Inovasi Riset; Agama dan Pragmatisme

  • Bagikan
Inovasi Riset; Agama dan Pragmatisme

Oleh: Munawir Umar

Nabi telah banyak mencontohkan dan memberikan arahan untuk berinovasi baik secara khusus dan umum kepada para sahabatnya semasa ia hidup, baik dalam bentuk ungkapan, perbuatan atau pengakuan Nabi atas perbuatan yang dilakukan oleh sahabat. Ia meminta pengembangan inovasi tersebut dengan mengikuti pengembangan dunia yang ada. Al-Qur’an dan Hadis sebagai landasan pengembangan, agar inovasi itu tidak lari dari standar norma dan fitrah manusia.

Suatu ketika, Mu’adz bin Jabal ketika hendak diutus Rasul ke Yaman memberikan satu tantangan untuk berinovasi atas persoalan yang dihadapi ketika berada di Yaman. Pada akhir dialog Mu’adz memberi jawaban memukau atas pertanyaan Nabi, bahwa bila ia tidak mendapatkan jawaban konkrit dari Al-Qur’an dan Hadis, maka ia akan berinovasi dengan segenap anugerah pikiran akal dari Tuhan (ijtihad) untuk kemaslahatan. Itu pembeda manusia dengan malaikat, hewan dan jin.

Anjuran Berinovasi

Sebuah ungkapan dari Ibnu Abbas berkata, “Befikirlah tentang ciptaan (alam) Allah, dan jangan berfikir tentang (zat) Allah”. Dalam ungkapan hadis lain disebutkan, “Berfikir sesaat lebih mulai dari shalat (sunat) 70 rakaat”. Ini mengarahkan anda, saya dan para pembaca yang budiman untuk tidak membatasi diri dan tidak tersandera bahkan tercukupi oleh sebuah sudut pandang kehidupan. Tetapi kita diminta untuk menumbuhkan inovasi kritis dengan pembaharuan pola pikir, melalui literatur, pergaulan besar dan melihat dunia agar nalar terus berkembang secara luas.

Membatasi diri dengan dikotomi pemikiran dan bila dikotomi pikiran menjadi pola hidup manusia, maka mereka akan menjadi bangsa hewan, tanpa pikiran bahkan menjadi sebuah pengkhianat pada fitrah diri manusia. Sedangkan bangsa hewan hanya selalu berada dalam lingkaran (circle) tidur dan makan, dalam bahasa lain disebut dengan zona nyaman (comfort zone). Begitu pula dengan malaikat, mereka hanya diberi naluri atau bisa saja disebut insting untuk taat saja menjalankan amanah Tuhan tanpa melanggar dan berbuat kerusakan.

Tentu berbeda sama sekali dengan manusia, mereka diminta untuk memilih bahkan dipilih Tuhan sebagai bangsa penyeimbang antara malaikat dan hewan. Naluri yang diberikan kepada bangsa manusia berbeda sebagai naluri akomodatif antara malaikat, hewan bahkan bangsa jin sekalipun. Allah percaya dan bahkan menjamin di depan para malaikat, bahwa manusia akan mampu menjadi pengelola bumi dengan nilai-nilai kebermanfaatan sekaligus dengan segala tentangan yang diberikan.

Dunia modern, telah jauh berkembang dan berbeda dengan apa yang ada pada masa dahulu kala. Meskipun ada adagium berkata, bahwa “Dunia itu maju dan modern pada masanya”. Tidak sepenuhnya salah, kita dapat melihat bukti historis, umat terdahulu memang telah mampu membangun peradaban kuantitas dan kualitas. Tetapi tentu berbeda dalam konteks modern hari ini. Segala kemudahan terbentang, dunia mampu dijangkau dalam hitungan jam dengan besi terbang. Bahkan mampu dijangkau dalam hitungan detik melalui telepon genggam pada masing-masing manusia. Semua itu dilakukan dengan inovasi manusia, anugerah dari Tuhan.

Budaya Pragmatisme Riset

Demikian halnya dalam konteks dunia pendidikan, budaya riset haruslah menjadi prioritas, terlebih di Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi haruslah menjadi garda terdepan untuk meraih sebuah alur berpikir yang menghasilkan sebuah karya intelektual bahkan melahirkan tawaran dan kebaruan untuk kemajuan diri, negara dan bangsa. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berisi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian harus menjadi prioritas sebagai upaya para intelektual untuk mencapai sebuah visi dan misi bangsa.

Tidak ada bangsa dan negara yang maju di dunia ini, melainkan mereka mampu menjadikan riset sebagai acuan dalam penyelesaian setiap persoalan. Bahkan bila kembali melihat historis Islam, capaian golden age (abad keemasan) Islam beberapa abad lalu justeru karena riset dengan mengedepankan nilai objektivitas tanpa terpengaruh oleh subjektivitas kepentingan pribadi, kelompok atau penguasa untuk politik individualitas. Akademisi mesti netral dalam riset mereka, jangan terpengaruh oleh materi, jabatan dan kepentingan sesaat.

Bila melihat realita hari ini dan beberapa dekade, seolah para Civitas Akademika di Indonesia dengan berbagai rumpun keilmuwan seperti telah terjebak dengan pragmatisme sesaat. Riset yang dilakukan bukan semata untuk meningkatkan kemampuan berpikir mereka untuk disumbangkan pada bangsa, negera dan generasi mereka. Justru riset mereka dilakukan untuk memenuhi administrasi, nilai, untuk mencapai gelar akademik tertinggi dalam dunia pendidikan, yaitu Guru Besar. Bahkan tidak sedikit dari para akademisi dan peneliti, untuk meraih semua itu, rela mengorbankan integritas keilmuan. Jurnal predator diburu dengan kompensasi yang tidak sedikit untuk capaian gelar ‘pengakuan yang dipaksakan’. Lebih jauh dan memprihatinkan, para peneliti kita menukar objektivitas dengan subjektivitas untuk popularitas dengan menggandeng dan mendalilkan riset untuk mengakomodir sebuah kepentingan temporer saja, dan ini menyesatkan.

Naluri Manusia

Karena itu, Tuhan memberikan dua naluri akomodatif malaikat dan hewan, maka pada manusia akan terjadi dua kemungkinan besar. Kemungkinan tersebut boleh jadi dalam proses hidup mereka, manusia memilih terjatuh pada pusaran rotasi kehinaan, bahkan lebih hina dari hewan. Dan kemungkinan kedua bangsa manusia mampu menyaingi fitrah para malaikat dengan balasan (reward) kedudukan tertinggi sebagai bangsa paling mulia di sisi Allah Swt. Allah berfirman, “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka).

Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf [7]: 179].

Karena itu, berselancar dan berkembang saja dengan berbagai inovasi, tetapi tetap berfokus pada orientasi awal, yaitu kebermanfaatan pada dirimu dan orang sekitarmu. “Sebaik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia”. (Al-Hadits). Ketahuilah, bahwa agama tidak pernah melarang manusia untuk berpikir sejauh mata memandang, tetapi pastikan bahwa pikiranmu terarah pada satu tujuan, yaitu membesarkan nama Tuhan dan agama-Nya.

Tidak ada satu pun noktah di dunia tanpa keterlibatan Tuhan, mulai dari material partikel terkecil hingga material terbesar, bahkan yang terlihat maupun yang tidak terlihat mata. Kontrol Tuhan atas perilaku dan tingkah manusia selalu saja terdeteksi dan dibaca oleh kuasa-Nya. Pastikan pula bahwa itu tercatat dan bernilai baik pada catatan kanan Malaikat Raqib di sisi kanan kita. Hati-hati, jangan sampai inovasi anda justeru menjadi catatan kiri di sisi Malaikat Atid sebagai laporan kepada Tuhan. Hamba Tuhan! Berinovasi dan berfikirlah! Karena anda diciptakan untuk berfikir dan berinovasi.

Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Tafsir Al-Qur’an Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta Imam Masjid Al-Hikmah Kota New York, USA 2022-2024


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Inovasi Riset; Agama dan Pragmatisme

Inovasi Riset; Agama dan Pragmatisme

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *