Ironi Indonesia

  • Bagikan
<strong>Ironi Indonesia</strong><strong></strong>

Ternyata banyak di antara kita yang sukanya menuding dan menuduh orang lain tanpa melihat dan berkaca pada diri sendiri. Mereka sibuk mencari-cari kesalahan orang lain tapi lupa menilai diri sendiri dan lalai melihat kesalahan diri sendiri

Sungguh banyak rasanya ironi di negeri ini, banyak kontroversi, banyak kontradiksi, kadang kita melihat yang fakta tapi seperti ilusi, sementara ilusi seperti realita yang sungguh-sungguh terjadi. Banyak orang yang terlalu percaya diri, punya nyali tinggi, tapi tak ada isi, tak punya amunisi, yang ada hanya ambisi, katanya membangun negeri tapi sesungguhnya hanya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Banyak orang yang tak mengukur diri, tak tahu diri dan tak tahu posisi, sehingga berbuat sesuka hati, yang penting hasrat hati terpenuhi, tak perduli apapun yang akan terjadi, kalua berani menghalangi, siap-siap menerima segala konsekwensi yang mungkin terjadi, bisa sekedar dicaci maki, bisa dimasukkan ke bui, bisa dibuat setengah mati, atau mungkin bisa menjadi mati.

Sungguh yang terjadi adalah ironi, banyak orang menebar janji tapi miskin realisasi, banyak orang mengaku punya prestasi, tapi semuanya hanya sekedar sensasi, faktanya tak ada perubahan yang berarti, kondisi ekonomi yang katanya akan meroket, buktinya roketnya malahan seperti menghunjam ke bumi, katanya hutang bisa teratasi, nyatanya hutangnya makin menumpuk dan membubung tinggi, katanya nilai rupiah akan terapresiasi, buktinya nilainya semakin merosot dan terdepriasi. Pembangunan fisik semakin dipacu dengan modal hutang yang terus digali, lapangan terbang dibangun tapi sunyi sepi tak berpenghuni, jalan tol dibangun di sana sini, ibukota negara dipaksa pindah dengan alasan yang tak bisa diterima di hati. Sementara itu, pembangunan insani tak diminati, persisnya hanya sekedar basa-basi, padahal menjadi salah satu isi nawacita yang salah satunya adalah meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, namun semuanya hanya semacam jampi-jampi yang membuat kita seperti terbuai dalam mimpi. Untuk indeks literasi, peringkat kita jauh dari kata terpuji, kita menduduki peringkat kedua dari bawah dengan skor sangat rendah dengan persentase 0,001 persen atau dari 1.000 orang Indonesia hanya satu orang yang melek literasi. Jika dikembangkan defenisi literasi menjadi kemampuan dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis, angka ini tentu akan lebih kecil lagi. Untuk korupsi, meskipun menaik sedikit skornya dari 37 ke 38, indeks persepsi korupsi untuk tahun 2021, masih di bawah jika dibandingkan negara-negara lain khususnya negara tetangga, Vietnam mendapatkan skor 39, Timor Leste dengan skor 41, Malaysia dengan skor 48, dan Singapura dengan skor 85.

Inflasi sepanjang tahun ini juga rasanya tidak begitu menyenangkan hati, sepanjang tahun ini angka menunjukkan trend yang meninggi, mulai angka sekitar dua persen di bulan Februari, merangka ke angka tiga dan empat persenan di pertengahan Juni dan Juli, seterusnya menjadi lebih lima persen mendekati enam persen di penghujung tahun ini. Angka pengangguran juga tak menunjukkan kegembiraan kalau tidak mau dikatakan menyedihkan hati, bahkan per Agustus 2022 ini angkanya mencapai jumlah 8,4 juta orang pengangguran terbuka, angka yang cukup tinggi di banding angka di bulan Februari. Untuk kesenjangan ekonomi, belakangan menunjukkan sedikit memburuk lagi, meskipun secara umum tidak ada perubahan yang berarti dalam 20 tahun terakhir ini. Untuk tahun 2022 yang diukur per Maret 2022, gini ratio Indonesia tercatat sebesar 0,384 atau naik 0,003 poin dibandingkan rasio gini September 2021. Diperoleh data juga bahwa per Maret 2022, 40% penduduk Indonesia yang berada di kelompok terbawah hanya memiliki proporsi pengeluaran 18,06% dari total pengeluaran penduduk negeri ini. Sementara pada waktu yang sama, 20% penduduk Indonesia yang berada di kelompok teratas menguasai hampir separuh atau 46,2% dari total pengeluaran seluruh penduduk anak negeri. Angka ini juga meningkat dari Maret 2021 yang masih 45,87%, artinya orang kaya menguasai porsi pendapatan yang lebih besar diibanding tahun sebelumnya.

Gambaran prestasi yang kurang menggembirakan tersebut di atas, tentu saja tidak terlepas dari perilaku kita, perilaku masyarakat, dan perilaku para elit, serta perilaku pemimpin kita. Sikap dan sifat serakah dan tamak serta mengutamakan kepentingan sendiri menular di seantero negeri, baik pejabat level tinggi maupun pegawaai tingkat kerana. Biang kerok lainnya yang membuat ironi adalah semakin marak dan berkembangnya sifat dan sikap hipokrit, munafik, tidak konsisten, tidak konsekwen, serta tidak sejalan perkataan dan perbuatan, serta berbagai penyakit sejenis lainnya. Ada lagi di antara kita yang hanya sibuk dengan kulit, lupa dengan isi, sibuk dengan asesori, lupa dengan substansi. Katanya kita menjunjung demokrasi, namun demokratisasi dilaksanakan dengan cara yang tidak demokratis bahkan banyak yang melanggar kaidah demokrasi. Katanya telah dicanangkan upaya penegakan hukum namun proses hukum dan cara menangani kasus hukum sering bertentangan dengan norma hukum. Aparat keamanan yang mestinya bertugas menjaga keamanan, tetapi justru sering tidak membuat rasa aman, membuat rasa tidak aman, dan menggunakan cara-cara yang jauh dari mengamankan. Aparat yang bertugas menegakkan keadilan yang mestinya berlaku adil, tetapi justru bertindak dengan cara yang tidak adil dan memperlakukan orang lain yang jauh dari rasa adil. Ada lagi para penentu di negara ini, mereka sering membuat aturan tapi terbiasa melanggar aturan yang dibuat sendiri, mereka membuat kebijakan tetapi dengan cara yang tidak bijak, mereka membuat regulasi tapi dengan cara melanggar regulasi. Mereka termasuk juga para petugas yang merasa punya hak untuk menumpas kekerasan dan kejahatan, tapi melakukannya dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan dengan berbuat kejahatan pula.

Ada lagi kelompok orang yang selalu membawa-bawa nama rakyat, mengatasnamakan rakyat, seakan ingin membela rakyat, tapi justru tindakannya mengabaikan aspirasi rakyat, membuat peraturan yang justru menyengsarakan rakyat, membuat rakyat makin melarat, dan mengesampingkan hak rakyat. Para tokoh kita sering terlihat berperilaku tidak toleran, tetapi menuntut orang lain bersikap toleran, mereka juga sering menuduh orang lain tidak toleran tapi dirinya sendiri yang tidak memiliki toleransi dan sering berbuat sesuatu yang justru bertentangan dengan kaidah toleransi. Banyak di antara kita yang mengajak perdamaian dengan cara yang jauh dari rasa damai, melarang orang untuk tidak mencaci maki tapi justru sering mencaci maki orang lain. Kata-kata kasar dan tidak sopan yang tidak pantas dilontarkan, sekarang sudah menjadi lumrah dan bertebaran di media massa, media sosial, dan media online lainnya. Ada lagi yang gemar mengabaikan hak orang lain tapi justru selalu menuntut haknya sendiri, menuduh orang lain menebarkan kebencian tapi dirinya sendiri menebar kebencian. Orang-orang inilah yang merasa paling benar, memonopoli kebenaran, dan sering menyeru agar berperilaku yang benar, tapi sering menyerunya dengan cara yang tidak benar, malahan justru mereka melakukan hal-hal yang tidak benar.

Kita tentu sering juga menyaksikan mereka yang selalu teriak dan mengklaim diri sebagai manusia paling Pancasilais, tetapi sikapnya sering bertentangan dengan sila-sila dalam Pancasila, mengabaikan Tuhan, tak berperikemanusiaan, suka memecah belah yang mengancam persatuan, memaksakan kehendak sendiri dan mengabaikan musyawarah, serta hanya memperjuangkan dirinya untuk sejahtera, sementara orang lain dibiarkan merana dan sengsara. Ada juga para pendidik ataupun pemilik lembaga pendidikan yang mendidik dengan cara yang tidak mendidik serta mengajar tetapi dengan sikap yang kurang ajar, ada lagi yang memberi wejangan dan nasehat untuk menjaga etika dan moral, tapi justru mereka yang sesungguhnya tidak bermoral dan suka melanggar etika. Mereka tampil di mimbar untuk berceramah tentang perilaku beradab, tapi sayangnya mereka justru berbuat biadab terhadap anak-anak yang mestinya dilindungi dan dijaganya. 

Ternyata banyak di antara kita yang sukanya menuding dan menuduh orang lain tanpa melihat dan berkaca pada diri sendiri. Mereka sibuk mencari-cari kesalahan orang lain tapi lupa menilai diri sendiri dan lalai melihat kesalahan diri sendiri. Mungkin “produksi cermin perlu ditingkatkan”, agar semua orang memilikinya, sehingga masing-masing bisa bercermin dan berkaca berlama-lama di depan cermin tersebut, sehingga bisa terlihat semua keburukan kita yang sering dituduhkan terhadap orang lain. Dengan bercermin berlama-lama, mungkin kita akan dapat melihat dalam cermin tersebut bayangan orang yang senangnya korupsi, orang yang senang mengkhianati, orang yang senang berjanji tapi tak pernah menepati, orang yang suka membohongi, orang yang tega menyakiti, orang yang suka merampas hak orang lain, orang yang suka akan kekerasan dalam melampiaskan nafsunya, orang yang pura-pura baik dan dermawan, orang yang mendadak ramah dan rajin berkunjung ke sana ke mari, orang yang pura-pura miskin, dan orang yang pura-pura peduli sama rakyat. 

Mungkin akan terlihat sikap asli musang yang berbulu domba, sikap asli serigala yang tubuhnya tertutup kambing, sikap asli beruang yang berpura-pura sebagai kuda belang, ataupun sikap tikus busuk yang terlihat imut dalam tubuh kelinci. Selain melihat berlama-lama ke dalam cermin, mungkin perlu juga masing-masing kita diberi meteran, tidak terkecuali para pemimpin kita, sehingga perlu juga kita “memproduksi meteran sebanyak-banyaknya”, agar masing-masing bisa mengukur diri, agar tahu siapa dirinya yang sesungguhnya, sehingga akan terlihat apakah dia sungguh “seekor” harimau yang sesungguhnya atau hanya kucing saja, sehingga dia tidak menjadi kucing serasa harimau atau malahan harimau yang merasa kucing.

Dengan mengukur dan menakar diri, akan dapat diketahui apakah dirinya ular sungguhan atau hanya seekor cacing, sehingga bukan cacing yang merasa sebagai ular atau ular yang merasa dirinya cacing. Dengan mengukur diri, seseorang juga akan tahu apakah dia buaya sungguhan atau sesungguhnya hanya cicak saja, sehingga dia tidak menjadi buaya serasa cicak atau cicak serasa buaya. Dengan demikian hilanglah kepura-puraan, hilanglah menipu diri sendiri, tidak ada lagi yang bermuka dua apalagi dasa muka, tidak ada pula lagi ular kepala dua, apalagi kepala tiga, empat, dan kepala banyak. Oh… ironi Indonesia!

Penulis adalah Rektor Institut Bisnis IT&B dan Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian UMA.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *