanya melainkan sepuluh hari (awal Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid“. (HR. Ahmad).
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah hari-hari yang paling utama di sisi Allah dari hari-hari sepuluh (awal) Dzulhijjah.” (HR. Ibnu Hibban).
Imam Ibnu Rajab berkata, “Dan kami meriwayatkannya dari jalur lain dengan tambahan, “Dan tidak ada malam-malam yang lebih utama dari malam-malamnya. Rasulullah ditanya, “Wahai Rasululllah ! apakah hari-hari itu lebih utama dari persiapan (penantian) mereka untuk berjihad di jalan Allah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Hari-hari itu lebih utama daripara persiapan mereka untuk berjihad di jalan Allah, kecuali orang yang tersungkur wajahnya ke tanah (mati syahid). Dan tidak ada satu hari pun yang lebih utama dari hari ‘Arafah.” Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Musa Al-Madini dari jalur Abi Nu’aim Al-Hafiz dengan sanad yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban. (Lathaif Al-Ma’arif: 343).
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari dunia yang paling utama adalah hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah ini sama (keutamaannya) seperti jihad di jalan Allah? Rasulullah menjawab, “Tidak sama (keutamaan) hari-hari ini) seperti jihad di jalan Allah kecuali orang yang mati syahid.” (HR. Al-Bazzar dan lainnya).
Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari hadits ini, “Hadits ini diriwayatkan secara mursal. Ada yang berpendapat bahwa hadits ini paling shahih (dalam masalah ini).” (Lathaif Al-Ma’arif: 343).
Ketiga; Sepuluh hari awal Dzulhijjah lebih utama dari hari-hari yang paling utama di sisi Allah.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Tidak ada hari yang lebih agung di sisi Allah dari hari Jum’at melainkan sepuluh hari awal Dzulhijjah.”
Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari perkataan Ibnu Umar tersebut, “Ini menunjukkan bahwa hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah) lebih utama dari hari-hari Jum’at yang merupakan hari-hari yang paling utama. (Lathaif Al-Ma’arif: 344).
Dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Ka’ab radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Allah telah memilih masa tertentu, dan masa yang paling dicintai oleh Allah adalah bulan-bulan haram, dan bulan-bulan haram yang paling dicintai oleh Allah adalah Dzulhijjah, dan (hari-hari) bulan Dzulhijjah yang paling dicintai oleh Allah adalah sepuluh hari pertama.” (Lathaif Al-Ma’arif: 344).
Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari perkataan Ka’ab di atas, “Dan diriwayatkan hadits ini oleh sebahagian orang dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, namun itu tidak shahih. (Lathaif Al-Ma’arif: 344).
Masruq berkata, “Malam-malam yang sepuluh (awal Dzulhijjah) ini adalah hari-hari yang paling utama dalam setahun. (HR. Abdur Razzaq dan lainnya). (Tafsir Ath-Thabari: 30/181, dan Lathaif Al-Ma’arif: 344).
Keempat: Pada sepuluh hari awal Dzulhijjah ini terdapat hari ‘Arafah yang merupakan hari yang paling utama dalam setahun dan hari Nahr (hari Kurban) yang merupakan hari yang paling agung di sisi Allah. Ini menunjuklan keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijjah.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallahu ‘alahi wasalam bersabda, “Hari yang paling utama adalah hari ‘Arafah.” (HR. Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban).
Dari Jabir radhilyallahu ‘anhu, dari Nabi shallahu ‘alahi wasalam bersabda, “Dan tidak ada satu hari pun yang lebih utama dari hari ‘Arafah.” (HR. Abu Musa Al-Madini).
Dari Abdullah bin Qarth, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr.” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil dengan nomor 2018).
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Dan juga sepuluh hari awal Dzulhijjah mencakup hari ‘Arafah, dan telah diriwayatkan bahwa ia adalah hari yang paling utama dari hari-hari dunia sebagaimana telah datang dari hadits Jabir yang telah kami sebutkan. Dan padanya ada hari Nahr (yang merupakan hari yang paling agung di sisi Allah) sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Qarth, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan lainnya. (Lathaif Al-Ma’arif: 344).
Lalu Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Semua ini menunjukkan bahwa sepuluh hari awal Dzulhijjah lebih utama dari hari-hari di bulan lainnya tanpa ada pengecualian, ini dalam hari-harinya.” (Lathaif Al-Ma’arif: 344).
Kelima; malam-malam sepuluh awal Dzulhijjah lebih utama dari malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan. Inilah pendapat imam Ibnu Rajab dan para ulama lainnya.
Menurut Imam Ibnu Rajab, malam-malam sepuluh awal Dzulhijjah lebih utama dari malam-malam sepuluh Ramadhan. Beliau membantah pendapat para ulama yang mengatakan bahwa sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam awal Dzulhijjah.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Adapun pada malam-malam sepuluh awal Dzulhijjah, sebahagian ulama mutaakhkhirin mengklaim bahwa malam-malam sepuluh (terakhir) Ramadhan lebih utama dari malam-malamnya, karena terdapat padanya malam Lailatul Qadar, ini (pendapat) yang sangat jauh (dari kebenaran. Seandainya hadits Abu Hurairah, “Menghidupkan semua malam-malam dari sepuluh malam awal Dzulhijjah dengan ibadah (sama keutamaannya) dengan menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan ibadah” itu shahih, maka hadits ini dengan jelas menunjukkan keutamaan malam-malam sepuluh awal Dzulhijjah dari malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan, karena sepuluh malam terakhir Ramadhan memiliki keutamaan karena dengan keutamaan satu malam dari malam-malamnya (yaitu malam Lailatul Qadar), dan ini semua malam-malam sepuluh awal Dzulhijjah sama keutamaannya dalam menghidupkan malamnya dengan ibadah berdasarkan hadits ini, akan tetapi hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Musa jelas menunjukkan keutamaan hari-harinya seperti malam-malamnya juga. Dan dikatakan hari-hari, maka sudah termasuk ke dalamnya malam-malamnya secara otomatis, dan demikian pula dikatakan malam-malam maka masuk hari-harinya. secara otomatis. Dan Allah ta’ala telah bersumpah dengan malam-malamnya, Dia berfirman, ” Demi Fajar, dan demi malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2). Ini juga menunjukkan keutamaan malam-malamnya (sepuluh hari awal Dzulhijjah). Akan tetapi, tidak ada satupun hadits shahih yang menjelaskan bahwa malam-malamnya (sepuluh awal Dzulhijjah) dan tidak pula satu malam darinya sebanding dengan keutamaan malam Lailatul Qadar.” (Lathaif Al-Ma’arif: 344).
Lalu beliau berkata, “Yang benar setelah dikaji masalah ini adalah pendapat beberapa ulama muta’akhirin yang berpendapat bahwa keseluruhan sepuluh hari awal Dzulhijjah ini lebih utama dari keseluruhan sepuluh Ramadhan, meskipun pada sepuluh Ramadhan ini terdapat satu malam yang tidak ada malam selainnya yang lebih utama dari malam itu.” (Lathaif Ma’arif: 345).
Keenam; Bulan Dzulhijjah merupakan bulan yang paling utama dari bulan-bulan haram, karena keharamannya lebih besar dari bulan-bulan haram lainnya.
Imam Ibnu Rajab berkata, “Dan apa telah berlalu dari perkataan Ka’ab menunjukkan bahwa bulan Dzulhijjah lebih utama dari bulan-bulan haram. Begitu pula Sa’id bin Jubair perawi hadits ini dari Ibnu Abbas, “Tidak ada bulan-bulan yang paling besar keharamannya melainkan bulan Dzulhijjah.”
“Di dalam musnad Al-Bazzar, dari Abu Sa’id Al-Khudhuri, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Penghulu segala bulan adalah Ramadhan, dan yang paling besar keharamannya adalah Dzulhijjah.” Pada sanadnya ada perawi yang dhaif.”
Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Sa’id Al-Khudhuri juga, bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada haji wada’ dalam khutbahnya pada hari Nahr (Hari Raya Kurban), “Ketahuilah! Sesungguhnya hari-hari yang paling besar keharamanmya adalah hari kalian ini. Ketahuilah! Sesungguhnya bulan-bulan yang paling besar keharamannya adalah bulan kalian ini. Dan ketahuilah ! Sesungguhnya negeri yang paling besar keharamannya adalah negeri kalian ini.”
“Dan diriwayatkan demikian juga dari Jabir, Wabishah bin Ma’bad, Nabiith bin Syarith, dan lainnya, dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini menunjukkan bahwa bulan Dzulhijjah adalah bulan yang paling utama dari bulan-bulam haram, di mana ia paling besar keharamannya. Dan telah diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa yang paling utama dari bulan-bulan Haram adalah Muharram. Kami akan menyebutkannya pada penyebutan bulan Muharram insya Alla ta’ala. Adapun orang yang mengatakan bahwa yang paling utama dari bulan-bulan haram adalah Rajab, maka perkataannya tertolak.” (Lathaif Al-Ma’arif: 345)
Ketujuh, bulan Dzulhijjah merupakan penutup bulan-bulan yang dimaklumi yaitu bulan-bulan haji yang Allah ta’ala menyebutkannnya dalam firman-Nya, “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.” (Al-Baqarah: 197) yaitu Syawwal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari awal Dzulhijjah. (Lathaif Al-Ma’arif: 348).
Diriwayatkan demikian dari Umar bin Khatthab, anaknya Abdullah (Ibnu Umar), ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Az-Zubair, dan lainnya dari para sahabat. Inilah pendapat kebanyakan para ulama tabi’in, mazhab Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu Tsaur, dan lainnya. Akan tetapi Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama lainnya mengeluarkan hari Nahr darinya, namun kebanyakan ulama memasukkannya, karena ia hari haji akbar, dan padanya ada terjadi kebanyakan perbuatan manasik haji. Sebahagian ulama berkata, “Dzulhijjah semuanya termasuk bulan-bulan haji. Ini pendapat Malik, Asy-Syafi’i dalam qaul qadim, dan satu riwayat dari Ibnu Umar juga, serta diriwayatkan oleh sekelompok ulama salaf. Dalam hal ini, ada hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, namun tidak shahih. Pembicaraan dalam masalah ini panjang, dan ini bukan tempatnya.” (Lathaif Al-Ma’arif: 347).
Kedelapan; Sepuluh hari awal Dzulhijjah merupakan hari-hari yang telah ditentukan yang Allah ta’ala mensyariatkan zikir padanya atas rezeki-Nya berupa hewan.
Allah ta’ala berfirman, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. (Al-Hajj: 27-28)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa beberapa hari yang telah ditentukan ini adalah sepuluh hari awal Dzulhijjah, di antara mereka adalah Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al-Hasan, ‘Atha’, Mujahid, ‘Ikrimah, Qatadah, An-Nakh’iy. Ini pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam pendapat yang masyhur darinya.” (Lathaif Al-Ma’arif: 345).
Inilah hari-hari yang paling agung dan paling utama di sisi Allah ta’ala dalam setahun. Oleh karena itu, perbanyaklah amal shalih padanya khususnya haji, umrah, takbir, tahlil, tahmid, kurban, dan puasa. Karena, amal shalih yang dilakukan pada hari-hari ini paling dicintai oleh Allah ta’ala. Semoga Allah ta’ala menerima amal shalih kita pada hari-hari ini. Amin.
Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh International Islamic University Malaysia (IIUM).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.