Kedaulatan Rakyat Kedaulatan Hukum

  • Bagikan
<strong>Kedaulatan Rakyat </strong><strong>& </strong><strong>Kedaulatan Hukum</strong><strong></strong>

Dalam ajaran Kedaulatan Hukum, suatu perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan, tidak dapat mengikat rakyat. Dengan tegas kita katakan tidak perlu untuk ditaati rakyat, karena peraturan perundang-undangan yang demikian bukanlah sebenarnya hukum

Dalam suatu negara tentu ada rakyat. Adanya rakyat adalah salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Di dalam negara ada juga pemerintah (baik itu disebut raja, penguasa, kepala negara, kepala pemerintahan, presiden dan semacamnya) untuk mengelola sebuah negara. Untuk siapa? Ya, tentunya untuk kepentingan rakyat banyak, dan rakyat tersebut memiliki kedaulatan. Mengapa rakyat memiliki kedaulatan dalam sebuah negara?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, sekitar abad ke-18 Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teori Perjanjian Masyarakat (Social Contract). Perjanjian tersebut diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Artinya, terjadinya suatu negara karena adanya Perjanjian Masyarakat (Social Contract). Hal tersebutlah yang menjadi dasar lahirnya kedaulatan rakyat. Dalam kajian filsafat hukum dan politik, ia (kedaulatan rakyat) menjadi sebuah paham (isme) dan atau teori yang mengajarkan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat (Zaeni Asyadie dan Arief Rahman, 2020:25).

Kemudian dalam pembentukan peraturan perundang-undangannya adalah suatu penjelmaan kemauan rakyat. Menurut teori Kedaulatan Rakyat, hukum adalah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan kepada suatu negara yang telah dibentuk dan diberi tugas untuk membentuk hukum. Mereka menaati dan tunduk pada hukum karena telah berjanji untuk menaatinya (Zaeni Asyadie dan Arief Rahman, 2020:25-26). Hal ini pun menjadi bagian dari jawaban atas pertanyaan filosofis; apakah penyebab orang menaati hukum (baca Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi dalam buku Pengantar Filsafat Hukum).

Teori Kedaulatan Rakyat ini ditentang oleh sebuah teori Kedaulatan Negara, yang mana dalam aspek hukum dikatakan bahwa hukum yang dibentuk atas kehendak negara. Orang-orang menaati hukum atas perintah negara, yang dalam hal ini dibentuk oleh penguasa atau pemerintah. Teori ini (Kedaulatan Negara) mengajarkan hukum dibentuk atas kemauan dan kepentingan penguasa, bukan lagi atas kemauan dan kepentingan rakyat. Karena hukum adalah kehendak negara, maka negara itu pun memiliki kekuatan (power) yang tidak terbatas (absolutisme yang dilegalkan).

Hans Kelsen (dalam Zaeni Asyadie dan Arief Rahman, 2020:26) menyatakan bahwa; “hukum itu tidak lain daripada kemauan negara”. Filsuf hukum tersebut memberikan catatan, orang yang tunduk dan taat pada hukum bukan karena kehendak negara, tetapi karena memang mereka merasa wajib untuk menaatinya sebagai perintah negara. Akan tetapi dalam praktiknya saat ini di Indonesia, catatan itu diabaikan oleh negara (baca: pemerintah).

Menanggapi pendapat di atas dengan mendekatkan pada konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disingkat UUD NRI 1945), negara kita menganut Kedaulatan Rakyat. Di mana di dalam Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sehingga jelas bahwa kedaulatan bukan di tangan negara (penguasa/pemerintah). Pada ayat selanjutnya (ayat 3) mempertegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Ayat 3 (tiga) ini menegaskan bahwa negara kita bukan lagi negara kekuasaan dipegang oleh seseorang yang sering diistilahkan dengan machstaat.

Hukum yang dimaksud harus kita maknai adalah hukum yang sesuai atau atas kemauan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara, bukan hukum atas kehendak dan kemauan penguasa. Jelas dari dua ayat tersebut tampak sebuah integrasi antara Kedaulatan Rakyat dengan Kedaulatan Hukum. Ini perlu direalisasikan dalam bernegara yang demokratis.

Nah, muncul sebuah pertanyaan; bagaimanakah teori Kedaulatan Hukum itu? Mengapa perlu diintegrasi dengan teori Kedaulatan Rakyat?

Jika teori Kedaulatan Negara menentang teori Kedaulatan Rakyat dalam rangka menaati hukum, maka teori Kedaulatan Hukum menentang teori Kedaulatan Negara, kemudian membela teori Kedaulatan Rakyat. Pencetus teori Kedaulatan Hukum, Prof. Mr. H. Krabbe (dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2020:84-85) menjelaskan, hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya akan tetapi karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Berlakunya hukum karena nilai batinnya menjelma di dalam hukum.

Semakna dengan di atas (dalam Zaeni Asyadie dan Arief Rahman, 2020:26-27) menjelaskan, Prf. Mr. H. Krabbe mengajarkan bahwa sumber hukum adalah “rasa keadilan”. Hukum harus memenuhi rasa keadilan dari orang banyak yang ditundukkan padanya. Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan keadilan yang diajarkan oleh penganut Utilitarianisme di Inggris, seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Dalam ajaran Kedaulatan Hukum, suatu perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan, tidak dapat mengikat rakyat. Dengan tegas kita katakan tidak perlu untuk ditaati rakyat, karena peraturan perundang-undangan yang demikian bukanlah sebenarnya hukum. Dikatakan bahwa hukum itu ada karena anggota masyarakat memiliki perasaan hukum, maka kaidah yang timbul dari perasaan hukum (rasa keadilan) anggota masyarakatlah yang mempunyai kewibawaan atau kekuasaan (rechtstaat atau rule of law).

Dari penjelasan teori di atas, jika kita lihat fenomenanya di Indonesia, cita-cita atau pun harapan dari dua teori tersebut serta sebagaimana yang diamanahkan dalam UUD NRI 1945 masih jauh. Praktik yang belakangan hari kita lihat di Indonesia adalah perwujudan teori Kedaulatan Negara, yang mana penguasa (pemerintah dan wakil rakyat di lembaga legislasi) membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan kehendaknya. Tidak hanya itu, peraturan perundang-undangan dibentuk untuk sebuah kepentingan politik mereka. Banyak norma-norma hukum yang dilanggar saat membentuk UU Cipta Kerja. Kemudian, merubah Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) untuk melancar misi perbaikan UU Cipta Kerja yang menjelmakan kepentingan penguasa dan kaum oligarki.

Yang terbaru, tidak bosan-bosan kita bicarakan adalah disahkannya UU KUHP baru yang mengandung pasal-pasal membunuh iklim “kebebasan rakyat’ dan rasa keadilan anggota masyarakat dalam berdemokrasi, mengkritik pemerintah atau pejabat umum. Ada kesan UU tersebut adalah untuk melindungi negara (penguasa) dari kritikan rakyat. Secara singkatnya, Indonesia saat ini menganut toeri Kedaulatan Negara yang menyebabkan banyak masalah hukum, membunuh rasa keadilan masyarakat, dan membunuh hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat.

Solusi atas masalah tersebut perlu kita kembali pada UUD NRI 1945 (sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1) dengan konsekuen. Teori Kedaulatan Rakyat dan teori Kedaulatan Hukum perlu diintegrasikan dalam aspek hukum dan kehidupan masyarakat dalam bernegara. Dalam bernegara, kepentingan rakyat (dalam arti positif) adalah kepentingan di atas segala-galanya.***

Penulis adalah Peneliti Muda Laboratorium Hukum FH UISU Medan.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong>Kedaulatan Rakyat </strong><strong>& </strong><strong>Kedaulatan Hukum</strong><strong></strong>

<strong>Kedaulatan Rakyat </strong><strong>& </strong><strong>Kedaulatan Hukum</strong><strong></strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *