Oleh Dr Putri Rumondang Siagian, SH., M.H
Plagiasi karya ilmiah tidak hanya merugikan individu yang menjadi korban, tetapi juga mencoreng dunia akademik secara keseluruhan
Fenomena plagiasi atau yang disebut dengan jiplakan menjadi permasalahan yang cukup serius dalam dunia pendidikan. Tak ayal melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memuat ketentuan pidana seperti yang tercantum dalam Pasal 70 UU Sisdiknas yang berbunyi “Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.”
Jerat pidana seakan membayangi mereka yang lulus atau mendapatkan gelar akademik, profesi dan vokasi dari hasil jiplakan karya ilmiah. Akan tetapi tidak ditemukan arti kata ‘jiplakan’ baik dalam ketentuan umum maupun di dalam penjelasan pasal sebagaimana yang menjadi unsur objektif dalam tindak pidana ini. Lantas apakah plagiasi atau jiplakan merupakan bentuk pelanggaran hak cipta dan bagaimana Undang-Undang Hak Cipta menjerat sanksi pidana terhadap perbuatan menjiplak tersebut?.
Jiplakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hasil mencontoh atau meniru tulisan atau mencuri karangan orang lain dan mengakui sebagai karangannya sendiri serta mengutip karangan orang lain tanpa seizin penulisnya. Bila mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah, plagiat atau jiplakan merupakan perbuatan (a) mengambil Sebagian atau seluruhnya karya milik orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat; (b) menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri Sebagian atau seluruh karya milik orang lain walaupun menyebut sumbernya; dan (c) mengambil Sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat.
Perbedaan sederhana antara pelanggaran hak cipta dan plagiarisme adalah bahwa pelanggaran hak cipta adalah konstruksi hukum sedangkan plagiarisme adalah konstruksi etika (Sonfield, 2014). Poin terpenting yang harus dipertimbangkan saat mendefinisikan plagiarisme dan pelanggaran hak cipta adalah bahwa pelanggaran hak cipta hanya memiliki satu korban, yaitu pemegang hak cipta. Sebaliknya, plagiarisme memiliki dua korban, yaitu penulis asli dan orang-orang yang tidak menyadari asal usul karya yang sebenarnya (Budiman & Karnalim, 2019). Namun, terdapat kebingungan ketika pelanggaran yang bersifat etika ini dijerat dengan sanksi pidana penjara, mengingat bahwa plagiarisme lebih berkaitan dengan masalah moralitas dan integritas, yang seharusnya diselesaikan melalui pendekatan pendidikan dan etika akademik, bukan dengan tindakan hukum yang berat.
Karya ilmiah yang sudah diwujudkan dalam bentuk nyata melalui tulisan, buku merupakan satu diantara ciptaan yang dilindungi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Hak cipta dalam karya ilmiah merupakan hak eksklusif yakni hak yang hanya diperuntukkan bagi pencipta sehingga tidak ada pihak lain yang memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta. Hak eksklusif ini terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral dalam karya ilmiah adalah hak yang melakat secara abadi pada diri pencipta untuk (a) tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; (b) menggunakan nama aliasnya atau samarannya; (c) mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; (d) mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan (e) mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.
Ketentuan tindak pidana dalam UUHC sejatinya hanya diperuntukkan pada perbuatan yang tanpa hak melanggar hak ekonomi pencipta maupun terhadap tindakan pembajakan (penggandaan) secara tidak sah yang tujuannya juga memperoleh keuntungan ekonomi. Sedangkan terhadap perbuatan yang melanggar hak moral tidak diatur dengan jelas dapat dijatuhkan pidana.
Apalagi ketentuan Pasal 44 UUHC memuat ketentuan bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan salah satunya adalah pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Kepentingan yang wajar sebagai unsur ‘pengecualian’ pelanggaran hak cipta juga memberikan definisi yakni kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan. Sehingga dapat ditafsirkan penggunaan sebagian atau seluruhnya karya cipta untuk tujuan Pendidikan jika sumbernya dicantumkan bukanlah pelanggaran hak cipta selama tidak merugikan keseimbangan untuk memperoleh manfaat ekonomi atas karya tersebut. Meski begitu, bila seandainya pun tidak dicantumkan sumbernya maka tidak ada secara eksplisit ketentuan jerat pidana dalam UUHC.
Anehnya dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah, tetap dikatakan sebagai jiplakan meskipun menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri Sebagian atau seluruh karya milik orang lain walaupun menyebut sumbernya padahal dalam UUHC bukan merupakan pelanggaran hak cipta jika sumbernya dicantumkan dengan lengkap. Tumpang tindihnya aturan terkait jiplakan atau plagiat dalam karya ilmiah menghasilkan kebingungan dalam penegakkan hukumnya. Tidak sinerginya aturan Permendikristek dengan UUHC merupakan persoalannya. Padahal kedudukan Permendikristek dalam urutan hierarki peraturan perundang-undangan menempati posisi di bawah undang-undang. Maka seharusnya ketentuan dalam Permenristek tersebut disesuaikan dengan ketentuan UU selaku peraturan yang posisinya di atas dari Permenristek.
Kekosongan hukum sanksi pidana dalam menjerat pelaku yang mengambil, menggandakan serta mengubah sebagian maupun seluruhnya hasil ciptaan dengan tidak mencantumkan sumbernya secara lengkap sekalipun untuk tujuan pendidikan dalam UUHC menjadi dilema. Apakah UU Sisdiknas cukup menjadi tameng pidana plagiator karya ilmiah tanpa mengikutsertakan UUHC sebagai dasar hukum pelindungan atas karya ilmiah.
Kepastian hukum pidana yang biasa dikenal dengan sebutan legalitas merupakan ‘ruh’ dalam hukum pidana. Makna yang terkandung dalam asas legalitas ini menurut Hiariej (2016) dengan mengutip pendapat Machteld Boot, di antaranya Pertama, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege praevia. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege scripta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensinya dari makna ini mengharuskan semua ketentuan pidana termuat dalam undang-undang tertulis.
Ketiga, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang jelas. Konsekuensi selanjutnya dari makna ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat membahayakan kepastian hukum. Keempat, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege stricta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang jelas. Konsekuensi dari makna ini secara implisit tidak memperbolehkan analogi.
Implementasi makna legalitas dalam tindak pidana hak cipta dicerminkan pada perbuatan yang diatur secara tegas sebagai perbuatan pidana dalam UUHC. Sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan dijerat pidana selama perbuatannya tidak jelas dilarang dalam ketentuan pidana hak cipta walaupun menimbulkan gejolak yang berulang di masyarakat.
Sebelum adanya UUHC, Jerat pidana bagi plagiator atau penjiplak yang tidak mencantumkan sumbernya sudah diatur dengan tegas di dalam Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yakni dengan memberikan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.150.000.000 (serratus lima puluh juta rupiah), akan tetapi revisi UUHC di tahun 2014 menghilangkan pidana terhadap pelanggaran hak moral dalam hak cipta. Sehingga perbuatan menjiplak atau plagiasi yang merupakan bentuk pelanggaran hak moral karena tanpa menyebutkan atau mencantumkan sumbernya secara lengkap yang terjadi saat ini semenjak UUHC Tahun 2002 tak lagi berlaku bukanlah perbuatan yang dapat dijerat pidana.
Ketentuan jerat pidana bagi plagiator karya ilmiah lebih jelas tertuang dalam KUHP Pasal 380 Ayat (1) disebutkan bahwa “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak lima ribu rupiah: Ke-1 Barang siapa menaruh suatu nama atau tanda secara palsu di atas atau di dalam suatu hasil kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan, atau memalsu nama atau tanda yang asli, dengan maksud supaya orang mengira bahwa itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya ditaruh olehnya di atas atau di dalamnya tadi.
Menurut R. Soesilo terhadap ketentuan pasal tersebut merupakan pasal yang memberi ancaman hukum terhadap perbuatan tentang hak cipta. Ketentuan Pasal 380 ayat (1) KUHP tersebut secara garis besar menunjukkan unsur tindak pidana yaitu menaruh/membubuhkan secara palsu sesuatu nama atau tanda dan memalsukan nama yang sebenarnya atau tanda yang asli pada karya sastra, karya ilmiah, kerajinan. Dengan kata lain unsur ini dapat dikatakan sebagai suatu Tindakan pencurian atas ciptaan orang lain dengan mengatasnamakan dirinya tadi sebagai pencipta.
Ketentuan Pasal 380 ayat (1) KUHP menjadi alternatif jerat pidana bagi plagiator karya ilmiah yang tidak mencantumkan sumbernya dan membuat seolah-olah karya tersebut adalah hasil ciptaannya. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak dapat lagi ditemukan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Sehingga di tahun 2026 tatkala KUHP Nasional ini mulai berlaku tidak ada lagi jerat pidana bagi plagiator karya ilmiah yang tidak mencantumkan sumbernya.
Plagiasi karya ilmiah tidak hanya merugikan individu yang menjadi korban, tetapi juga mencoreng dunia akademik secara keseluruhan. Karena itu, pemberian sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku plagiat menjadi langkah penting dalam menjaga integritas dan kredibilitas dunia ilmu pengetahuan. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah, lembaga pendidikan, serta para akademisi untuk terus memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum guna menciptakan iklim akademik yang jujur dan bebas dari praktik plagiat.
Penulis adalah Dosen Fak. Hukum USU.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.