Oleh Shohibul Anshor Siregar
Kebijakan neoliberal dalam pembangunan infrastruktur seringkali tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan jangka panjang, menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan memperburuk ketimpangan sosial
Dengan mengandalkan Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS), Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 secara dominan merefleksikan kebijakan neoliberalisme dalam pembangunan infrastruktur. Tetpi, tujuan untuk menarik investasi swasta dan mengurangi beban fiskal pemerintah justru menimbulkan berbagai tantangan, terutama dalam hal dampak sosial dan lingkungan, keberlanjutan, transparansi, dan potensi korupsi.
Neoliberalisasi mengacu pada kebijakan pasar bebas dan privatisasi sebagai solusi untuk permasalahan publik. Selain itu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang didasarkan pada atura main lainnya, yakni Peraturan Presiden No. 58 Tahun 2017, juga berciri sama. PSN mencakup berbagai sektor, termasuk transportasi, energi, dan pengembangan wilayah.
David Harvey (2005) berpendapat bahwa munculnya neoliberalisme merupakan respons terhadap krisis ekonomi dan sosial yang terjadi pada akhir abad ke-20. Krisis tersebut terutama dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi yang dihadapi negara-negara maju pada tahun 1970-an. Thomas Piketty (2014) mengkritik dampak ketidaksetaraan yang dihasilkan oleh neoliberalisme, yang memperburuk kondisi sosial, terutama bagi kelompok-kelompok miskin. Piketty menegaskan bahwa konsentrasi kekayaan pada segelintir individu dan perusahaan memperdalam kesenjangan ekonomi. Wacquant (2009) menambahkan bahwa neoliberalisme sering kali mengarah pada marginalisasi dan kriminalisasi kelompok miskin, yang dianggap sebagai beban bagi tatanan sosial dan ekonomi yang berorientasi pasar bebas.
Neoliberalisme, yang dipopulerkan oleh pemikir seperti Milton Friedman dan Friedrich Hayek, muncul sebagai reaksi terhadap dominasi keynesianisme pada pertengahan abad ke-20, khususnya setelah krisis ekonomi global pada 1970-an (Harvey, 2005). Melalui kebijakan privatisasi, deregulasi, dan pengurangan pajak, neoliberalisme bertujuan menciptakan pasar bebas yang efisien, dengan peran negara yang diminimalkan. Hal ini tercermin dalam perubahan kebijakan yang radikal di berbagai negara, terutama di Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Ronald Reagan dan di Inggris di bawah Margaret Thatcher, yang mendukung kebijakan pasar bebas secara agresif.
Neoliberalisme merujuk pada sistem ekonomi dan politik yang menekankan pasar bebas sebagai mekanisme utama untuk mencapai efisiensi dan pertumbuhan. Seperti dijelaskan oleh Wacquant (2009), neoliberalisme juga melibatkan pengawasan sosial yang ketat terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tidak produktif atau tidak sesuai dengan logika pasar. Ini tidak hanya berkaitan dengan kebijakan ekonomi, tetapi juga memengaruhi cara pandang terhadap peran negara, komunitas, dan individu dalam masyarakat.
Pengaruh neoliberalisme terasa di berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Baker (2013) mencatat bahwa dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan privatisasi dan kemitraan publik-swasta (KPS) seringkali mengabaikan kebutuhan masyarakat luas. Kebijakan-kebijakan ini menimbulkan risiko serius terhadap keadilan sosial, termasuk pengabaian kepentingan publik dan meningkatnya konflik kepentingan antara sektor swasta dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks infrastruktur, proyek-proyek KPS sering kali berakhir dengan biaya yang membengkak, ketidakpuasan publik, serta dampak lingkungan yang merugikan (Baker, 2013; Harvey, 2005).
Piketty (2014) menekankan bahwa kebijakan neoliberal yang berfokus pada pasar bebas memperburuk ketidaksetaraan ekonomi. Kekayaan semakin terkonsentrasi pada segelintir individu dan perusahaan, sementara kelompok masyarakat yang lebih miskin semakin terpinggirkan. Inilah salah satu implikasi utama dari kebijakan neoliberal, yang menempatkan keuntungan di atas keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat luas.
Pada saat neoliberalisme berupaya meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme pasar, dampak jangka panjangnya justru memperdalam ketidaksetaraan, memperburuk akses terhadap layanan publik, serta melemahkan peran negara dalam melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Penerapan kebijakan neoliberal telah berdampak signifikan terhadap penurunan investasi publik dalam infrastruktur, khususnya dalam pengelolaan proyek jalan tol dan jembatan. Di Amerika Serikat, privatisasi proyek-proyek tersebut sering kali tidak mencapai proyeksi pendapatan yang diharapkan. Sebagai contoh, proyek jalan tol di Chicago mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya menimbulkan utang serta biaya yang jauh lebih tinggi dari perkiraan awal. Laporan American Society of Civil Engineers (ASCE) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa infrastruktur AS menghadapi defisit besar dengan kebutuhan perbaikan yang sangat mendesak.
Di Brasil, proyek seperti Bandara Internasional São Gonçalo do Amarante, yang diharapkan meningkatkan konektivitas regional, mengalami masalah keuangan dan beroperasi di bawah kapasitas yang diproyeksikan. Selain itu, banyak proyek infrastruktur di Brasil mendapat kritik karena menggusur penduduk lokal tanpa kompensasi yang adil, menunjukkan ketidakadilan sosial dalam pembangunan tersebut.
India juga menghadapi tantangan serupa dalam proyek infrastruktur besar seperti Program Jalan Nasional (National Highways Development Project). Tantangan dalam akuisisi lahan dan konflik dengan komunitas lokal menyebabkan protes yang meluas, menghambat kemajuan proyek serta menciptakan ketidakpastian bagi investor. Konflik sosial ini memperlihatkan kesenjangan antara kepentingan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kosta Rika menjadi contoh lain dari dampak negatif kebijakan neoliberal terhadap pembangunan infrastruktur. Proyek Jembatan La Amistad, meskipun diharapkan meningkatkan konektivitas, mengancam keanekaragaman hayati di wilayah sekitarnya. Proyek ini juga menghadapi masalah korupsi dan pembengkakan anggaran, sehingga tidak mencapai tujuan awal.
Di Papua Nugini, banyak proyek infrastruktur gagal memenuhi standar kualitas yang diharapkan, sebagian besar disebabkan oleh ketidakjelasan dalam pengelolaan dan perencanaan. Proyek-proyek yang diprivatisasi sering kali mengalami penundaan dan tidak memenuhi harapan publik.
Proyek-proyek infrastruktur yang digerakkan oleh prinsip-prinsip neoliberal, baik di negara maju maupun berkembang, sering kali terhambat oleh konflik sosial, dampak lingkungan yang merugikan, dan kegagalan dalam mencapai tujuan pembangunan. Pembangunan infrastruktur seharusnya tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan jangka panjang masyarakat dan lingkungan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 2020 mengkritik kebijakan neoliberal dalam pembangunan infrastruktur karena mengabaikan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. Proyek-proyek tersebut cenderung berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek dan mengabaikan keberlanjutan jangka panjang. Ketegangan antara ambisi ekonomi dan kebutuhan untuk keadilan sosial serta perlindungan lingkungan terus memuncak di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Penelitian Yohana Tiko (2023) yang berfokus pada proyek strategis di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa dampak sosial sering kali diabaikan dalam diskusi publik. Konflik lahan terjadi akibat minimnya konsultasi yang memadai dengan masyarakat terdampak sebelum maupun sesudah pelaksanaan proyek. Banyak masyarakat terpinggirkan dan berisiko kehilangan mata pencaharian akibat proyek yang mengambil alih tanah adat mereka. Hal ini memicu gerakan akar rumput yang menentang pembangunan yang merusak tatanan sosial dan integritas lingkungan.
Hairul Sobri (2023) menyoroti ketimpangan dalam distribusi manfaat dari proyek-proyek infrastruktur. Manfaat yang diharapkan sering kali tidak dirasakan oleh masyarakat lokal, melainkan hanya oleh segelintir pihak. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur sering kali tidak berhasil meningkatkan kualitas hidup yang diharapkan.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa infrastruktur yang dibangun tanpa memperhitungkan dampak lingkungan dapat meningkatkan risiko bencana bagi populasi rentan. Sebagai contoh, proyek Bendungan Bener di Jawa Tengah menimbulkan kekhawatiran akan penggundulan hutan dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati. Keputusan pemerintah untuk melanjutkan proyek tersebut, meskipun ada risiko lingkungan, mencerminkan pendekatan yang tidak berkelanjutan dalam pembangunan infrastruktur.
Privatisasi layanan publik juga memicu ketidakadilan dalam aksesibilitas bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan biaya tol, misalnya, berdampak lebih besar terhadap masyarakat miskin yang bergantung pada transportasi umum, sehingga memperburuk ketimpangan ekonomi.
Banyak proyek kemitraan publik-swasta (KPS) di Indonesia menghadapi kritik terkait kurangnya transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam proses pengadaan yang sering kali tidak jelas. Menurut LSP Pengadaan Indonesia (2024) dan Indonesia Corruption Watch (2020), keterbatasan akses informasi menghalangi masyarakat untuk memahami proses pengambilan keputusan dan siapa saja yang terlibat dalam proyek tersebut. Ketidakjelasan ini menciptakan ruang bagi potensi penyalahgunaan dan korupsi, sekaligus mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kontrak-kontrak yang tidak transparan antara pemerintah dan investor swasta dalam proyek KPS menjadi isu serius. Ketidakjelasan dalam ketentuan kontrak menyulitkan masyarakat untuk mengevaluasi kesepakatan yang dibuat, sehingga memperbesar peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kebijakan neoliberal dalam pembangunan infrastruktur seringkali tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan jangka panjang, menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan memperburuk ketimpangan sosial. Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan harus mengedepankan kesejahteraan masyarakat dan menjaga lingkungan agar tidak terancam oleh ambisi ekonomi jangka pendek.
Proyek-proyek infrastruktur yang dirancang berorientasi pertumbuhan tak berdampak positif signifikan bagi masyarakat lokal, padahal keuntungan besar justru dinikmati oleh investor swasta. Lemahnya pengawasan dan kurangnya konsultasi dengan pemangku kepentingan lokal menghasilkan perjanjian yang lebih menguntungkan investor dibandingkan dengan kepentingan publik.
Inisiatif infrastruktur dalam kerangka neoliberal yang digagas oleh Presiden Joko Widodo juga berdampak pada peningkatan utang nasional. Salah satu contohnya adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang menimbulkan kekhawatiran terkait kelebihan biaya, beban bunga yang tinggi, serta potensi jebakan utang yang bisa merusak keberlanjutan ekonomi.
Penting untuk memastikan bahwa pembangunan nasional tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga memperhatikan kepentingan publik jangka panjang. Meskipun model pembangunan infrastruktur berbasis neoliberalisme yang diterapkan oleh Joko Widodo berhasil memobilisasi investasi swasta, model ini menciptakan tantangan sosial dan lingkungan yang signifikan.
Neoliberalisme, dengan janji pertumbuhan ekonomi dan efisiensi, membawa dampak sosial yang merugikan dan memperparah ketidaksetaraan di masyarakat. Kebijakan pembangunan harus lebih inklusif dan berkelanjutan agar tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).