HUKUM KEBAHAGIAAN DI RUANG MODERNITAS

  • Bagikan

MODRENITAS membuat manusia sangat individualis dalam kehidupannya. Individualisme melahirkan pola berfikir fungsional, (dalam teori kefilsafatan disebut Utilitarianisme).

Semua hal dilakukan, dipatuhi karena ada manfaatnya. Inilah yang menjadi rutinitas manusia modern.

Di sisi lain, dalam Islam, kita dituntut untuk menyelaraskan kehidupan duniawi dan ukhrowi, sering disebut dalam Ilmu Tasawuf dengan Hablun Minallah, Hablun Minannaas.

Bagaimana mereduksi prilaku duniawi menjadi investasi akhirat, menjadi tuntunan kehidupan manusia beriman. Diperlukan kepekaan yang besar danlam menjalani kehidupan untuk menjadikan prilaku menjadi ibadah.
Rasulullah di utus ke Dunia ini azalinya memperbaiki akhlak.

Statement “Makaarimal Akhlak” menjadi point mendasar mengapa “karakter”, di sisi lain kita sebut moral dan Akhlak menjadi fondasi awal melahirkan sikap keimanan. Sikap keimanan inilah yang disebut keselarasan hidup duniawi dengan nilai ukhrowi.

Manusia modern sering mengalpakan diri dari nilai-nilai ukhrowi. Sebab, pemahaman keakhiratan tidak instan bermain dalam kehidupan.

Keluh kesah manusia tentang ketaatannya tidak berbanding dengan rezki Allah menjadi titik sandaran mengapa manusia mulai memisahkan duniawinya dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan (kepatuhan terhadap perintah Allah). Padahal dalam ketaatannya, ada yang hilang, yaitu kesungguhan dan kenikmatan merasakan beribadah kepada Allah. Sebab rasa selalu berbanding terbalik dengan logika.

Ciri lain manusia modern, terbiasa menghadapi masalah besar. Tolak ukurnya ekonomi dan kesejahteraan. Perkembangan kehidupan sosial sering di ukur dengan kekuatan ekonomi.

Nilai materialis menjadi symbol terhadap kebahagiaan manusia modern. Inilah salah satu sebab mengapa manusia modern mulai meninggalkan agamanya.

Hukum Kemanusiaan-kehambaan

Ada beberapa indikasi mengapa manusia modern mulai kehilangan jati diri keimanannya, hal ini bisa dilihat dari hilangnya kebiasaan manusia terhadap nilai kebaikan.

Semua orang yang mengaku beriman meyakini Al Quran sebagai tuntunan, Rasulullah sebagai Tauladan, namun kehidupannya jauh dari hal tersebut.    

Oleh karenanya, pantaslah kita kategorikan, di tengah kehidupan modern ini, ada beberapa orang yang beruntung dan bahagia karena keimanannya.

Ia tidak luput dari nilai dan norma yang mendekatkan dirinya pada kepatuhannya. Inilah nantinya yang menjadi cara manusia modern kembali menikmati hidupnya yang gersang dengan kehidupan dunia ini.

Orang yang bahagia dengan keimanannya adalah orang yang di tengah kesibukan duniawinya ia memiliki waktu untuk sholat berjamaah. 

Kita faham bahwa sholat berjamaah tidak membutuhkan modal materialis, tidak mengorbankan etika sosial yang kita miliki, namun, anehnya, tidak semua orang yang ‘mengaku beriman” mendapatkan “undangan Allah” untuk melaksanakan Shalat berjamaah di Masjid. 

Konsistensi sholat berjamaah di masjid menjadi symbol awal konsistensi keseriuasan dalam menapaki keimanan kepada Allah.

Meski belum tentu orang yang tidak sholat berjamaah itu bukan orang beriman, namun, member indikasi konsistensi keberimanan bisa di mulai dari ketaatan sholat berjamaah di masjid.

Sebab sholat berjamaah di masjid menjadi symbol duniawi tentang ketaatan manusia kepada Allah sebagai Tuhannya.

Orang modern sulit membagi waktunya untuk sholat berjamaah di masjid. Di satu sisi, kesibukan dan aktivitas duniawi yang kita jalani melahirkan rasa syukur atas rezki yang Allah berikan.

Tapi perlu kita pahami, bahwa cobaan terhadap rezki yang kita dapatkan adalah menjauhnya kita dari konsistensi beriman kepada Allah. 

Orang yang bahagia dengan keimanannya adalah orang yang di tengah kesibukannya ia di beri hidayah oleh Allah untuk tertarik dan membiasakan diri membaca dan memahami Alquran.

Indikator dasar manusia jauh dari keimanannya adalah menjauhnya manusia yang mengaku beriman dengan Kitab sucinya (Al Quran). Al Quran sudah mulai di posisikan sebagai ‘Kitab Pintar” untuk mencari nilai, pemahaman dan keilmuan. Kebutuhannya sangat kasuistik.

Dan lama kelamaan Alquran akan diposisikan sebagai Kitab Sakral yang ketika ditanyakan tentang identitas keagamaan, barulah kita menyebut Al Quran sebagai pedoman. 

Masih lebih hebat lagi orang yang di anugerahi Allah waktu yang digunakan untuk sekedar membaca Alquran, meski ia tak faham.

Dibanding orang yang memiliki ilmu memahami Al Quran tapi jauh dari Al Quran. Coba saja rasakan, ketika kita melihat orang yang sedang membaca Al Quran, apakah ada rasa iri, dan menyesal, mengapa kita tak banyak kesempatan membaca Al Quran, padahal kita di anugerahi Allah kesempatan yang sama tentang waktu. Ini sesungguhnya menjadi penyesalan terdalam.

Jangan sampai kepintaran kita, justru menjauhkan kita pada Al Quran. Orang yang menjadikan Al Quran sebagai temannya dan penghibur bathinnya memiliki kemungkinan di berikan Allah ke-Irfani-anNya. Kedamaian hati, menjadi simbol dasar bagi orang yang gemar membaca Al Quran.

Orang yang bahagia dengan keimananya adalah orang yang di tengah kesibukannya memiliki waktu untuk ber I’tikaf di masjid.Mampukah kita menyisihkan waktu untuk sekedar berdiam diri setelah sholat, introspeksi diri, menyusun kekuatan kembali, bermunajat kepada Allah, mengembalikan semua potensi kepada Allah, berdoa dan memohon ampun atas kekhilafan yang dilakukan.

I’tikaf adalah terapi hati melahirkan sugesti hidup. Orang yang berhasil mengevaluasinya dalam I’tikaf biasanya akan memiliki optimisme, ketenangan dalam menjalani kehidupan. Kebanyakan kita masih “tergesa-gesa” dalam sholat.

Orang yang tergesa-gesa dalam sholatnya cenderung menempatkan sholat pada ritualitas dan formalitas saja. Ini menjadi jawaban, mengapa juga Allah terkadang memperlakukan kita formalitas belaka.

I’tikaf akan melatih keikhlasan kita dan menjawab kerinduan kita kepada Allah Swt.

Orang yang bahagia dengan keimanannya adalah orang yang dengan rezkinya ia memiliki kelapangan untuk bershadaqah. 

Pegiat ekonomi menyarankan investasi sebagai kehidupan masa depan. Dalam Islam, investasi terbesar manusia di dunia dan akhirat adalah shadaqah. Shadaqah bukan hanya diberikan pahala oleh Allah sebagai investasi akhirat, tapi shadaqah memiliki efek besar terhadap rezeki duniawi. 

Jika manusia mampu mengikhlaskan hartanya di jalan kebaikan atas nama Allah, maka apa yang tak diberikan Allah kepadanya..?, jika untuk kehidupan duniawi ini kita masih bisa pelit, maka di jalan Allah hal tersebut harus dihilangkan. Lahirnya keberkahan rezeki, salah satunya dari keikhlasan bershadaqah.

Teori rezky bisa di lihat dari dua hal, apa yang di dapat, dan apa yang di keluarkan. Jika kita masih sulit mempercayainya, maka lakukanlah, dan rasakanlah.

Betapa maha kaya-Nya Allah atas apa yang dimiliki-Nya. 
Orang yang bahagia dengan keimananya adalah orang yang dalam kehidupan konsumerisme ini, ia mampu berpuasa.

Indikator lainnya tentang kebahagiaan itu adalah gemar berpuasa. Berpuasa tidak hanya member efek akhirat saja (pahala), namun puasa juga menjadi pelatihan dasar tentang kesabaran, tentang menahan amarah.

Orang yang berpuasa biasanya sudah terlatih tentang kesabaran. Sehingga berpuasa menjadi pelatihan kolektif bagi manusia di tengah kehidupan modern ini. 

Akhirnya, nilai kita akan terukur dengan sendirinya, apakah kita sebagai manusia modern yang sudah biasa menghadapi masalah yang besar mampu menapaki pelatihan kecil dalam diri kita tentang komitmen keimanan kita kepada Allah.

Keberhasilan kita mendapatkan kebahagiaan dengan keimanan yang kita miliki ini akan diapresiasi langsung oleh Allah, bisa saja dalam bentuk rezky, ketenangan, terhindar dari kejahatan dan banyak hal yang mungkin kita masih sering terjebak di dalamnya.

Lebih jauh lagi, jika semua orang beriman di bumi Allah ini benar-benar menapaki keimanannya dengan baik, maka kejahatan akan semakin mengecil. (Ka. Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat UIN SU)

  • Bagikan