Jembatan Cavenagh Singapura

  • Bagikan
Jembatan Cavenagh Singapura

Oleh Budi Agustono

Menarasikan jembatan Cavenagh Singapura teringat memori masa lalu dengan Jembatan (titi) Gantung di Medan yang berdiri tahun 1880-an saat rel kereta api dari Medan mengoneksikan ke kota kota satelitnya dibangun dengan tujuan membuka wilayah pedalaman agar terintegrasi…

Jembatan Cavenagh Singapura tampak ramai dan wisatawan berlalu lalang berjalan di pedestrian sekitarnya. Jembatan Cavenagh berlokasi di jantung kota Singapura dibangun 1865 dan selesai 1869. Dibangunnya jembatan ini menandai Singapura menjadi wilayah perdagangan dunia. Perancang jembatan ini berkebangsaan Inggris yang pembuatannya berbahan besi dengan teknologi modern yang bisa dibuka tutup saat kapal besar melewati jembatan ini. Jembatan Cavenagh dibangun saat Singapura di bawah kekuasaan Inggris dengan Gubernur Orfeur Cavenagh (1869- 1876). Itulah sebabnya jembatan ini disebut Jembatan Cavenagh.

Meski dibangun ratusan tahun lalu, sampai sekarang Jembatan Cavenagh tetap dipelihara dan dirawat sempurna. Lebar jembatan tak terlalu luas dan panjangnya tidak lebih dari tiga ratus meter. Jembatan bercat putih tidak bisa dilewati kendaraan dan senantiasa bersih karena di sekelilingnya berbagai jenis kendaraan tidak dibenarkan memasuki kawasan jembatan.

Bersebelahan jembatan terdapat kawasan Raffles. Raffles adalah pendiri Singapura. Di kawasan Raffles terdapat One Raffles Place wilayah bisnis yang bersebelahan dengan kawasan Jembatan Cavenagh. One Raffles Place merupakan salah satu ruang publik sekaligus lokasi perkantoran dan bisnis. Meski wilayah perkantoran dan bisnis, halaman depan One Raffles Place bertingkat ini menyediakan lapangan hijau yang di atas tersusun bangku-bangku tempat berbaring dan ngaso pengunjung yang datang ke sini.

Walau letak bangku-bangku berjauhan tetapi tertata rapi dan nyaman buat orang yang merebahkan tubuh dan berselonjoran di atas bangku-bangku kayu itu . Di pinggiran lapangan hijau berderet gerai atau cafe makanan dan minuman oriental dan barat. Dari sore sampai malam hari sesudah bekerja menguras pikiran ekstra orang kantoran atau kelas kerah putih itu melepas penat kerja nongkrong di ruang publik (One Raffles Place).

Para pelancong -wisatawan dari Asia Tenggara terutama Indonesia biasanya hanya mampir di One Raffles Place memandang ruang publik hijau dan berfoto menatap gedung tinggi yang menutup wilayah ini. Tidak lama di sini wisataean – pelancong memburu spot-spot lain misalnya menyeberang jalan menuju Jembatan Cavenagh.

Di kawasan Jembatan Cavenagh ada pedestrian terawat apik dan cafe-cafe yang banyak dipadati orang orang-orang dari mancanegara. Di depan cafe ini terlihat laut Singapura yang acap bergelombamg riak air lautnya lantaran diterjang bot-bot yang mengantar penumpang (wisatawan-pelancong) menikmati wisata laut yang dulu lokasinya ini menjadi kantong perdagangan Singapura dengan kapal-kapal besar yang singgah melempar jangkar untuk bongkar muat produknya.

Meski dibangun ratusan tahun lalu, sampai sekarang Jembatan Cavenagh tetap dipelihara dan dirawat sempurna. Lebar jembatan ini tak terlalu terlalu luas dan panjangnya tidak lebih dari tiga meter.

Jembatan Cavenagh bercat putih. Kendaraan roda dua tidak bisa melewati jembatan yang bersih ini karena di sekitarnya berbagai jenis kendaraan tidak dibenarkan memasuki kawasan jembatan Cavenagh dan Raffles.

Identitas

One Rafles Place wilayah bisnis bersebelahan dengan Jembatan Cavenagh yang juga sebagai ruang publik kota. Meski wilayah perkantoran dan bisnis, One Rafles Place di halaman depan gedung bertingkat ini menyediakan lapangan hijau yang di atasnya tersusun bangku-bangku tempat berbaring dan istirahat pengunjung. Meski letak bangku-bangku berjauhan tetapi tertata rapi dan nyaman buat orang yang beristirahat dan duduk di atasnya.

Di pinggiran lapangan hijau berderet gerai atau cafe yang menyediakan makanan dan minuman oriental dan barat. Di sore sampai malam hari sesudah memutar pikiran ekstra kerja menjelang sore selepas kerja orang kantoran atau kelas kerah putih bersama kawan-kawan melepas penat kerja di ruang publik. Menjelang matahari terbenam sampai malam hari One Rafles Place tak pernah sepi pengunjung, senantiasa selalu ramai dengan camilan dan minuman favorit di atas meja kecil bersegi empat dan bundar.

Para pelancong-wisatawan dari Asia Tenggara terutama Indonesia hanya mampir di One Raffles Place memandang ruang publik hijau dan berfoto menatap gedung tinggi yang menutup wilayah ini. Tidak lama di sini memburu spot-spot lainnya misalnya menyeberang jalan menuju Jembatan Cavenagh.

Di tepi jembatan Cavenagh ada pedestrian terawat apik dan cafe-cafe yang banyak dipadati wisatawan – pelancong. Di depan cafe ini terlihat laut Singapura yang acap air lautnya bergerak lantaran bot-bot menerjang laut yang menimbulkan gelombang membawa wisatawan-pelancong menyusur laut Singapura yang dulunya lokasi bersandarnya kapal kapal besar melempar jangkar melakukan bongkar muat komoditi dari berbagai negara.

Jika lewat One Rafles Place bila sampai ke Jembatan Cavenagh biasanya singgah di sini dan berjalan ke tengah jembatan beraspal hitam memandang riak laut Singapura. Di gerbang jembatan tertulis tahun pendiriannya sebagai komemorasi berdirinya jembatan. Begitu berfoto di jembatan siapa saja ditarik ingatannya tentang sejarah Singapura yang dulu disebut Temasek ini. Di sebelah jembatan Cavenagh terdapat Jembatan Anderson yang berdiri sesudah terbangunnya jembatan tertua di Singapura ini. Namun paling besar pengunjungnya adalah Jembatan Cavenagh.

Menarasikan jembatan Cavenagh Singapura teringat memori masa lalu dengan Jembatan (titi) Gantung di Medan yang berdiri tahun 1880-an saat rel kereta api dari Medan mengoneksikan ke kota kota satelitnya dibangun dengan tujuan membuka wilayah pedalaman agar terintegrasi secara ekonomi dan politik dengan ibu kota Keresidenan Sumatera Timur. Sejak dulu Titi Gantung hanya menghubungkan Jalan Irian Barat dan Jalan Jawa (sekarang) dengan Jalan Kereta Api. Itu sebabnya Titi Gantung dari dulu sampai sekarang tak pernah menjadi bagian strategis kolonial masa lalu dan kekinian. Pada 1970-1990-an Titi Gantung digunakan sebagai lokasi berjualan buku bekas sampai ke bagian bawah berdekatan depan bioskop Bali yang sekarang bertukar fungsi menjadi Vihara Budha.

Di luar ini tak ada kegiatan apapun di Titi Gantung kecuali jalan pintas – penghubung orang berlalu lalang. Padahal jika Titi Gantung digunakan untuk aktivitas kebudayaan dan kesenian di kota berbilang multi etnik ini masih mempunyai daya tarik apalagi dikaitkan dengan bobot historis berbagai bangunan bersejarah di sekitarnya akan mempunyai daya pikat publik tentang keberadaan Titi Gantung.

Saat ini Pemko Medan sedang merevitalisasi Lapangan Merdeka dan menyiapkan revitalisasi Gedung Warenhuis meskipun yang terakhir ini sedang beroleh gugatan kepemilikan dari ahli warisnya. Jika Titi Gantung dapat dimasukkan dalam narasi besar revitalisasi situs dan gedung bersejarah ini untuk kegiatan kultural akan dapat menopang aktivitas kebudayaan di kota Medan.

Penataan Jembatan Cavenagh menunjukkan Singapura menempatkan peninggalan bangunan bersejarah menjadi penyokong dan penguat identitas kota untuk dipasarkan menarik wisatawan dunia berkunjung ke Singapura.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Jembatan Cavenagh Singapura

Jembatan Cavenagh Singapura

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *