Ilusi Negara Harga Mati

  • Bagikan
Ilusi Negara Harga Mati

Oleh Taufiq Abdul Rahim

Perkembangan serta dinamika ekonomi politik nasional semakin memperlihatkan kondisi yang semakin rumit, sulit, bermasalah, bahkan menjadi lebih gelap, hancur lebur. Meskipun adanya perbedaan harfiah gelap yang dimaksudkan, dengan mudah dan sembarangan dimyatakan bahwa, tidak gelap, terang cerah sebagaimana matahari dan suasana pagi yang dinikmati seseorang dan kelompok orang kaya dan pesohor dengan kondisi kehidupan yang baik dan senang-senang, tidak gelap, cerah dan terang. Hanya saja pemahaman gelap dan terang antara elite politik dan rakyat, sebagai perwujudan ketidaksadaran dan abai dengan kondisi sesungguhnya kehidupan realitas rakyat, ini menrupakan analogi kehidupan yang sangat susah dihadapi rakyat umum dan luas serta akar rumput.

Sesungguhnya bagi hati yang sudah tertutup dan bebal, apapun yang dianalogikan rakyat tentang realitas kehidupan rakyat yang berbanding terbalik dengan pernyataan, ungkapan dan janji politik sebelumnya. Saat ini sangat dirasakan sebagai tipuan demokrasi politik yang dibungkus atas nama kepentingan rakyat. Dimana berbagai kondisi real yang dialami rakyat saat ini dan masa akan datang semakin gelap, tidak tentu arah, sulit dapat dipastikan, semakin suram dan gelap. Akan tetapi bagi orang serta kelompok orang yang menikmati jabatan dan kekuasaan ataupun “antek” serta kroninya dengan mudah menyatakan “barisan sakit hati”, tidak/belum “move-on”, mencari-cari kesalahan dan berbagai argumentasi untuk membela kekuasaan. Meskipun sesungguhnya kekuasaan politik hasil proses demokrasi dioeroleh dengan merusak tatanan hukum dan etika moral, menghalalkan segala cara untuk menang (Machiavelist system), melakukan politik uang (money politics), praktik “pork barrel politics”. Juga berbagai macam abused of power menguasai lembaga/institusi negara, orang-orang bayaran serta berbagai perilaku politik jahat agar dapat memperoleh kekuasaan jabatan politik dengan caranya yang tidak demokratis yang sebenarnya.

Maka pemimpin yang menjadikan kekuasaan politik demokrasi menjadi taruhannya, dimana menurut David Lechmann (1989) demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik, warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Sehingga dalam politik yang dimenangkan dengan cara culas, kemudian memerintah. Akan tetapi memandatkan pemimpinnya mesti adanya pemegang mandat kekuasaan yang harus berkemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan, inilah yang disebut demokrasi busuk. Makanya sistem demokrasi tidak dapat dipaksakan kepada kehidupan politik rakyat yang belum mampu memahami demokrasi sesungguhnya.

Dalam kehidupan bernegara serta berdemokrasi adanya kesetaraan dan keseimbangan kehidupan bernegara dan rakyat tentang demokrasi adalah, suatu metode penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik, dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam meraih suara. Namun demikian, disamping diperlukan realitas konkrit proses kompetisi itu harus tetap dibingkai oleh aturan hukum, perundangan bahkan etika normatif yang mengarah pada terjadinya social equilibrium.

Demikian pula, David Held (1987) menyatakan, demokrasi tidak dapat berjalan in vacuum, maksudnya demokrasi tidak dapat terjadi hanya pada sektor kehidupan politik saja, sementara sektor-sektor kehidupan lainnya tidak demokratis, juga liberalisasi tidak dapat hanya berlaku dalam bidang ekonomi saja, sementara bidang politik tidak mengalami liberalisasi. Sehingga kompleksitas pemikiran serta kondisi kehidupan dengan berbagai sektor saling terkait, beririsan saling mendukung kondisi social equilibrium. Makanya kekuasaan bukan satu-satunya cara untuk mengatur, mengelola dan mengurus kehidupan rakyat atau masyarakat, sehingga target politik bukan milik penguasa politik dan antek-anteknya, tetapi memiliki pertimbangan sebuah negara yang mensyaratkan adanya wilayah, warga negara, kebangsaan.

Di samping itu, dalam pemikiran pejabat penguasa politik tidak hanya terbangun kekuasaan politik saja, rakyat, warga negara hak dan kedaulan kekuasaan politik, wilayah serta sistem kebangsaan, jangan hanya dijadikan ilusi yang seolah kekuasaan atas segala-galanya, rakyat hanya disajikan janji-janji politik, kekuasaan, diskriminatif dan bagi yang berbeda dianggap merusak tatanan negara yang harus diawasi serta diasumsikan musuh negara.

Demikian juga, kekuasaan wilayah yang memiliki sumber daya, sumber ekonomi dan juga sumber daya alam (resources) menjadi milik penguasa negara memperlukannya sewenang-wenang dengan memanfaatkan modal dari oligarki. Jadi semuanya menjadi harga mati milik negara, pemegang mandat kekuasaan negara bersama oligarki dan pengusaha mengeksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan mereka. Sehingga bagi yang tidak setuju dengan perlakuan serta perilaku penguasan politik dan oligarki, maka “mati menjadi konsekwensi dan risikonya”.

Dalam pemahaman prinsipil sebuah kekuasaan negara yang demokratis, setara, seimbang dan adil bahwa, the wealth of nation menjadi kata kunci yang harus diperjuangkan bagi pemimpin politik negara. Maka kehidupan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, kemerataan kehidupan yang seimbang dan demokratis, bukan menjadi mimpi rakyat, atau sekedar ilusi yang dibangun oleh para pemimpin politik sebelum berkuasa melalui janji-janji politiknya. Dalam hal ini realitas kehidupan kebangsaan yang menghendaki perubahan kehidupan, perbaikan, kemakmuran serta kesejahteraan, keadilan dan pemerataan bersama. Bukan hanya ilusi negara yang dibangun sebagai harga mati, bagi yang tidak setuju akan menjadikannya “mati”.

Dengan demikian, perilaku politik kekuasaan bagi pemimpin yang diperoleh, dibangun melalui demokrasi semu, hanya untuk memperoleh kekuasaan dengan cara manipulatif, membodoh-bodohi rakyat, menciptakan ketergantungan, merekayasa kondisi kehidupan kemiskinan, agar pemimpin culas dan jahat tetap berkuasa ditampuk kekuasaan dan menjalankan otoritarianisme politik. Disamping itu terus membangun monarki politik melalui dinasti kekuasaan politik dengan merusak aturan hukum, undang-undang serta etika-moral politik, yang tanpa disadari semakin dipahami oleh rakyat bahwa kekuasaan berdiri diatas “nir-pendidikan dan pengetahuan”. Ini semakin menjadi kecenderungan bukti bahwa, mal-praktik ijazah pendidikannya semakin terkuak dan terbongkar, karena rekayasa kebodohan sendiri.

Dalam hal melakukan praktik bersama melakukan kesalahan terhadap pengelolaan negara, ini dilakukan sebagai usaha mempertahankan kekuasaan politik, maka sebahagian besar yang terlibat kemudian terjerat serta terbelenggu untuk menguasai juga merampok sumber daya alam dan sumber ekonomi dikuasai bersama antek penguasa. Karenanya keinginan untuk mengubah kehidupan rakyat, memperbaiki taraf hidup, menciptakan pertumbuhan ekonomi secara berkeadilan dan merata, menguasai wilayah negara dengan cara diskriminastif, terkesan melakukan praktik neo-colonialism, neo-liberalism berlangsung secara masif menggunakan kekuatan dan kekuasaan alat negara. Dengan demikian secara realistis, rakyat hanya diberikan mimpi, ilusi serta janji kemakmuran dan kesejahteraan yang tak kunjung terealisasikan. Karena rakyat disajikan kesengasaraan, kemiskinan yang meluas, pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK) karena prinsip bisnis pengusaha dan penguasa tidak menghendaki kerugian usaha atau bisnis ekonominya.

Selanjutnya pembungkaman sikap kritis dengan membuat argumentasi karena berkuasa dengan cara yang culas dan curang, para pengkritik dan lawan politik dianggap musuh yang siap diberangus dengan cara yang keji. Selanjutnya media massa dikuasai baik secara halus maupun teror agar tidak memberikan pemberitaan yang benar, yang diasumsikan benar adalah keinginan penguasa dengan menebar pencitraan dan berita yang menyesatkan akan dipuji karena berpihak kepada penguasa politik. Kesalahan yang berulang-ulang diberitakan sehingga menjadi kebenaran (post truth), jadi rakyat hanya hidup dalam ilusi perubahan dan mimpi buruk di tengah kesadaran hidup yang susah dan ketidakpastian.

Sehingga kondisi keuangan negara yang mengalami defisit di awal, merayu rakyat untuk membantu negara dan atau pemerintah untk mengatasi serta menyumbang, sementara itu selama ini beban hidup rakyat termasuk pajak, retribusi dan harga tinggi tetap dipikul rakyat.

Penulis adalah Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC-Aceh


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Ilusi Negara Harga Mati

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *