Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM
Lonjakan harga emas dalam beberapa bulan terakhir menjadi fenomena yang mengundang perhatian. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ketegangan geopolitik, nilai emas terus naik. Saat ini, harga emas sudah menembus angka enam juta rupiah untuk ukuran satu manyam, atau setara dua juta rupiah per gram. Bagi investor ini mungkin kabar baik, namun bagi para pemuda yang hendak menikah, ini bisa menjadi kabar buruk.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Di banyak daerah, termasuk Aceh, emas bukan sekadar logam mulia, melainkan simbol sahnya ikatan pernikahan. Sebagian besar masyarakat masih menjadikan emas sebagai bentuk mahar (maskawin) yang wajib disiapkan calon suami. Ketika harga emas terus meroket, kekhawatiran pun muncul: akankah semakin banyak pemuda menunda pernikahan karena terbebani standar mahar?
Mahar dan Gengsi Sosial
Dalam hukum Islam, mahar adalah hak istri yang wajib diberikan suami sebagai bentuk penghargaan dan bukan beban. Al-Qur’an menegaskan, “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan…” (QS. An-Nisa: 4). Bahkan Rasulullah SAW pernah menikahkan sahabatnya hanya dengan mahar berupa cincin besi, sebuah bukti bahwa syariat sangat sederhana dan fleksibel.
Namun di masyarakat, mahar sering kali menjadi simbol status sosial. Sebagian keluarga menganggap besar kecilnya mahar mencerminkan harga diri. Padahal dalam Islam, kemuliaan pernikahan tidak ditentukan oleh jumlah gram emas, tetapi oleh kualitas komitmen dan keseriusan membangun rumah tangga.
Kondisi ini menimbulkan dua risiko: meningkatnya pernikahan siri karena tak mampu memenuhi standar mahar, dan makin banyaknya pemuda yang menunda pernikahan karena alasan ekonomi.
Solusi Hukum Islam: Sederhana dan Fleksibel
Islam adalah agama yang memudahkan. Para ulama sepakat bahwa mahar tidak harus berupa emas. Ia bisa diganti dengan uang, barang, atau jasa yang bernilai manfaat. Maka, dalam kondisi seperti sekarang, penting bagi tokoh agama dan masyarakat untuk mengedukasi umat agar tidak terjebak pada formalitas yang memberatkan.
Pemerintah daerah dan lembaga keagamaan juga dapat berperan dengan mendorong kesadaran kolektif untuk menyederhanakan mahar dan prosesi pernikahan. Upaya ini sejalan dengan semangat maqasid syari’ah—menjaga keberlanjutan hidup dan memudahkan ibadah umat.
Menikah Itu Ibadah, Bukan Ajang Gengsi
Pernikahan adalah ibadah suci, bukan ajang pamer. Kita harus kembali pada semangat syariat yang memudahkan. Jangan biarkan harga emas yang melonjak menjadi penghalang bagi lahirnya keluarga-keluarga baru yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Sebab, yang menjadikan pernikahan itu mulia bukanlah mahalnya mahar, tapi keikhlasan dan komitmen menuju ridha Allah.
Penulis adalah Advokat, mediator sekaligus Akademisi IAIN Lhokseumawe.