Survei Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) soal hak politik para ASN pada 1 sampai 30 Juli 2021 lalu, hasilnya cukup mencengangkan. Sebanyak 51,16 persen dari 10.617 responden menyatakan setuju jika hak pilih ASN dicabut
Wacana penghapusan hak pilih Aparat Sipil Negara (ASN) kembali mencuat beberapa waktu yang lalu. Kali ini gagasan dilontarkan oleh Mardani Ali Sera, politisi senior dari PKS dalam acara diskusi Dialektika Demokrasi yang diadakan di Media Center Kompleks DPR/MPR-DPD RI pada Selasa 29 November 2022 yang lalu.
Mardani berpendapat, penghapusan hak pilih ASN perlu dilakukan guna menjaga menjaga integritas dan profesionalitas ASN. Beliau menilai salah satu basis kemajuan negeri adalah hadirnya birokrat-birokrat yang profesional, fungsional, yang terlindungi dari beragam kepentingan politik.
Netralitas ASN
Persoalan netralitas ASN ini sebenarnya bukan hal baru. Regulasi yang ada secara tegas telah menyatakan ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang ASN pasal 2 huruf h menjelaskan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN diterapkan dengan menegakkan asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Regulasi terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 5 huruf n secara eksplisit juga menyatakan pelarangan terhadap PNS untuk memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala daerah, calon anggota DPR, calon anggota DPD, atau calon anggota DPRD.
Aktivitas politik praktis yang dilarang bagi ASN antara lain ikut kampanye; menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut ASN; sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan ASN lain; serta sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.
Meskipun regulasi yang ada telah mengatur tentang netralitas ASN dan larangan ASN untuk berpolitik praktis, dalam implementasinya selalu menemui aral merintang. Asas netralitas ASN sangat sering dilanggar dan pemanfaatan birokrasi sipil untuk memenangkan calon atau parpol tertentu jamak terjadi dimana-mana. Apalagi ketika petahana akan maju kembali atau ada aparatur negara yang ikut masuk gelanggang kontestasi Pemilu dan Pilkada.
Dalam kontestasi lima tahunan ini, ASN selalu menjadi pihak paling tersandera. Mereka selalu berada pada posisi terjepit dan tekanan yang mereka hadapi cenderung meningkat tiap menjelang momen Pemilu atau Pilkada. Posisi strategis mereka dalam struktur birokrasi kerap dimanfaatkan, terutama oleh kepala daerah yang kembali maju dalam Pilkada.
Di satu sisi mereka mungkin ingin bersikap netral. Tetapi, mereka tak punya kekuatan untuk menolak petahana ataupun politisi yang ingin memanfaatkan struktur birokrasi dalam proses Pemilu atau Pilkada. Bayangan demosi atau kehilangan jabatan sering sekali menjadi pemicu mereka akhirnya tunduk di bawah kendali petahana ataupun politisi. Kondisi dilematis ini diamini Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar saat Rakornas Bawaslu dan Kepada Daerah terkait netralitas ASN beberapa waktu yang lalu.
Di sisi lain, kita juga tak menampik ada ASN yang memang tidak berniat netral terhadap ajakan untuk menyokong petahana ataupun politisi. Keinginan untuk menduduki jabatan-jabatan struktural yang strategis sering memicu banyak ASN terlibat, bahkan dijadikan mesin pemenangan oleh mereka yang bertarung dalam gelaran Pemilu atau Pilkada. Makanya tak heran kasus pelanggaran netralitas ASN terus saja terjadi.
Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri mencatat, pada rentang 2020 hingga 2021, terjadi pelanggaran netralitas ASN sebanyak 2.034 kasus. Ini pun hanya berdasarkan jumlah kasus yang diadukan atau dilaporkan, sehingga mungkin masih banyak lagi kasus yang tidak ketahuan. Dari jumlah itu, baru 1.373 ASN atau separuhnya yang sudah diberi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) di instansi masing-masing.
Potensi Suara ASN
Keberpihakan ASN dalam kontestasi Pemilu dan Pilkada secara statistik cukup menjanjikan. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat, jumlah ASN per Juni 2022, mencapai 4.344.552 orang, yang terdiri atas 3.992.766 orang atau 92 persen berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan sisanya 351.786 orang atau 8 persen adalah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari jumlah tersebut, hanya 9,3 persen yang berusia 18 hingga 30 tahun dan selebihnya berada antara usia 30 tahun sampai dengan batas usia pensiun.
Jika diasumsikan para ASN di atas usia 30 tahun ini berstatus menikah dan memiliki anak dan istri. Maka potensi suara yang bisa diraup dari ASN paling tidak bisa melebihi angka 4,3 juta suara. Apabila angka ini dikonversikan ke jumlah suara berdasarkan jumlah pemilih pada Pemilu 2019 yang mencapai 192 juta orang pemilih, akan setara dengan 2,25 persen suara.
Mengingat ambang batas lolos tidaknya Parpol ke Senayan masih berada di kisaran empat persen, jumlah ini bisa dikatakan cukup besar dan dapat menjadi faktor penentu masuk tidaknya Parpol peserta Pemilu untuk berkiprah di Senayan. Angka ini belum memperhitungkan tambahan suara yang mungkin bisa didulang para ASN dari lingkungan keluarga, tempat tinggal, maupun kerabat dan koleganya.
Melindungi Birokrasi Dari Kuasa Politik
Ingatan publik tentu belum lepas dari masa Orde Baru dimana para ASN dijadikan mesin kampanye dan pemenangan parpol tertentu. Pada masa itu, daya tawar kalangan ASN cukup kuat. Di samping disokong Parpol pemenang Pemilu, representasi birokrasi di lembaga perwakilan rakyat juga diakomodir melalui fraksi utusan golongan/daerah.
Pascareformasi, fraksi ini dihilangkan dan diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah yang mekanisme pemilihannya hampir serupa dengan DPR. Sejak saat itu, posisi tawar birokrasi semakin melemah bahkan cenderung dikebiri oleh kalangan politisi.
Salah seorang dosen di IPDN, Muhadam Labolo menjelaskan salah satu bukti pengebirian daya tawar ASN adalah lewat pembatasan hak untuk dipilih sekaligus mundur sebagai ASN saat mendaftar sebagai pejabat publik. Lebih jauh beliau menjelaskan, bahwa diskriminasi makin jelas terlihat ketika para politisi tak harus mundur saat mencalonkan diri sebagai pejabat publik.
Relasi kuasa yang timpang antara birokrasi dan politisi ini mempertemukan kepentingan birokrat dan politisi di setiap ajang Pemilu atau Pilkada demokrasi. Politisi butuh sumber daya birokrasi untuk memenangi pesta demokrasi, sementara birokrasi butuh politisi guna menjamin keberlangsungan dan stabilitas kekuasaan mereka di struktur birokrasi.
Sehingga, Beliau berpendapat, sebenarnya akar permasalahan utamanya bukan pada hak politik ASN untuk memilih, melainkan pada ketimpangan relasi kuasa dan politisasi birokrasi yang telah terjadi selama bertahun-tahun.
Ketika Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menggelar survei soal hak politik para ASN pada tanggal 1 sampai 30 Juli 2021 yang lalu, hasilnya cukup mencengangkan. Sebanyak 51,16 persen dari 10.617 responden menyatakan setuju jika hak pilih ASN dicabut. Menurut Ketua KASN, Prof. Agus Pramusinto, penyebab mayoritas ASN setuju hak politiknya dicabut adalah karena perasaan tidak nyaman menjalankan tugasnya terutama saat gelaran Pilkada.
Dengan demikian, meskipun persoalan netralitas ASN ini sering sekali disuarakan, namun solusi yang ditawarkan tidak pernah menyentuh akar persoalan sebenarnya. Untuk itu, sebaiknya Pemerintah dan DPR perlu segera mengeluarkan terobosan yang betul-betul menjamin tegaknya asas netralitas ASN dalam ajang pesta demokrasi.
Pemberian sanksi yang tegas misalnya diskualifikasi kepada para petahana ataupun politisi yang terbukti ‘mengajak’ ASN untuk bersikap tidak netral mungkin bisa jadi salah satu solusi. Menghapus hak pilih ASN pun mungkin bisa menjadi alternatif solusi untuk wujudkan birokrasi profesional yang netral dan merdeka dari belenggu politisasi.
Penulis adalah Staf Bappedalitbang Kabupaten Deliserdang.
Tindakan Asusila Di Lembaga Pendidikan
Oleh Muhammad Iqbal, M.Pd
Sekolah dapat melaksanakan mentoring karakter, sebagai upaya menumbuhkan, karakter positif dalam diri guru dan siswa. Begitu juga dengan aturan yang dibuat, hendaknya dapat dipahami dan dijalankan oleh seluruh warga sekolah.
Sekolah, tempat seseorang tumbuh dan terus memperdalam wawasan. Setiap orang tua, menitipkan anaknya di tempat tersebut dan berharap, anaknya dididik dan diajar pelbagai pengetahuan dan keterampilan. Mereka berharap, suatu saat anaknya tumbuh menjadi pribadi yang dapat diharapkan, bukan justru menjadi pribadi yang menghasilkan pelbagai masalah baru. Sekolah pun menyambut baik niat baik tersebut. Buktinya, dikukuhkanlah program sekolah ramah anak atau sejenisnya. Yang memberikan pesan, bahwa anak akan aman berada di sekolah. Tidak hanya itu, mereka pun menguatkan anak agar berhasil meraih cita-citanya.
Namun, seiring berkembangnya zaman, sekolah tak lagi ramah dengan anak. Pelbagai kasus kejahatan terjadi, salah satunya tindakan asusila yang sangat memalukan. Parahnya, pelakunya adalah guru di sekolah tersebut. Orang yang seharusnya digugu dan ditiru, ternyata menjadi aktor tindak kejahatan yang sangat mencoreng wajah baik pendidikan. Parahnya, kasus yang terjadi bukan sedikit.
Dilansir dari laman kompas.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap, sebanyak 207 anak menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang tahun 2021. Selain itu, baru – baru ini kasus serupa juga terjadi di Kotawaringin timur, diduga seorang guru melakukan tindakan asusila terhadap siswinya sendiri, sebagaimana yang dilaporkan pada laman klikkalteng.id. Banyaknya kasus tindakan asusila yang terjadi di lembaga pendidikan harusnya menjadi perhatian penting bagi kita, agar segera mencari jalan keluar untuk menghentikannya.
Upaya Menghentikan
Sebab, jika tidak, maka kasus serupa akan kembali terjadi. Yang tak enaknya, kasus tersebut memberikan dampak jangka panjang yang membahayakan bagi siswa, salah satunya gangguan kejiwaan. Oleh karena itu, kasus tersebut harus segera dihentikan. Diantara upaya yang dapat dilakukan, yaitu, pertama, menanamkan nilai-nilai agama, etika, dan norma terhadap guru dan siswa.
Nilai-nilai tersebut menjadi perisai utama yang harus ditanam, pihak sekolah dapat melaksanakan program keagamaan dengan rutin di sekolah, seperti membaca Al Qur’an, pengajian, shalat berjamaah, dan pelbagai kegiatan keagamaan lainnya. Selain itu, sekolah juga dapat melaksanakan mentoring karakter, sebagai upaya menumbuhkan, karakter positif dalam diri guru dan siswa. Begitu juga dengan aturan yang dibuat, hendaknya dapat dipahami dan dijalankan oleh seluruh warga sekolah.
Kedua, meningkatkan selektifitas dalam memilih guru. Proses seleksi yang tepat, akan menghasilkan kualitas pekerjaan atau guru yang berkualitas. Maka itu, jangan sampai proses seleksi ini diabaikan. Meskipun, sekolah tersebut sangat membutuhkan guru. Tetapi, proses seleksi tidak boleh diabaikan. Sebab, takutnya akan masuk guru-guru yang tidak diharapkan, yang kedatangannya, bukan menjadi teladan. Tetapi justru menambah permasalahan.
Dalam hal ini, proses seleksi yang dilakukan, dapat meliputi, tes wawasan akademik, kepribadian, praktik mengajar, dan wawancara. Dengan proses seleksi tersebut, diharapkan guru yang dipekerjakan di sekolah dapat menunjukkan kualitas terbaiknya dalam menunaikan setiap amanah yang diberikan.
Ketiga, mengajarkan kepada siswa untuk berani berbicara ketika menjadi korban asusila. Seringkali, siswa yang menjadi korban tindakan asusila mendiamkan kasus yang dihadapinya. Pelbagai tekanan muncul, membuat korban diam seribu bahasa. Tentu, hal tersebut tidak baik untuk dilakukan. Sebab, mendiamkan sebuah perkara, bukanlah jalan keluar terbaik. Justru, dengan bersuara, perkara tersebut akan cepat ditangani. Untuk itu, sekolah mesti memberikan keyakinan dan kenyamanan bagi siswa dalam mengutarakan setiap perkara yang dihadapinya. Dalam hal ini, layanan Bimbingan Konseling (BK) harusnya menjadi penggerak utama dalam mendengarkan setiap konsultasi siswa. Pasca dari konsultasi tersebut, akan diperoleh penanganan terbai atas kasus yang dihadapi oleh siswa.
Selain pelbagai upaya yang telah disampaikan di depan, kesadaran guru dalam memaknai tanggung jawab dalam menjalankan perannya sebagai pengajar dan pendidik, harus selalu ditumbuhkan. Jangan sampai semangat berbagi pengetahuan jadi kesempatan untuk berbuat pelbagai tindakan kejahatan.
Dalam hal tersebut, hendaknya guru selalu melakukan refleksi dari setiap perjalanannya sebagi pemberi pelajaran dan inspirasi bagi siswa. Sehingga ia akan fokus dalam perbaikan dan peningkatan kualitas dalam menjalankan peran, bukan kepada hal-hal lain yang mengaburkan tanggungjawabnya dalam menjalankan peran.
Hampir semua tindakan kejahatan yang terjadi, dilatarbelakangi karena ada kesempatan. Begitupun dengan tindakan asusila di lembaga pendidikan. Sekalipun di tempat setiap orang memperoleh pendidikan dan pengajaran. Jika ada kesempatan, semua tindakan itu bisa terjadi tanpa kita sadari sebelumnya.
Untuk itu, sebagai siswa, tentu harus mewaspadai hal ini, bersikaplah sewajarnya dan berpenampilan seadaanya. Jangan sampai, mengundang oknum nakal untuk bertindak asusila. Karena itu, dalam menghentikan tindakan asusila di lembaga pendidikan, diperlukan semua kesadaran pihak pimpinan, guru, dan siswa. Jika semuanya memiliki suhu yang sama , maka tidak akan ada tindak pidana asusila berikut-berikutnya.
Penulis adalah Guru SMP IT Al Kahfi.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.