Jalan Panjang Masyarakat Tertib (Refleksi Tragedi Tabrakan Angkut Dan Kereta Api Di Medan)

  • Bagikan

Membangun budaya masyarakat atau budaya warga negara untuk jadi manusia yang tertib di tempat umum adalah sebuah keharusan karena di sinilah urgensi partisipasi warga negara kepada negara sangat dibutuhkan. Tapi masyarakat tertib adalah jalan panjang

Kita tentu sepakat bahwa budaya antri, budaya tertib, tingkat kesadaran warga negara yang tinggi, ketaatan membuang sampah pada tempatnya sampai saat ini masih belum membudaya dengan baik dalam lakon hidup (kebiasaan) keseharian masyarakat kita.

Tentu menjadi sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, apa yang harus kita lakukan agar problematika masyarakat kita yang terksan sangat liar dan barbar ini bisa berubah?

Mengapa suka melawan, bangga bentrok masih menjadi sebuah kebanggan bagi sekelompok orang di tengah klaim klaim kita masyarakat timur yang berbudaya, masyarakat timur yang sangat religius? Tidakkah kita malu dengan masyarakat Barat yang atheis tetapi bisa tertib di ruang publik?

Saat ini jika kita lihat di sekitaran Kota Medan kultur para sopir angkut yang sangat keras, liar dan suka-suka di jalan adalah sebuah fenomena yang sangat membahayakan keselamatan bersama.

Tidak mungkin negara membuat kebijakan menempatkan pegawai lalu lintas atau poklisi lalu lintas di setiap sudut jalan untuk mengawasinya. Tentu ini adalah sebuah pekerjaan yang sangat mustahil. Artinya, dalam hal inilah peran partisipatif warga negara dalam membantu dan mensukseskan program kerja negara harus dilakukan.

Artinya, harus ada kesadaran sendiri dari semua warga negara sebagai sebuah panggilan, atau sebuah ibadah bahwa budaya tertib di jalan, tempat umum harus menjadi tanggung jawab sendiri.

Untuk itu, membangun budaya masyarakat atau budaya warga negara untuk jadi manusia yang tertib di tempat umum adalah sebuah keharusan karena di sinilah urgensi partisipasi warga negara kepada negara sangat dibutuhkan. Tapi masyarakat tertib adalah jalan panjang.

Sekali lagi, budaya antri, budaya tertib sebagai sebuah capaian warga negara dalam memberikan sumbangsih kepada negara sangat kita butuhkan. Apa yang ahrus dilakukan agar budaya antri, budaya tertib di jalan misalnya bisa terwujud dengan baik?

Sehingga kecelakaan lalu lintas, tabrakan dijalan karena kelalaian bisa diminimalkan, dengan demikian tidak ada lagi nyawa yang sia-sia melayang. Ini adalah sebuah refleksi bersama untuk kita pikirkan bersama agar kedepan ruang publik kita benar-benar menunjukkan kita sebagai warga negara yang beradab.

Memang tidak adil hanya mengkritisi supir angkut saja yang dianggap sebagai sebuah masalah nasional dan lokal. Hal yang sama juga perlu dialamatkan kepada koruptor negara ini.

Ketika supir ugal ugalan kita anggap membahayakan negara, koruptor juga membahayakan negara. Kesadaran elit politik dalam hal ini juga dipertanyakan sebagai orang yang berkuasa dan sudah mendapat fasilitas hidup yang sangat bagus dan bahkan lebih dari cukup.

Mengapa ini saya tekankan agar hal yang sama berlaku adil. Mengingat korupsi juga membahayakan negara dan merupakan sebuah perbuatan yang mengarah pada extraordinary crime (kejahatan kemanusiaan).

Sekali lagi kita perlu melakukan permenungan khusus mengapa budaya tertib dan budaya antri yang sampai saat ini belum membudaya dan melembaga dalam kultur masyarakat kita?

Hasil dari masyarakat yang tidak tahu antri dan tidak tahu tertib sangatlah nyata dan sangatlah membahayakan. Apa yang terjadi di Kota Medan seperti kejadian tabrakan kereta api dengan salah satu Angkot Wampu Mini 123 adalah puncak gunung es dari struktur masyarakat yang tidak bisa antri atau tidak membangun budaya tertib.

Melihat gambaran dari karakter masyarakat kita di lalu lintas bahaya yang lain masih akan mengncam. Artinya, bukan hanya tabrakan di rel kereta api saja yang menjadi ancaman, bahaya tabrakan di jalan bisa saja terjadi jika budaya berlalu lintas keseharian kita di Kota Medan masih seperti ini.

Artinya, kecelakaan yang menghilangkan nyawa dan juga membuat luka fisik seperti cacat permanen sangat rentan terjadi.

Apa yang salah dengan masyarakat kita sehingga terkesan berkultur barbar di jalan raya? Apakah sesederhana itu menjawabnya dengan sebuah “tesis sederhana” sebagai sebuah kesimpulan, masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak taat?

Kalau kita lihat kultur masyarakat kita di jalan raya, masyarakat kita hampir rata-rata adalah masyarakat yang tidak mampu menjawab budaya tertib. Lihat saja dijalanan, bagaimana angkutan umum tidak punya aturan main, cara masyarakat kita juga dalam membawa sepeda motor masih jauh dari tertib, bahkan mobil pribadi juga menunjukkan hal yang sama.

Tidak terbangunnya budaya masyarakat yang tertib adalah buah dari sistem pendidikan dan sosialisasi nilai yang gagal. Sekolah yang seharusnya menanamkan disiplin dalam semua hal.

Keluarga yang merupakan sosialisasi nilai yang pertama juga gagal dalam menenamkan dan melembagakan nilai-nilai yang sifatnya mendasar seperti kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras, serta tanggung jawab sebagai individu.

Rumah ibadah yang seharusnya membangun karakter yang baik dan tangguh juga gagal dalam mendidik dengan baik dan benar untuk pengembangan moral dan karakter yang berwatak keTuhanan.

Kejadian hari ini adalah buah dari masa lalu. Itu kalau kita setuju. Artinya, kedepan sebagai proyek jangka panjang dalam rangka membangun, melahirkan generasi disiplin, generasi tahu antri, generasi tertib adalah tugas kita bersama.

Tidak mungkin negara menggaji petugas keplisian, atau petugas kereta api di semua sudut palang kereta api. Artinya, dengan sendirinya kita ahrus menyadari bahwa disiplin itu, budaya tertib itu adalah panggilan bagi semua warga negara agar kehidupan kenegaraan bisa berjalan dengan baik.

Untuk itu, mendidik dengan cara memberikan nilai keteladan jauh lebioh bagus daripada berteori dan berpidato. Saatnya kita semua melakukan tugas masing –masing untuk menjadi teladan.

Lembaga pendidikan, lembaga agama, lembaga sosial dan semua keluarga harus menanamka nilai budaya tertib, budaya antri bagi semua anak-anak sejah dini. Kita orang tua juga dalam keluarga harus mempu memberikan contoh yang baik dalam semua hal agar anak –anak bisa menjadi manusia yang berbudaya tertib dan berbudaya antri.

Jika kita melihat budaya negara Australia yang sejak dini mengatakan anak yang tahu antri lebih penting dari anak yang pandai matematika. Ini membuktikan budaya antri dan budaya tertib adalah tujuan yang harus diwujudkan, daripada cerdas secara intelektual.

Untuk itu, mari melihat hulu masalah tragedi tabrakan kereta api Sekip dengan angkut Wampu Mini 123 sebagai sebuah refleksi bersama bahwa kita masih jauh dari kultur masyarakat yang berbudaya tertib dan berbudaya antri.

Tugas rekayasa sosial untuk membangun budaya antri dan budaya tertib dalam lalu lintas adalah tugas bersama dan tanggung jawab bersama.

Optimalisasi lembaga pendidikan, lembaga agama, keluarga dan juga penegakan hukum yang baik dan benar adalah cara kolektif dan kesisteman yang paling ampuh dalam mendidik warga negara sejak dini agar kedepan lahir generasi yang tertib di jalan raya dan tertib dalam semua hal.

Penutup
Kita harus menjadikan tragedi kereta api Sekpi sebagai sebuah tragedi yang sangat mengerikan sebagai buah dari kultur masyarakat yang tidak tahu antri dan tertib.

Padahal partisipasi warga negara dalam hal menjaga ketertiban umum seperti taat di jalan raaya adalah sebuah modal dasar dan modal utama. Bahkan kalau kita mau melihat sebuah negara beradab atau tidak, lihatlah bagaimana warganya berlalu lintas.

Kalau John F Kennedy pernah mengatakan, “jangan tanyakan dikasih kepada negara kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah kau perbuat kepada negaramu. Mari berbuat kepada negara ini dengan menjadi manusia yang tetib di jalan raya dan tahu budaya antri.
Dengan tahu antri dan berbudaya tertib di jalan raya kita sudah berkontribusi besar kepada negara ini. Semoga saja, tragedi Sekip dimana angkutan menabrak kereta api tidak terulang lagi kedepan agar nyawa manusia tidak hilang dengan sia-sia.

Sekali lagi, turut berduka cita dan ikut merasakan penderitaan keluarga yang kehilangan nyawa saudaranya atau keluarganya. WASPADA

Penulis adalah Anggota Yayasan UHN Medan/ Pengurus Golkar DPD Sumut, Dosen Di Berbagai PTS.

  • Bagikan