Richard Eliezer dalam kasus ini dinilai hakim sebagai justice collaborator. Putusan terhadap Richard Eliezer ini bisa digolongkan sebagai landmark decision atau putusan yang bernilai menjulang dalam menciptakan keadilan
Omerta adalah doktrin atau budaya tutup mulut di dalam jaringan mafia. Jaringan mafia yang sudah tertangkap memilih untuk tutup mulut dan tidak membocorkan pelaku-pelaku lain yang terlibat dalam kejahatan yang sama (Roni Efendi, 2021). Tradisi Omerta menjadi sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh setiap mafia Italia. Omerta (hukum tutup mulut) jadi senjata untuk menutupi betapa besar kekuatan sebuah kelompok mafia. Hukum omerta membuat keluarga Corleone jadi salah satu mafia terbesar di New York (Abdullah Sammy, 2012).
Mario Puzo (2000) dalam novelnya secara historis menggambarkan Omerta, lahir di perbukitan Sisilia, telah membawa kaum Mafia melewati abad yang penuh perubahan. Namun kini, pada akhir abad, hukum tersebut telah menjadi sisa-sisa peninggalan masa yang telah lalu. Kehormatan dapat tetap membisu, namun uanglah yang berbicara. Di New York-seorang pemimpin mafia dibunuh dan tak seorang pun mau membuka suara. Keponakannya dan Kepala FBI di kota itu sama-sama melakukan penyelidikan atas pembunuhan tersebut. Kebisuan yang muncul telah menyebar bagaikan virus. Kebisuan geng-geng yang saling bersaing; kebisuan para bankir licik; bahkan kebisuan kalangan pengadilan. Namun dunia mafia ini adalah dunia yang tanpa intergritas dan penuh keserakahan.
Dalam sejarah dunia, para penegak hukum tak kehabisan cara untuk menguak doktrin Omerta tersebut. Negara yang pertama kali mengenalkan justice collaborator adalah Amerika Serikat pada kurun waktu 1970-an. Latar belakang doktrin justice collaborator ini lahir sebagai upaya untuk membongkar kejahatan para mafia, yang selalu tutup mulut dengan sumpahnya yang dikenal dengan omerta. Sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikan fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Doktrin ini selanjutnya terus berkembang di banyak negara, termasuk Indonesia.
Manurut Novi Huriyani (2023) dimasukkannya doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut. Konsekuensinya bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikan fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum.
Secara hukum positif, justice collaborator diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 memaknai term justice collaborator sebagai pelaku tindak pidana yang mengakui kejahatannya, tetapi bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan. Selain itu, jaksa penuntut umum harus telah menjelaskan dalam tuntutannya bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan, sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud. Hal itu juga diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Ketua LPSK bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama
Masalahnya meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak dapat mengikat jaksa maupun bagi penyidik. SEMA sekadar aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Secara normatif pada hukum positif belum memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator (Novi Huriyani, 2023).
Maneger Nasution (2023) menekankan pentingnya perlindungan khusus, perlakuan khusus, dan pemberian penghargaan bagi seorang justice collaborator, menjadi hal yang sangat penting untuk dapat membuat sebuah peristiwa pidana yang awalnya gelap gulita menjadi terang menderang. Namun untuk mewujudkan misi suci keadilan yaitu membuat terangnya peristiwa dan penyelesaian tindak pidana secara berkeadilan, regulasi yang ada saat ini dinilai belum mendukung. Demikian juga dengan keberadaan LPSK yang diberikan mandat oleh Undang-Undang soal justice collaborator harus diperkuat.
Faktor hulunya, KUHAP harus mamasukkan norma yang tegas dan jelas mengenai hal ihwal justice collaborator. Mandat LPSK dalam memberikan status dan perlindungan bagi justice collaborator harus diperkuat. LPSK juga harus dimandatkan sebagai bagian dari criminal justice system. Dengan adanya kelengkapan instrumen hukum, keberadaan justice collaborator dapat mengungkap berbagai kasus pidana menjadi lebih terang.
Kasus Bharada E menjadi ujian kejujuran peradaban hukum Indonesia. Dengan kualitas ilmu hukum, ketajaman nurani, dan kekuatan spritual dari Yang Mulia Majelis Hakim yang menangani kasus Bharada E, publik boleh tetap menghadirkan keyakinan dan optimisme: Majelis Hakim dapat memutus yang berkeadilan bagi korban/keluarga korban, Bharada E, dan keadilan publik. Maneger Nasution berpendapat sesungguhnya bagi Bharada E berhak mendapat keringanan hukuman. Opsinya hanya tiga: pidana percobaan, atau pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya.
Omerta & Justice Collaborator
Dalam perkara Ferdy Sambo, cs, majelis hakim menjatuhkan putusan ringan terhadap Richard Eliezer menjadi paling menarik karena posisinya sebagai justice collaborator. Keterangan terdakwa dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan. Majelis Hakim yang diketuai Iman Wahyu Santoso, cs berhasil ‘mengakhiri’ drama panjang kasus ini, dengan putusan yang memenangkan public common sense.
Putusan ini sangat melegakan dahaga publik akan keadilan, khususnya keluarga korban. Ferdy Sambo sebagai pelaku utama, divonis pidana mati. Istrinya, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara dari tuntutan jaksa 8 tahun penjara. Selebihnya, Kuat Ma’ruf diganjar 15 tahun penjara (tuntutan jaksa 8 tahun penjara), dan Ricky rizal divonis 13 tahun penjara (tuntutan jaksa 8 tahun penjara).
Nah, yang menarik, Barada Richard Eliezer, sebagai salah satu pelaku pembunuhan berencana yang karena kejujurannya, membuat kasus ini terang benderang divonis cukup ringan dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan. Putusan ini mengejutkan sekaligus melegakan. Sebab sebelumnya, jaksa menuntut Eliezer pidana penjara 12 tahun. Richard Eliezer dalam kasus ini dinilai hakim sebagai justice collaborator. Putusan terhadap Richard Eliezer ini bisa digolongkan sebagai landmark decision atau putusan yang bernilai menjulang dalam menciptakan keadilan.
Eliezer bukanlah pelaku utama pembunuhan Josua sehingga tidak terhalang haknya sebagai justice collaborator. Meskipun dalam persidangan, Ferdy Sambo selalu berupaya menyudutkan Richard Eliezer sebagai pelaku utama dengan tidak mengakui dirinya memberi perintah Richard Eliezer untuk membunuh Josua. Selain itu, jaksa dalam tuntutannya juga menjelaskan peran penting Richard Eliezer dalam mengungkap skenario gelap kasus ini. Dengan posisinya itu, Richard Eliezer dan keluarganya sangat berpotensi mendapatkan ancaman dan tekanan secara fisik dan psikis. Hal ini juga menjadi syarat sebagaimana diatur dalam syarat justice collaborator.
Dalam vosnisnya majelis hakim berkeyakinan bahwa peran Richard Eliezer sangat penting dalam membuka tabir kejahatan ini. Richard Eliezer karenanya layak menyandang justice collaborator, sebagaimana dinyatakan dalam putusan Richard Eliezer, “Kejujuran, keberanian, dan keteguhan terdakwa dengan berbagai risiko telah menyampaikan kejadian sesungguhnya sehingga layak terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator).” Hakim selanjutnya dengan cukup brillian memvonis Richard Eliezer cukup ringan dengan pidana penjara 1 tahun, 6 bulan. Disparitasnya sangat jauh dengan vonis para pelaku lain (vide https://news.republika.co.id/berita/rq7ftk385/menghapus-sumpah-omerta-dan-menegakkan-eksistensi-peradilan-hukum-dalam-vonis-eliezer).
Menyetujui justice collaborator berarti terpidana dianggap memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum sehingga pelaku kelas kakap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Menerima justice collaborator berarti juga menerobos doktrin Omerta dalam praktik peradilan. Menurut Ari Yusuf Amir (2023) adanya justice collaborator maka praktik sumpah Omerta di dunia pengadilan terancam. Dari kasus Richard Eliezer dapat dicatat bahwa menyetujui justice collaborator berarti terpidana dianggap memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum sehingga pelaku kelas kakap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota KY 2015-2020, Dosen UMSU.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.