Oleh Dr. Yanhar Jamaluddin, M.AP [1], Drs. Syafrial Pasha, SS [2]
AKSESIBILITAS ketersediaan pangan yang signifikan di Sumatera Utara terletak pada komoditas padi. Kondisi ini disebabkan makanan pokok masyarakatnya terdapat pada beras. Sehingga konsumsi beras menjadi tinggi dibanding sumber pangan lainnya.
Karena pentingnya beras bagi masyarakat, Pemerintah Daerah selalu berupaya untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri.
Upaya ini menjadi krusial karena pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun semakin bertambah dengan penyebaran populasi yang luas mencakup geografis yang tersebar.
Sebagai upaya untuk mencukupi keperluan pangan penduduknya, Pemerintah Daerah membutuhkan ketersediaan pangan dalam jumlah besar dan mencukupi sepanjang tahun dan tersebar, guna memenuhi kecukupan konsumsi pangan yang cukup.
Sebagai contoh, di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang merupakan wilayah dengan potensi pertanian lokal yang signifikan. Namun, pola produksi pertanian yang masih bersifat tradisional dan keterbatasan akses terhadap teknologi modern selalu menjadi penghadang dalam memenuhi ketersediaan pangan yang mencukupi.
Di samping itu, aksesibilitas pangan di wilayah ini juga terpengaruh oleh faktor ekonomi, sosial dan lingkungan, seperti tingkat pendapatan masyarakat dan kebijakan pemerintah setempat. Kondisi ini menjadi tantangan besar dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Fenomena ini terletak pada upaya untuk memahami lebih dalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan aksesibilitas pangan lokal di Sumatera Utara yang mencakup ketersediaan pangan lokal, termasuk jenis dan jumlah pangan yang tersedia, mengetahui aksesibilitas pangan lokal, mencakup faktor ekonomi, geografis, dan sosial yang mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan, dan juga mengidentifikasi ketersediaan dan aksesibilitas pangan lokal terhadap ketahanan pangan masyarakat.
Artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai kondisi pangan lokal di Sumatera Utara serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Selain itu, kondisi ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang efektif bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan (Food Security).
Dengan demikian, artikel ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan pemahaman ilmiah dan pengetahuan mengenai isu ketahanan pangan, tetapi juga memberikan manfaat praktis dalam upaya pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) di Sumatera Utara.
Melalui artikel ini, diharapkan dapat pula memberikan solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai tantangan dalam ketersediaan dan aksesibilitas pangan lokal, sehingga ketahanan pangan pada daerah-daerah dengan karakteristik serupa di wilayah Sumatera Utara dapat terwujud dengan lebih baik.
Dimensi Ketahanan Pangan Lokal
Ada empat elemen yang membangun kerangka ketahanan pangan lokal: ketersediaan, akses, penggunaan dan pemanfaatan, serta stabilitas.
Elemen-elemen ini menunjukkan tiga dimensi yang menggambarkan aliran pangan mulai dari ketersediaan dan akses hingga penggunaan dan pemanfaatan serta aspek keberlanjutan, sebagaimana telah diidentifikasi menurut definisinya (FAO, 2008).
1) Ketersediaan mengacu pada keberadaan fisik makanan. Di tingkat nasional, ketersediaan pangan merupakan kombinasi dari produksi pangan dalam negeri, impor dan ekspor pangan komersial, bantuan pangan, dan stok pangan dalam negeri. Di tingkat rumah tangga, makanan bisa berasal dari produksi sendiri atau dibeli dari pasar lokal. Mengenai produksi pangan, sumberdaya air diperlukan untuk menghasilkan tanaman. Akibat pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim, tekanan terhadap sumberdaya alam yang ada semakin meningkat. Dampak perubahan iklim seringkali menyebabkan degradasi lahan, kurangnya air irigasi, berkurangnya kelembaban tanah dan hilangnya mata pencaharian ekonomi.
2) Aksesibilitas pangan dapat sampai ke konsumen (infrastruktur transportasi) dan konsumen mempunyai cukup uang untuk membeli. Selain aksesibilitas fisik dan ekonomi tersebut ditambah dengan akses sosial budaya untuk menjamin ketersediaan pangan dapat diterima secara budaya, dan jaring perlindungan sosial untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung.
3) Pemanfaatan. Individu harus bisa makan dengan jumlah yang cukup baik kuantitas maupun kualitasnya agar dapat hidup sehat dan utuh guna mewujudkan potensi dirinya. Makanan dan air harus aman dan bersih, sehingga air dan sanitasi yang memadai juga diperlukan pada tingkat ini.
4) Stabilitas ; berkaitan dengan kemampuan masyarakat (rumah tangga) untuk menahan guncangan pada sistem rantai pangan baik yang disebabkan oleh bencana alam (iklim, gempa bumi) atau yang disebabkan oleh manusia (perang, krisis ekonomi). Stabilitas menggambarkan dimensi temporal ketahanan pangan dan gizi, masing-masing jangka waktu dimana ketahanan pangan dan gizi dipertimbangkan. Stabilitas terjadi ketika pasokan di tingkat rumah tangga tetap konstan sepanjang tahun dan dalam jangka panjang. Hal ini mencakup makanan, pendapatan, dan sumber daya ekonomi. Selain itu, penting untuk meminimalkan risiko eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, ketidakstabilan harga, konflik atau epidemi melalui kegiatan dan implementasi yang meningkatkan ketahanan rumah tangga.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa ketahanan pangan lokal terjadi pada beberapa tingkatan. Ketersediaan – Nasional; Aksesibilitas – Rumah Tangga; Pemanfaatan – Individu; Stabilitas – dapat dianggap1 sebagai dimensi waktu yang mempengaruhi semua tingkatan. Keempat dimensi ini harus saling mengikat demi ketahanan pangan lokal yang utuh.
Faktor Ketersediaan Dan Aksesibilitas Pangan Lokal
Ketersediaan pangan lokal merujuk pada jumlah dan jenis pangan yang diproduksi dan tersedia di suatu wilayah. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan lokal meliputi:
1. Produksi Pertanian: Pola produksi, teknologi pertanian, dan sumberdaya alam.
2. Iklim dan Cuaca: Kondisi iklim yang mempengaruhi hasil pertanian.
3. Infrastruktur Pertanian: Akses terhadap sarana dan prasarana pertanian, seperti irigasi, alat dan mesin pertanian, serta fasilitas penyimpanan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa jika tidak terdapat teknologi pertanian moderen dan penganekaragaman (diversifikasi) tanaman mungkin akan menyebabkan ketersediaan pangan di suatu wilayah mengalami rawan pangan (Food Insecurity).
Di samping itu, aksesibilitas terhadap sumber daya air dan tanah yang subur juga bergantung pada iklim dan cuaca.
Pada hakikatnya, diversifikasi produksi pangan merupakan aspek yang krusial dalam ketahanan pangan lokal. Diversifikasi produksi pangan lokal bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko kerugian dalam berusaha.
Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak, juga akan mendukung upaya penganekaragaman produksi yang merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan lokal.
Berkaitan dengan fakta ini, terdapat dua bentuk diversifikasi produksi yang dapat dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan lokal, yakni:
1. Diversifikasi horizontal; yakni meningkatkan usahatani komoditas unggulan sebagai “inti usaha” serta meningkatkan usahatani komoditas lainnya sebagai usaha pelengkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam, modal, dan tenaga kerja keluarga serta meminimalisir terjadinya resiko kegagalan usaha.
2. Diversifikasi regional; yakni meningkatkan komoditas pertanian unggulan lokasi khusus dalam wilayah yang luas menurut kesesuaian keadaan pertanian dan lingkungannya, yang pada akhirnya akan mendukung peningkatan pusat-pusat produksi pertanian di berbagai wilayah serta mendukung peningkatan perdagangan antar wilayah.
Sebaliknya, diversifikasi produksi pangan jika tidak diterapkan oleh para petani, maka dapat diasumsikan bahwa hampir rata-rata rumahtangga atau masyarakat di suatu wilayah dapat digolongkan rawan pangan, dan beberapa diantaranya yang termasuk rawan pangan dapat dikategorikan relatif tinggi.
Pada dasarnya ketahanan pangan lokal bersifat fluktuatif menurut musim, dan tergantung pada persediaan pangan di tingkat rumahtangga. Pada praktiknya, setiap rumahtangga memiliki kebiasaan menyimpan hasil panennya untuk konsumsi selama menunggu musim panen berikutnya selama sekitar 3 bulan lebih, persediaan pangan biasanya sangat kurang di saat menjelang musim panen datang.
Bahkan terkadang nyaris habis sama sekali dikarenakan para petani terpaksa menjual persediaan beras kepada tengkulak (rentenir) untuk menanggulangi biaya produksi dan biaya hidup yang tinggi.
Dalam upaya menanggulangi keadaan ekonomi yang tidak stabil, rumahtangga bersangkutan melakukan berbagai upaya penanggulangan agar kebertahanan pangan tetap berjalan.
Penanggulangan itu sendiri berhubungan dengan seluruh upaya yang dilakukan guna menyediakan keperluan pangan anggota keluarga. Pada praktiknya, para petani melakukan upaya penanggulangan dengan cara meminjam uang kepada tengkulak (rentenir) dengan sistem ijon yang menerapkan bunga yang sangat tinggi, melebihi dari pokok pinjaman.
Sistem ijon adalah suatu sistem jual beli yang memungkinkan petani untuk membeli barang pada masa sekarang, namun mengambil hasilnya di masa mendatang.
Sistem jual beli ini biasanya diterapkan pada hal-hal tertentu seperti buah, hewan ternak, hasil pertanian, dan lain-lain.
Pembayaran hutang dengan bunga yang sangat tinggi itu biasanya dilakukan dengan hasil panen. Namun terkadang karena hasil panen yang diperoleh sedikit maka tidak jarang hasil panen mereka tidak ada yang tersisa untuk membayar hutang, bahkan terkadang tidak memadai untuk membayar hutang.
Aksesibilitas Pangan Lokal dari Faktor Sosial, Ekonomi Dan Lingkungan
Aksesibilitas terjamin ketika semua rumahtangga mempunyai sumber daya yang cukup untuk memperoleh pangan dalam jumlah, kualitas, dan keragaman pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal.
Kondisi ini terutama bergantung pada jumlah sumberdaya rumah tangga dan harga. Disamping itu, aksesibilitas juga merupakan persoalan lingkungan fisik, sosial dan kebijakan. Perubahan drastis pada dimensi ini dapat sangat mengganggu strategi produksi dan mengancam akses pangan bagi rumahtangga yang terkena dampak.
Sebagai contoh, hasil pengamatan di Kecamatan Pantai Labu pernah terkena dampak kekeringan parah atau banjir. Akibatnya hasil panen menyusut dan harga pangan meningkat sehingga berdampak pada ketersediaan dan aksesibilitas pangan bagi rumah tangga.
Untuk mencegah perkembangan negatif tersebut, terdapat beberapa cara adaptasi teknis yakni pembangunan infrastruktur seperti bendungan kecil dan/atau bendungan penyebar air untuk menahan air dan menaikkan permukaan air tanah dangkal.
Begitu juga halnya dengan pembangunan tanggul dan perbaikan sistem drainase banjir.
Di samping itu, pelestarian dan rehabilitasi lingkungan (ekosistem), perencanaan sensitif terhadap banjir atau sistem peringatan dini dan rencana darurat semakin meningkatkan kemampuan untuk menghadapi kejadian cuaca ekstrim dan untuk melestarikan lingkungan fisik.
Penggunaan dan pemanfaatan menggambarkan aspek sosial ekonomi ketahanan pangan lokal, yang ditentukan oleh pengetahuan dan kebiasaan. Dengan asumsi bahwa pangan tersedia dan dapat diakses, rumahtangga harus memutuskan makanan apa yang akan dibeli dan bagaimana cara menyiapkannya serta bagaimana cara mengonsumsi dan mengalokasikannya dalam rumah tangga.
Aspek lainnya adalah pemanfaatan tanaman hayati, seperti ubi jalar, jagung dan sayuran. Kondisi ini berkaitan dengan kemampuan tubuh manusia dalam mengambil makanan dan mengubahnya.
Selain itu pemanfaatannya memerlukan lingkungan fisik yang sehat dan fasilitas sanitasi yang memadai serta pemahaman dan kesadaran pentingnya kesehatan yang baik, penyiapan makanan, dan proses penyimpanan.
Dalam konteks ini air minum yang aman memainkan peranan penting, terutama untuk menyiapkan makanan dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi masyarakat.
Air minum yang aman berhubungan dengan air tanah yang sering kali terkontaminasi melalui air limbah manusia, industri, atau pertanian serta faktor-faktor lain.
Maka, ketatalaksanaan aksesibilitas ketahanan pangan lokal merupakan salah satu upaya mengatasi berbagai masalah kerawanan pangan yang terjadi di Sumatera Utara, yang sudah dikenal sebagai suatu daerah yang memiliki kondisi persawahan tadah hujan.
Aksesibilitas pangan lokal di sejumlah wilayah di Sumatera Utara memiliki penerapan yang signifikan terhadap ketahanan pangan masyarakat.
Produksi pertanian didominasi oleh tanaman padi, yang sesuai dengan kondisi iklim dan tanah lokal, serta memiliki nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat. Meskipun demikian, terdapat tantangan dalam diversifikasi pertanian untuk tanaman hayati yang memerlukan perhatian ekstra dalam manajemen lahan dan teknik pertanian, berhubung produksi tanaman hayati terbatas karena persyaratan tanah dan perawatan yang lebih intensif.
Harga pangan lokal, terutama beras, ubi jalar, jagung, dan sayuran, mengalami fluktuasi yang mempengaruhi aksesibilitasnya di pasar lokal.
Taraf pengelolaan ketersediaan pangan lokal (rumahtangga), khususnya pangan beras, tergolong rendah. Sehingga pola distribusi pangan lokal cenderung kurang baik.
Artinya, dalam pembagian pangan tidak dilakukan secara proporsional. Untuk meningkatkan ketahanan pangan local, terutama dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas usahatani dan diversifikasi pangan maupun melalui peningkatan daya beli terhadap pangan.
Selain itu, perlu adanya studi yang lebih mendalam serta lebih komprehensif mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan lokal di daerah-daerah rawan pangan.
Persoalan ketahanan pangan lokal masih menjadi persoalan yang hanya ditangani sebagian, karena kompleksitasnya dan kesulitan dalam mengalokasikan tanggung jawab antar individu, sektor swasta dan pemerintah.
Maka, dengan menerapkan tata kelola yang baik dan menghormati supremasi hukum menjadi sangat penting dalam mengatasi rawan pangan.
Kesimpulan
Upaya meningkatkan aksesibilitas pangan lokal serta menguatkan ketahanan pangan di Sumatera Utara perlu adanya penguatan produksi beras.
Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan untuk mendukung produksi beras melalui penyediaan teknologi pertanian yang tepat, pelatihan bagi petani, dan promosi penggunaan diversifikasi pertanian yang efisien.
Perlu diketahui bahwa diversifikasi produksi pangan adalah inisiatif untuk memperluas jenis tanaman hayati lain yang ditanam dan perlu ditingkatkan dengan memperbaiki manajemen lahan dan pemilihan varietas yang sesuai dengan kondisi lokal.
Di samping itu, stabilisasi harga merupakan upaya untuk mengurangi fluktuasi harga pangan, seperti penyediaan infrastruktur pasar yang baik dan insentif untuk mengurangi biaya produksi lainnya, perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan aksesibilitas pangan lokal.
Peningkatan aksesibilitas, perluasan infrastruktur distribusi serta promosi pasar lokal yang lebih terorganisir dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap pangan lokal yang bervariasi dan bergizi.
Akhirnya, pemerintah daerah perlu mengembangkan kebijakan yang mendukung keberlanjutan produksi dan distribusi pangan lokal, termasuk regulasi yang memfasilitasi pertanian berkelanjutan dan insentif bagi petani lokal.
Semua pihak yang terlibat dalam produksi pangan lokal harus mematuhi undang-undang dan peraturan nasional, regional, dan lokal yang berlaku serta perjanjian internasional yang telah diratifikasi. (Penulis 1) Kepala Pusat Kajian Program Studi Magister Administrasi Publik, Universitas Medan Area dan 2) Etnografer Sumatera Utara)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.