Guruku Bukan AI

  • Bagikan
Guruku Bukan AI

Oleh Salamat Siregar, S.Pd, M.Si.

Meskipun AI telah mengubah lanskap pendidikan, peran guru tetap relevan dan esensial dengan syarat guru berkenan bertransformasi menjadi pembimbing, fasilitator, dan inspirator yang mengarahkan siswa untuk menggunakan AI secara etis dan produktif

Artificial Intelligence (AI) telah menjadi fenomena global yang mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk pada ranah pembelajaran pendidikan dasar dan menengah. Anak-anak sekolah kini ketika diberikan penugasan dari guru akan lebih mengandalkan teknologi seperti ChatGPT, OpenAI, Gemini Google, atau Bing AI untuk menyelesaikannya ketimbang memikirkan sendiri, berdiskusi, atau meminta bantuan orangtua/wali. Fenomena ini tentu memunculkan kekhawatiran apabila tidak bisa dikendalikan ke jalur yang tepat, diantaranya adalah reduksi peran guru, penurunan kemandirian belajar, kurangnya pemahaman konseptual, peningkatan risiko plagiarisme dan sebagainya.

Reduksi peran guru terjadi apabila siswa terlalu bergantung pada AI untuk menjawab tugas-tugas akademik dan guru tidak berusaha untuk mencegahnya. Kehadiran guru seolah tidak butuhkan lagi karena semua informasi yang dibutuhkan bisa dihadirkan oleh AI. Secara jujur harus diakui bahwa AI bisa memberikan alternatif jawaban dengan presisi dan rinci dari permasalahan yang diajukan yang berkaitan dengan ranah kognitif, sebagaimana dijelaskan dalam taksonomi Bloom revisi oleh Anderson dan Krathwohl yang meliputi mengingat (remembering): mengingat kembali informasi yang telah dipelajari, memahami (understanding): menerjemahkan, menafsirkan, dan menjelaskan informasi, menerapkan (applying): menggunakan informasi dalam situasi baru, menganalisis (analyzing): memecahkan informasi menjadi bagian-bagian untuk menemukan hubungan, mengevaluasi (evaluating): menilai informasi berdasarkan kriteria tertentu, menciptakan (creating): menggabungkan berbagai elemen untuk menghasilkan sesuatu yang baru, seperti menyusun, merancang, atau menciptakan solusi inovatif.

Ironisnya, apabila sajian informasi yang dihasilkan AI, oleh siswa diklaim sebagai hasil kerja sendiri atau kelompok dan menjadi objek penilaian kompetensi oleh guru. Sangat berbahaya lagi manakala hasil kerja tersebut diberikan nilai 100 oleh guru dan diberikan apresiasi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: bagaimana peran guru agar relevan di era disrupsi teknologi ini?

Tantangan

Keberadaan AI menantang peran guru sebagai penyaji pengetahuan. Guru yang tidak adaptif terhadap perkembangan ini berisiko kehilangan relevansi. Sugata Mitra (2012), menyatakan bahwa tugas guru bukan lagi hanya mentransfer informasi, tetapi menjadi fasilitator pembelajaran. Guru harus mampu mengarahkan siswa untuk menggunakan AI secara etis dan bertanggung jawab. Guru perlu bertransformasi dengan mengadopsi teknologi dalam strategi pembelajaran. John Hattie (2009), dalam penelitian tentang pengaruh guru terhadap hasil belajar siswa, menunjukkan bahwa kehadiran guru yang kompeten tetap menjadi faktor penting dalam keberhasilan siswa. Guru yang menguasai pendekatan seperti mentoring, coaching, dan fasilitasi akan mampu memaksimalkan potensi siswa sekaligus mengarahkan mereka memanfaatkan AI secara optimal.

Alih-alih menjadi ancaman, AI dapat menjadi alat yang membantu siswa mengembangkan kompetensi abad ke-21, yaitu 4C: Critical Thinking, Collaboration, Communication, dan Creativity. Kompetensi ini sangat penting untuk membangun keterampilan berpikir kritis dan inovatif. Namun, guru harus memastikan AI digunakan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti usaha belajar siswa. Sebab pendidikan modern tidak hanya fokus pada hard skills tetapi juga soft skills. Menurut Daniel Goleman, kecerdasan emosional (EQ) menjadi kunci kesuksesan individu di masa depan. Dengan bimbingan guru, siswa dapat mengembangkan keterampilan interpersonal seperti komunikasi, kepemimpinan, dan kolaborasi, serta keterampilan intrapersonal seperti pengendalian diri, inisiatif, dan empati. Penggunaan AI juga menimbulkan tantangan etis, seperti potensi plagiarisme dan pengabaian nilai-nilai kejujuran. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menjadi fokus utama. Guru perlu mengintegrasikan pengajaran moral dan etika dalam penggunaan teknologi untuk membangun generasi yang bertanggung jawab.

Rekomendasi

Melihat situasi yang demikian kompleks, satu-satunya jalan yang harus ditempuh guru adalah segera move on dengan cara bertransformasi menjadi guru kekinian dengan tetap memegang prinsip-prinsip tugas pokok dan fungsi sebagai guru. Salah satu poin penting yang harus dilakukan guru adalah wajib hukumnya mengikuti perkembangan disrupsi teknologi dalam pembelajaran dengan cara belajar sungguh-sungguh agar bisa satu frekuensi dengan siswa yang sedang difasilitasi. Kemudian mengubah cara / metode /teknik / strategi / pendekatan / model mengajarnya dengan memberi peran yang lebih besar kepada siswa untuk belajar. Guru memposisikan diri melalui pendekatan mentoring, coaching, konseling, training, dan fasilitasi dalam pembelajaran. Semua ini bisa dilakukan manakala guru memiliki kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, dan profesional yang mumpuni.

Sebagai mentor, guru memberikan arahan strategis kepada siswa untuk menggunakan AI secara bijak dalam eksplorasi pengetahuan. Dalam peran coaching, guru membantu siswa mengembangkan keterampilan spesifik, seperti berpikir kritis dan pemecahan masalah, dengan bimbingan AI. Sebagai konselor, guru memastikan siswa memahami etika penggunaan AI, termasuk tanggung jawab dan integritas akademik. Sebagai trainer, guru mengajarkan cara optimal memanfaatkan berbagai platform AI untuk meningkatkan proses belajar. Terakhir, dalam peran fasilitator, guru menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif, di mana siswa menggunakan AI untuk memperdalam pembelajaran tanpa kehilangan nilai-nilai sosial dan humanis. Pendekatan ini memungkinkan AI menjadi mitra pembelajaran, sementara guru tetap menjadi tokoh sentral dalam pendidikan.

Penutup

Meskipun AI telah mengubah lanskap pendidikan, peran guru tetap relevan dan esensial dengan syarat guru berkenan bertransformasi menjadi pembimbing, fasilitator, dan inspirator yang mengarahkan siswa untuk menggunakan AI secara etis dan produktif. Dengan demikian, AI tidak lagi dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai alat yang mendukung proses belajar-mengajar. Sebagaimana dinyatakan oleh Alvin Toffler, ” Mereka yang disebut buta huruf (illiterate) di abad ke-21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, namun mereka yang tidak bisa belajar (learn), menanggalkan pelajaran sebelumnya (un-learn), dan belajar kembali (re-learn)”. Guru adalah kunci untuk memastikan siswa mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.

Ketika guru mampu memosisikan diri sebagai seorang profesional dalam mengikuti perkembangan teknologi seperti mahir dalam memanfaatkan AI untuk pembelajaran, maka siswa akan menganggap peran guru tetap dibutuhkan dan berkata bahwa guruku bukan AI, kehadiran guru sangat dirindukan sebagai katalisator inspirasi dan kreativitas.

Penulis adalah Guru Ahli Utama, Kepala SMAN 1 Angkola Barat Tapanuli Selatan.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *