Hutan Habis. Banjir Pun Melibas Oleh Effan Zulfiqar Harahap

  • Bagikan

Seperti ada pembiaran mengingat hal tersebut terjadi bertahun-tahun. Tanpa upaya menghentikannya dengan rekonstruksi/reboisasi hutan di hulu sungai dan penghentian alih fungsi hutan menjadi lahan sawit maka banjir akan lebih parah lagi melibas Madina

Bencana banjir yang melanda wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Madina) ditahun 2021 merupakan yang terparah dan berdampak luas, dibandingkan dengan banjir yang pernah terjadi.

Jumlah wilayah kecamatan yang dilanda banjir 16 kecamatan dan 74 desa/kelurahan. Di samping terjadi banjir di beberapa wilayah juga terjadi longsor yang sebagian besar menutup akses jalan.

Ribuan rumah dan bangunan terendam ait setinggi 1 meter lebih. Adapun lahan persawan yang gagal panen diperkirakan 620 hektar. Termasuk kerusakan tanaman holtikultura dan matinya hewan ternak. Banjir juga merusak infrastrutur dan fasilitas umum lainnya. Kerugian yang disebabkan banjir diperkirakan mencapai 107 milyar.

Terkait banjir dan longsor yang paling parah, menimpa wilayah Pantai Barat Madina mulai dari Batang Natal, Ranto Baek, Sinunukan, Natal, Lingga Bayu, Muara Batang Gadis dan Batahan. Wilayah ini sudah menjadi langganan banjir setiap terjadi musim hujan dengan curah hujan yang tinggi.

Banjir juga melanda wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan meliputi Kecamatan Muara Batang Toru, Ankola Selatan dan terparah terjadi di Angkola Sangkunur. Banjir di wilayah ini terjadi karena luapan sungai Batang Toru yang membanjiri wilayah perkuminan penduduk di desa-desa yang berdekatan dengan DAS itu.

Bila disebut penyebab banjir di Madina, Tapsel dan wilayah-wilayah lainan di Indonesia karena intensitas curah hujan tinggi. Sepenuhnya tidak bisa dibenarkan argumen tersebut. Senyatanya kerusakan hutan di hulu sungai yang berfungsi sebagai wilayah peyanggah/tangkahan air hujan menjadi faktor penyebabnya.

Penyebab banjir bukan murni karena curah hujan tinggi seperti yang disampaikan pihak pemerintah. Tapi lebih karena permasalahan hutan di hulu sungai yang sudah gundul. Kondisi hutan yang sudah compang camping ini sudah terjadi begitu lama tanpa ada upaya reboisasi atau penghentian terhadap aktivitas pengrusakan kawasan yang seharusnya dilindungi itu.

Apa yang terjadi di Madina dengan meluapnya Sungai Batang Gadis, Sungai Batang Natal dan sungai lainnya membuktikan adanya kerusakan hutan di hulu sungai. Selama ini dianggap bukan karena kerusakan hutan di hulu dan DAS akibat tingginya aktivitas manusia di hulu, di tengah dan di hilir. Aktivitas yang dilakukan lebih pada motivasi ekonomi semata dengan tidak mempertimbangan keseimbangan ekosistem.

Pertambangan emas ilegal yang masif juga menjadi penyebab banjir. Karena bekas kerukan sungai di hulu yang menggunakan beko, terbawa air ke hilir dan menyebabkan pendangkalan akibat penumpukan sedimen sisa kerukan tambang. Terjadinya pendangkalan di hilir, menjadi penyebab sungai meluap karena tidak mampu menampung debit air yang besar.

Hal lain yang menjadi penyebab banjir adalah deforestasi yang makin meluas. Alih fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit di wilayah Pantai Barat masih terus terjadi. Seperti diketahui hutan yang sudah dikonversi menjadi lahan sawit sudah cukup luas.

Bahkan sudah sampai ke tepi laut dengan membabat hutan mangrove. Banjir yang melanda wilayah kecamatan Pantai Barat jelas berpangkal dari kondisi lingkungan yang sudah hancur lebur.

Bencana banjir yang berdampak luas tersebut tidak serta merta tiba-tiba terjadi begitu saja. Tapi merupakan akumulasi bertahun-tahun kerusakan hutan di hulu sungai yang dibiarkan begitu lama.

Kondisi ini diperparah lagi dengan kehadiran tambang emas ilegal yang sudah meluluh latakan sepanjang DAS tanpa bisa dihentikan.

Seperti ada pembiaran mengingat hal tersebut terjadi bertahun-tahun. Tanpa ada upaya untuk menghentikannya. Bila tidak dilakukan rekonstruksi/reboisasi hutan di hulu sungai dan penghentian alih fungsi hutan menjadi lahan sawit. Maka akan terus terjadi bencana banjir yang lebih parah lagi melibas di wilayah Madina saat hujan turun dengan intensitas tinggi dan berhari-hari.

Artinya, jika penanganan banjir sebagaimana yang dilakukan selama ini hanya di hilir saja ketika terjadi banjir. Jelas semuanya akan sia-sia. Karena tidak akan menyelesaikan masalah.

Masalah sesungguhnya ada di hulu sungai bukan di hilir. Selama ini penanganan banjir lebih terfokus di hilir dengan memberikan bantuan sosial, rehabilitasi, relokasi dan mitigasi bencana semata.

Jadi bila penangana hanya fokus di hilir saja sudah pasti hanya menyelesaikan masalah jangka pendek saja. Bukan penyelesaian jangka panjang. Bila kebijakan semacam itu yang dilakukan dalam penanganan banjir, maka hasinya hanya menyelesaikan masalah di hilir (korban banjir) bukan di hulu yang menjadi sumber dari terjadinya banjir.

Paling mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah rekonstruksi lingkungan hutan di hulu yang dapat menyelamatkan wilayah tengah dan hilir sungai.

Kegiatan tersebut tentunya harus melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga terbangun budaya dan kesadaran akan pentingnya pelestarian ekosistem dengan agenda menanam dan memelihara pohon melalui reboisasi secara terencana dan berkelanjutan.

Jelas yang menjadi tujuan penanaman pohon untuk memulihkan lahan-lahan kritis di hulu DAS. Gerakan penanaman pohon serentak yang melibatkan semua pemangku kepentingan diharapkan bisa membangun kesadaran masyarakat menjaga dan meliharaan hutan sekaligus penyelamatan sumber daya air sebagai sumber kehidupan mahluk hidup.

Urusan penyelamatan lingkungan yang sudah rusak bukanlah masalah sepele, karena menyangkut masa depan anak cucu kita. Pekerjaan ini bukan untuk kepentingan sesaat tapi kepentingan jangka panjang dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Jika tidak dilakukan perbaikan dari sekarang. Maka, Kabupaten Madina akan tetap dilanda bencana banjir ketika curah hujan turun dengan intensitas tinggi berhari-hari lamanya.

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan – Kota Padang Sidimpuan.

  • Bagikan