Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA.
Para ulama menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu tiga tingkatan: Tingkatan pertama: Puasa tiga hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas Muharram. Ini yang paling sempurna. Tingkatan kedua: Puasa hari kesembilan dan kesepuluh Muharram. Dan tingkatan ketiga: Puasa hari kesepuluh Muharram saja.
Adapun hikmah dianjurkan berpuasa ‘Asyura bersama dengan sehari sebelumnya (hari kesembilan Muharram/Tasu’a) dan sehari sesudahnya (hari kesebelas Muharram) ada beberapa hikmah, di antaranya yaitu:
Pertama; untuk ihtiyath (kehati-hatian), karena ada kemungkinan kesalahan dalam melihat awal bulan Muharram (hilal bulan Muharram).
Kedua; untuk berbeda dengan puasa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengkhususkan puasa pada hari kesepuluh saja (‘Asyura).
Ketiga; menyambung puasa bersama hari ‘Asyura sehingga tidak berpuasa ‘Asyura saja sebagaimana puasa pada hari Jum’at saja dilarang (dimakruhkan) kecuali berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Begitu pula puasa ‘Asyura.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sebahagian ulama berkata: Dan barangkali sebab disunnatkan puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh adalah agar tidak menyerupai dengan orang-orang Yahudi dalam mengkhususkan berpuasa pada hari kesepuluh. Dan dalam hadits ada isyarat kepada ini. Ada juga yg berpendapat untuk ihtiyath (kehati-hatian) dalam berpuasa ‘Asyura. Pendapat yang pertama lebih kuat.” (Syarhu Shahih Muslim: 8/254).
Beliau juga berkata, “Para ulama dari sahabat kami dan lainnya menyebutkan hikmah disunnatkannya puasa Tasu’a ada beberapa: Pertama: Maksudnya untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dalam membatasi puasa mereka pada hari kesepuluh saja, ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasalah kalian hari ‘Asyura, berbedalah dengan orang-orang Yahudi, dan berpuasalah kalian sebelumnya sehari dan sesudahnya sehari.” Kedua: Maksudnya menyambung hari ‘Asyura dengan berpuasa sebagaimana dilarang berpuasa pada hari Jum’at saja. Kedua ini disebutkan oleh Al-Khathabi dan lainnya. Ketiga: Kehati-hatian dalam puasa hari kesepuluh khawatir kurang hilal (awal bulan), dan terjadinya kesalahan maka hari kesembilan dalam bilangan adalah hari kesepuluh pada saat yang sama.” (Al-Majmu’: 6/352-353).
Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Sebahagian ulama berkata: Telah jelas bahwa tujuan puasa hari kesembilan untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dalam ibadah ini dengan melakukannya bersamanya, yaitu dengan salah satu dua hal: dengan memindahkan puasa hari kesepuluh ke hari kesembilan, atau dengan berpuasa kedua-duanya bersama. Sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kita masih hidup tahun depan, maka kita akan puasa pada hari kesembilan” mengandung kemungkinan dua hal itu. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebelum jelas bagi kita maksud beliau. Maka untuk kehati-hatian itu berpuasa dua hari bersama.” (Zad Al-Ma’ad: 2/76).
Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Keinginan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa pada hari kesembilan mengandung makna bahwasanya beliau tidak membatasi pada hari sembilan, namun menambahkan hari kesembilan ke hari kesepuluh baik itu bisa jadi untuk kehati-hatian baginya dan bisa jadi untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan ini makna yang lebih kuat yang didukung oleh beberapa riwayat Muslim.” (Fathul Bari: 4/375).
Beliau juga berkata, “Imam Ahmad memiliki hadits lain dari Ibnu Abbas secara marfu’, “Puasalah kalian pada hari ‘Asyura. Berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya”. Ini pada waktu yang terakhir kalinya (akhir hidup Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam). Sebelumnya, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam suka mengikuti ahlul kitab dalam hal yang tidak ada perintah sama sekali, terlebih lagi jika hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Ketika penaklukan Mekkah dan Islam menjadi masyhur, maka beliau ingin menyelisihi ahlul kitab juga sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih, dan ini termasuk dari hal itu. Maka pada awalnya beliau mengikuti mereka dan mengatakan: “Aku lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian. Lalu beliau ingin menyelisihi mereka, maka beliau memerintahkan agar ditambahkan kepada puasa ‘Asyura sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya untuk berbeda dengan mereka.” (Fathul Bari: 4/375).
Selanjutnya beliau berkata, “Dan sebahagian ulama berkata, “Sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih Muslim, “Jika kami masih hidup tahun depan, maka kami akan berpuasa pada hari kesembilan” mengandung dua hal. Pertama: beliau ingin memindahkan hari kesepuluh ke hari kesembilan. Kedua: beliau ingin menambahkan hari kesembilan kepada hari kesepuluh dalam berpuasa. Ketika beliau wafat sebelum menjelaskan itu, maka sikap kehati-hatian adalah berpuasa dua hari itu. Oleh karena itu, puasa ‘Asyura itu tiga tingkatan. Yang paling rendah adalah berpuasa hari ‘Asyura saja. Tingkatan di atasnya adalah berpuasa pada hari kesembilan bersama hari ‘Asyura. Dan tingkatan di atasnya adalah berpuasa hari kesembilan dan kesebelas bersama hari ‘Asyura. Wallahu’lam.” (Fathu Al-Bari: 4/375).
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami rahimahulllah berkata, “Hikmah berpuasa Tasu’a adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi. Dan disunnahkan berpuasa hari kesebelas.” (Tuhfah Al-Muhtaj: 1/532)
Imam Al-Khatib Asy-Syarbaini rahimahullah berkata, “Dan hikmah puasa Tasu’a bersama dengan ‘Asyura adalah kehati-hatian untuk puasa ‘Asyura karena ada kemungkinan salah dalam melihat awal bulan, dan untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi karena mereka berpuasa pada hari kesepuluh, dan menjaga dari mengkhususkan hari ‘Asyura dengan puasa sebagaimana pada hari Jum’at. Apabila tidak berpuasa Tasu’a bersama ‘Asyura, maka disunnahkan berpuasa hari kesebelas bersamanya. Bahkan Imam Asy-Syafi’i menjelaskan dalam kitab Al-Um dan Al-Imla’ bahwa disunnahkan berpuasa pada tiga hari itu.” (Mughni Al-Muhtaj: 2/183).
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami akan berpuasa pada hari kesembilan” ada kemungkinan maksudnya adalah beliau tidak membatasi atas hari kesembilan saja, namun menambahkannya ke hari kesepuluh, baik untuk kehati-hatian baginya maupun untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan ada juga kemungkinan mengandung maksud bahwa beliau membatasi puasa kesembilan saja, namun tidak ada dalam redaksi hadits yang menunjukkan hal itu”. Yang menguatkan kemungkinan pertama adalah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits yang terakhir, “Puasalah kalian sehari sebelum hari ‘Asyura dan sehari sesudahnya”, maka ini menunjukkan dengan tegas dalam pensyariatan penggabungan dua hari tersebut kepada hari ‘Asyura”. (Nailu Al-Awthar: 4/262).
Lalu Imam Asy-Syaukani menukilkan pendapat sebahagian ulama dengan mengatakan, “Dan sebahagian ulama berkata, “Sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami akan berpuasa pada hari kesembilan” mengandung kemungkinan maksud bahwa beliau ingin memindahkan hari kesepuluh ke hari kesembilan, dan mengandung maksud pula bahwa beliau ingin menambahkan hari kesembilan kepada hari kesepuluh dalam berpuasa. Ketika beliau wafat sebelum melakukan itu, maka sikap kehati-hatian itu puasa dua hari tersebut.” (Nailu Al-Awthar: 4/262)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu, rahimahulllah berkata, “Yang lebih utama adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits Ibnu ‘Abbas, “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11 Muharram) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sebaiknya berpuasa Tasu’a bersama dengan puasa ‘Asyura, karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku masih hidup tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Yakni: bersama ‘Asyura.” Dan karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya agar berbeda dengan orang-orang Yahudi, karena hari ‘Asyura yakni hari kesepuluh Muharram merupakan hari yang Allah menyelamatkan padanya Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura sebagai rasa syukur kepada Allah azza wa jalla atas nikmat yg besar ini.” (Syarhu Riyadhus Shalihin: 5/304).
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili hafizahullah berkata, “Jika seseorang tidak berpuasa hari kesembilan bersama ‘Asyura, maka disunnahkan berpuasa hari kesebelas. Hal itu karena ada banyak hikmah, di antaranya: Pertama: Berbeda dengan orang-orang Yahudi dalam membatasi puasa hari kesepuluh saja, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah kalian hari ‘Asyura, berbedalah dengan orang-orang Yahudi, dan berpuasalah sebelumnya sehari dan sesudahnya sehari”. Kedua: Bahwa yang dimaksudkan adalah menyambung puasa ‘Asyura dengan puasa bersamanya sehingga tidak berpuasa ‘Asyura saja sebagaimana tidak berpuasa pada hari Jum’at saja. Ketiga: kehati-hatian dalam puasa hari kesepuluh karena khawatir salah dalam melihat hilal bulan Muharram.” (Al-Mu’tamad fi al-Fiqh Asy-Syafi’i: 2/209-300).
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili hafizhahullah berkata, “Jika tidak berpuasa Tasu’a bersama ‘Asyura, disunnatkan berpuasa hari kesebelas bersama ‘Asyura. Bahkan Imam Asy-Syafi’i menegaskan di kitab Al-Um dan Al-Imla’ sunnatnya berpuasa pada tiga hari itu. Para ulama Hanabilah menyebutkan bahwa jika awal bulan tidak jelas bagi seorang muslim, maka dia berpuasa tiga hari, untuk meyakini puasanya.” (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu: 3/1643)
Syaikh Hasan Ayyub berkata, “Disunnatkan menggabungkan puasa ‘Asyura dengan puasa hari kesembilan dan kesebelas dari bulan Muharram untuk menyelisihi puasa orang-orang Yahudi. (Fiqhu Al-‘Ibadat bi Adillatiha: 430)
Syaikh Abu Malik dalam kitabnya “Shahih Fiqh As-Sunnah” berkata, “Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat dianjurkan menggabungkan antara puasa hari kesembilan dan hari kesepuluh dari bulan Muharram sehingga tidak menyerupai dengan orang-orang Yahudi yang mengkhususkan berpuasa pada hari ke sepuluh. (Shahih Fiqh As-Sunnah: 2/135).
Para penulis kitab “Al-Fiqh Al-Muyassar” berkata, “Dan dianjurkan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya berdasarkan sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah). Sanad Hadits ini dhaif, akan tetapi ada riwayat shahih dari Ibnu Abbas semisalnya, mauquf dari perkataan Ibnu Abbas). (Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah: 164).
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri dalam kitabnya “Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islami” berkata, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram, terlebih lagi pada hari kesepuluh lalu puasa hari ke sembilan. Puasa pada hari kesepuluh itu menghapus dosa-dosa setahun yg lalu. Dianjurkan puasa hari ke sembilan dan kesepuluh agar berbeda dengan orang-orang Yahudi.” (Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islami fi Dhaui Al-Qur’an wa As-Sunnah: 601).
Para penulis kitab “Al-Fiqh Al-Minhaji ‘ala Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i” Syaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, dan Syaikh Asy-Syarbaji berkata, “Hikmah puasa hari Tasu’a bersama ‘Asyura adalah al-ihtiyath (kehati-hatian) karena ada kemungkinan kesalahan dalam awal bulan dan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari kesepuluh. Oleh karena itu, dianjurkan jika tidak berpuasa Tasu’a bersama dengan puasa hari ‘Asyura untuk berpuasa pada hari kesebelas.” (Al-Fiqh Al-Minhaji ‘ala al-Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i: 1/356).
Sebagai penutup, mari kita mengamalkan Sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Muharram ini dengan melakukan puasa-puasa sunnat khususnya puasa Tasu’a, ‘Asyura dan hari kesebelas Muharram. Semoga ibadah kita diterima oleh Allah ta’ala. Amin..!
Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Syah Kuala Banda Aceh, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Wakil Ketua Majelis Pakar Parmusi Provinsi Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.