Kebencian, Ujaran & Politik Kebencian

  • Bagikan
Kebencian, Ujaran & Politik Kebencian

Oleh Zulkarnain Lubis

Kebencian tidak sama dengan ujaran kebencian, tidak sama pula dengan penyebaran kebencian. Tidak semua kebencian berlanjut dengan ujaran kebencian, tidak harus pula berujung dengan penyebaran kebencian…

Ada pernyataan bahwa penyakit terburuk di dunia adalah kebencian. Membenci seseorang merupakan emosi negatif yang kuat yang akan membebani orang lain dan orang yang memiliki kebencian tersebut. Jika kebencian dibiarkan bertahan dalam hati, dia akan menjadi keburukan yang membakar kebaikan, seperti api yang membakar kayu bakar. Rasa benci juga akan memunculkan sifat buruk lainnya, seperti rasa permusuhan, dendam, iri, dengki, dusta, fitnah, dan ghibah. Rasa benci yang bersarang di dalam hati juga akan merusak hati dan membuat malapetaka datang menghampiri, karena jika rasa benci masih bersemayam dalam diri, setidaknya akan ada tiga kerugian yang akan kita dapatkan, yaitu dia akan menutup kebaikan, akan menggerogoti kesehatan, dan akan membuat hidup gelisah.

Kebencian yang dipelihara dan dibiarkan bersarang di hati, apalagi terus menerus dibangkit-bangkitkan, lambat laun akan membara dan mengarah jadi tindak kejahatan. Jika kebencian dibiarkan makin meluas, maka dia akan berkembang menjadi serangkaian tindakan destruktif seperti pengrusakan dan kerusuhan. Apabila kebencian tersimpan di dalam hati orang yang memiliki jabatan tinggi, memiliki kewenangan dan kekuasaan luas, serta memiliki kekuatan besar, maka mungkin saja kebencian yang dimiliki berubah menjadi pikiran ekstrim, sehingga kebencian akan menjadi kejahatan puncak yaitu yang mengarah kepada kejahatan pemusnahan suatu golongan atau kejahatan genocide.

Kebencian di hati diperparah penyebaran kebencian dan ujaran kebencian, apalagi penyebaran dan ujaran kebencian tersebut dikaitkan aktivitas politik, sehingga yang akan muncul adalah politik kebencian. Ujaran kebencian adalah segala jenis komunikasi dalam ucapan, tulisan, atau perilaku yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan dan diskriminatif yang mengacu pada seseorang atau kelompok tertentu. Ujaran kebencian juga bentuk ketidaksukaan pada orang lain atau kelompok masyarakat lain yang merujuk pada ekspresi kebencian dan ketidaksukaan melalui penyebaran dan pembenaran kebencian untuk maksud menyerang yang akan berakibat pada kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Secara umum, ujaran kebencian biasanya mengandung unsur penghinaan, tuduhan, umpatan, provokasi, hasutan, penistaan, intimidasi, agitasi, dan kebencian berlebihan. Hasutan yang berisi pelabelan, provakasi, ungkapan diskriminasi, dan ucapan-ucapan yang bernada kekerasan pada tingkat yang ekstrem akan mendorong munculnya kebencian kolektif yang berujung pada penyerangan atau persekusi pada dunia sosial dan memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan di kehidupan nyata serta akan berdampak pada konflik individu, komunal, dan antar kelompok yang bisa jadi akan melahirkan disintegritas.

Memang kebencian tidak sama dengan ujaran kebencian, tidak sama pula dengan penyebaran kebencian. Tidak semua kebencian berlanjut dengan ujaran kebencian, tidak harus pula berujung dengan penyebaran kebencian, namun ujaran kebencian dan penyebaran kebencian berpeluang besar melahirkan kebencian. Demikian juga kebencian yang bisa saja hanya tersembunyi di hati dan tidak ditunjukkan dalam bentuk ucapan atau tindakan, namun kebencian akan menjadi ujaran kebencian jika diekspresikan lewat ucapan atau tulisan, selanjutnya menjadi penyebaran kebencian, apabila kebencian tersebut diedarkan melalui berbagai sarana dan media.

Memang tidak semua penyampaian pendapat, komentar, pandangan, atau kritik tentang seseorang, tentang sebuah kebijakan, atau tentang sebuah keputusan merupakan bahagian dari ujaran kebencian. Penyampaian pendapat atau kritik tidak salah dan tidak bisa dilarang, kebebasan berbicara adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang merupakan hak setiap orang. Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi dan menjadi jembatan bagi pemenuhan hak asasi lain serta memiliki makna esensial dalam demokrasi. Namun kebebasan berekspresi bukanlah hak absolut tetapi ada batasnya. Batas kebebasan berekspresi haruslah tidak melanggar hak orang lain, tidak mendukung kebencian, dan tidak memicu diskriminasi atau kekerasan, baik kekerasan verbal maupun non-verbal. Jika ketiga batasan ini dilanggar, maka kebebasan berekspresi bisa berubah wujud menjadi ujaran kebencian sebagaimana disinggung di atas.

Belakangan ini, kebencian, ujaran kebencian, dan penyebaran kebencian tersebut sangat banyak mewarnai kehidupan politik kita. Dalam menjalankan aktivitas politiknya, para politisi, aktivis, kontestan dan pendukungnya, serta para elit kita semakin terbiasa dengan ungkapan kebencian, caci maki dan umpatan, semburan kata-kata kasar, rasis, merendahkan, pemberian julukan yang bernada pelecehan dan hinaan, fitnah dan berita bohong. Memang ujaran dan penyebaran kebencian berlatar belakang politik mungkin saja tidak didasari atas kebencian yang sesungguhnya dan mungkin saja hanya untuk menjatuhkan lawan politik, namun terlepas dari kebenciannya berasal dari hati atau hanya sekedar motif politik, tetap saja ada kejahatan dan keburukan di dalamnya dan sangat besar resikonya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Aktivitas politik bermuatan ujaran kebencian ini semakin massif dan semakin intens terjadi serta kelihatannya akan semakin meningkat dan menguat seiring semakin dekatnya pemilihan umum 2024. Kelihatannya ujaran kebencian telah dijadikan sebagai salah satu strategi kampanye untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik ataupun untuk bertahan dan menaikkan “rating“ secara politik. Aktivitas politik yang dilakukan dengan muatan kebencian, dengan ujaran-ujaran kebencian, dan dengan cara menyebarkan kebencian untuk mencapai tujuan politiknya akan melahirkan politik kebencian dan dikhawatirkan cara berpolitik demikian akan tumbuh subur menjelang dan menghadapi kontestasi politik mendatang. Politik kebencian dibangun oleh kelompok ataau individu, entah itu penguasa, para pemangku kepentingan, tokoh agama, tokoh pemuda, dan tokoh politik. Sebahagian besar di antara mereka terus menerus berada dalam pusaran kebencian yang tanpa sadar telah mempolitisasi kebencian tersebut.

Politik dan kebencian yang mestinya merupakan dua kata yang saling kontradiktif telah digabungkan menjadi satu “phrase”. Politik sesungguhnya merupakan proses interaksi yang dilakukan individu dengan individu lain agar bisa mencapai kebaikan bersama. Politik sebenarnya adalah cara orang membuat keputusan dalam hidup berkelompok, politik adalah tentang membuat kesepakatan antarmanusia sehingga mereka dapat hidup bersama dalam kelompok seperti suku, kota, atau negara. Politik mestinya memiliki konotasi seni mempengaruhi atau mengajak sehingga orang mau ikut dengan ajakan ini. Mengajak dalam konteks politik mestinya memberikan keyakinan atas banyak hal yang baik dan positif kepada pihak lain dan mestinya tidak mengandung unsur keburukan. Politik mestinya dijalankan dengan berlandaskan moral dan etika yang memunculkan etika politik apalagi kita hidup di negara yang berazaskan Pancasila dan masyarakatnya merupakan ummat beragama. Dengan demikian, aktivitas politik dan perilaku politik kita mestinya adalah politik yang berkeadaban yang sesuai dengan etika politik Pancasila dan tentu saja etika agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

Namun seperti disinggung di atas, justru politik yang sejatinya mengandung nilai-nilai baik dan positif, setelah disandingkan dengan perkataan “kebencian”, maka yang muncul adalah politik kebencian yaitu cara berpolitik tuna etika yang sampai hati menebar kebencian, menggunakan kata-kata kasar dan vulgar, menyebar permusuhan, mengumbar fitnah, serta menyemburkan berita palsu terutama terhadap lawan-lawan politik, yang dilakukan baik melalui media konvesional, media sosial, media elektronik, maupun secara langsung melalui tatap muka dan kampanye terbuka, demi mengalahkan lawan politik dan meraih kemenangan politik ataupun demi mempertahankan kekuasaan politik.

Politik kebencian ini sebaiknya dihentikan karena selain akan menimbulkan polarisasi tajam dalam masyarakat yang akan membuka ruang potensi konflik dan permusuhan baik horizontal maupun vertikal, juga akan menjadi ajang saling klaim atas kebenarannya sendiri dan akan memunculkan nuansa ketidakadilan dari kebencian dan ujaran kebencian yang dibuat masing-masing. Jika politik kebencian yang tuna moral dan miskin etika ini berlanjut, dikhawatirkan bukan sekedar akan gagal menarik simpati sebagian besar pemilih, bukan hanya sekedar tidak menciptakan situasi politik demokratis, tetapi malah akan “membunuh“ demokrasi itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa para pelaku politik kebencian sedang menggali kubur demokrasi di Indonesia. Jadi, sudah saatnya para elit dan politisi kita menghindar dari politik kebencian dan kembali berpolitik yang beretika, bermoral, bermartabat, dan bermarwah.

Secara formal, cara untuk menghentikan ujaran kebencian dan politik kebencian adalah melalui penegakan hukum tegas dan adil serta tanpa tebang pilih. Siapa saja, pihak manapun, dari partai politik manapun, dan pendukung kontestan manapun, jika memang dinilai telah melanggar aturan yang ada, perlu ditindak secara adil, dan tanpa diskriminasi. Selain melalui pendekatan hukum, cara lainnya yang bisa dilakukan adalah melalui cara edukasi dan keteladanan yaitu dengan pendekatan top-down, para pemimpin harus menjauhkan diri dari sifat dan sikap yang mengindikasikan kebencian serta harus menunjukkan komunikasi yang beretika, beradab, dan santun, sehingga diharapkan akan ditiru dan dicontoh oleh bawahan dan rakyat.

Obat lain yang dapat menghilangkan penyakit kebencian, termasuk menghilangkan ujaran kebencian dan penyebaran kebencian adalah dengan hati, yaitu kebersihan hati dan cinta. Bila hati bersih maka cinta akan selalu hadir sehingga rasa benci sirna, sikap permusuhan hilang, serta ketulusan dan keikhlasan akan datang, akhirnya yang akan muncul adalah perasaan legowo meskipun harus mengalami kekalahan. Kekuasaan dianggap bukan tujuan tapi sekedar jalan untuk mewujudkan tujuan, yaitu bertujuan untuk memberi yang terbaik, berbuat yang terbaik, dan berusaha melahirkan kebaikan kepada segenap warga negara dan seluruh anak bangsa.

Jadi jika kemenangan yang diperoleh, maka akan timbul rasa senang karena mendapatkan kesempatan membuat rakyat senang, namun jika kekalahan yang didapatkan, maka tidak membuat langsung meradang, tetapi tetap tenang dan memberi kesempatan untuk memimpin kepada pihak yang menang. Karena tujuan bukan soal kalah dan menang, tentu upaya-upaya yang dilakukan dalam berjuang, bukan lagi dengan cara menyimpang, bukan dengan berbuat curang, dan tidak lagi dengan politik kebencian. Cara lain untuk menghilangkan kebencian dan ujaran kebencian adalah dengan memaafkan, karena dengan memaafkan akan hilang luka di hati dan akan membuat kita terbebas dari rasa sakit dan kebencian. Jadi, janganlah membenci siapa pun dan jangan menyakiti hati siapapun, jika hati kita tersakiti, maafkan semuanya, terutama diri kita sendiri, dan jangan pernah berhenti berdoa yang terbaik bagi semua orang.

Penulis adalah Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian UMA dan Rektor Institut Bisnis IT&B.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Kebencian, Ujaran & Politik Kebencian

Kebencian, Ujaran & Politik Kebencian

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *