SUATU ketika, dua orang perempuan menemui sang raja Nabi Sulaiman, mengadukan perkaranya. Keduanya berebut seorang bayi, masing-masing mereka mengaku bahwa bayi itu miliknya. Tidak ada satupun dari mereka yang mengalah, karena keduanya yakin bahwa bayi itu milik mereka.
Sampai akhirnya Nabi Sulaiman memerintahkan pelayannya untuk mengambil sebilah pedang. Ia akan membelah bayi itu menjadi dua dan membaginya agar adil.
Mendengar keputusan sang Raja, salah seorang perempuan yang lebih muda memohon kepada Nabi Sulaiman untuk tidak melakukannya. Ia berkata bahwa bayi itu milik perempuan yang lebih tua.
Seketika, sang raja memutuskan bahwa bayi itu milik si ibu yang lebih muda. Sejatinya, tidak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya tersakiti, apalagi di depan matanya.
Itulah filsafat, ia akan melahirkan pikiran yang bersih, bebas dari segala kepentingan pribadi, kelompok, orang dekat, maupun golongan. Pikiran yang terhindar dari hal-hal negatif, merugikan, menindas, menzalimi dan lainnya. Pikiran yang jernih akan sehat, ia mengandung entitas keadilan. Ia akan melahirkan kebijaksanaan.
Sesuai asal katanya, Philein artinya cinta, dan Sophos kebijaksanaan. Berarti, filsafat itu cinta kebijaksanaan, suatu nilai universal yang merupakan hak setiap individu, kelompok, masyarakat dan bangsa.
Kata Sophos, hampir mirip dengan kata Shofiatun dalam bahasa Arab yang artinya, jernih, bersih. Jika kata Shofiatun ini disandingkan dengan kata ma’un yang artinya air, maka menjadi air yang jernih.
Air yang jernih adalah air yang tidak mengandung kotoran, ia putih bersih hingga akan tampak apa yang ada di baliknya. Ia bebas dari lumpur yang membuatnya tidak indah dipandang dan tidak baik diminum.
Begitulah kebijaksanaan, suatu keadaan dari hasil proses berpikir mendalam yang melahirkan filsafat. Kebijaksanaan mengandung unsur-unsur positif universal seperti keadilan, keseimbangan, kejujuran, kedamaian dan lainnya.
Dengan demikian segala bentuk lawannya, seperti ketidakadilan, keberpihakan pada golongan tertentu, kemunafikan, kekacauan dan lainnya sejatinya bertentangan dengan filsafat itu sendiri.
Anggapan Miring Tentang Filsafat
Namun sayang sungguh disayang, filsafat justeru sering dikesampingkan. Pada banyak kalangan, bahkan akademisi, filsafat dianggap sebagai disiplin ilmu yang sulit dan hanya sia-sia, karena berkutat pada pikiran saja, berpikir pada hal-hal abstrak yang tidak pragmatis, menghabiskan waktu karena berpikir mendalam.
Bahkan sebagian kalangan ada yang meng”haram”kannya karena berpotensi menyesatkan.
Oleh karenanya, filsafat pun dianggap kurang memberi dampak pada kehidupan praktis. Ironisnya lagi, filsafat dijadikan guyonan, tak jarang orang bercanda ketika melihat orang gila dengan rambutnya yang panjang dan pakaiannya yang compang camping di jalanan, disebut sebagai “filsuf”.
Memang hanya candaan, tetapi ini seolah-olah memberi kesan, bahwa orang yang belajar filsafat akan jadi gila. Sebagai akibatnya, filsafat kurang diminati.
Padahal filsafat merupakan alat yang dapat menginterpretasi seluruh fenomena alam maupun kehidupan manusia itu sendiri, bahkan pesan-pesan agama yang hasilnya justru untuk kepentingan dan kehidupan manusia yang baik, adil, sejahtera, dan humanis.
Filsafat mampu memberi manusia kepuasan akan dahaga kebaikan dan kebenaran.
Dalam ruang kehidupan yang lebih praktis, filsafat dapat menemukan celah, memformulasi aturan, memecahkan masalah, memproduksi gagasan, dengan asas “kebijaksanaan” baik untuk manfaat individu, kelompok, masyarakat bahkan bangsa dan negara.
Jika filsafat dianggap tidak berdampak pada kehidupan nyata, maka cukuplah peristiwa-peristiwa besar dalam berbagai sejarah kehidupan manusia menjadi buktinya.
Liberalisme kulit hitam misalnya, yang juga dikenal sebagai liberalisme Afrika-Amerika, adalah sebuah filsafat politik dan sosial dalam komunitas Afrika-Amerika di Amerika Serikat yang sejalan dengan liberalisme.
Perlawanan kaum intelektual di Eropa pada otoritas Gereja yang dianggap sudah tidak masuk akal, melahirkan gerakan sekularisme.
Filsafat Liberte, egalite, fraternite Prancis yang ingin menegakkan solidaritas sosial dengan mengusung prinsip kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan, dan masih banyak lagi, gerakan yang memberikan perubahan besar pada sebuah negara berawal dari filsafat.
Di Indonesia, filsafat pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara Ing Ngarso sung tulodo, ing madio mangun karso, tut wuri handayani juga bukti betapa besar dampak filsafat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pesan etis ini menjadi falsafah hidup berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, anggapan tentang filsafat di atas sudah saatnya ditepis. Filsafat harus dihidupkan agar pikiran bangsa menjadi bertumbuh dan sehat. Sehingga segala hal yang berkenaan dengan kehidupan bangsa berdampak pada sophos itu sendiri.
Filsafat, Kebijakan dan Implikasinya bagi Rakyat
Masih segar dalam ingatan kita undang-undang omnibus law? Pasca digulirkannya, cukup menuai kritik, terutama dari kaum buruh.
Mereka merasa bahwa undang-undang tersebut tidak memuat unsur keadilan, malah merugikan.
Ia dianggap tidak memberikan perlindungan kerja bagi terutama buruh pribumi, justeru lebih memberi peluang besar bagi tenaga kerja asing. Al hasil, omnibus law dianggap produk kepentingan sepihak yang bebas dari nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Ini jelas tidak sejalan dengan filsafat.
Kebijakan tentang impor beras tahun 2021 tak kalah menuai penolakan, khususnya dari para petani. Saat itu, pemerintah berencana melakukan impor beras sebanyak satu juta ton untuk menjaga kelancaran pasokan dan kestabilan harga beras di pasaran.
Kebijakan impor beras ini dipandang perlu oleh pemerintah utamanya untuk menjamin ketersediaan beras di tengah masa pandemi yang menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan.
Sebagaimana peringatan dari Food and Agriculture Organization (FAO), bahwa potensi terjadinya krisis pangan akibat situasi pandemi cukup besar yang, di antaranya disebabkan oleh terbatasnya tenaga kerja di sektor pertanian dan terganggunya rantai pasok pangan.
Selain sebagai langkah antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya krisis pangan, kebijakan impor beras juga dilakukan untuk menjamin ketersediaan stok beras nasional sepanjang tahun 2021, agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik, sekaligus dapat mendorong kinerja perekonomian nasional (Kompas, 13 Maret 2021).
Namun, hal itu dipandang justeru menimbulkan kerugian tersendiri bagi para petani lokal, yang sesungguhnya tanpa impor pun, petani lokal masih mampu mensuplai beras untuk kebutuhan pangan nasional.
Tak ayal, kebijakan ini dianggap berpihak pada kepentingan pribadi dengan mengorbankan hak-hak petani lokal. Sekali lagi, ini tidak sesuai dengan filsafat.
Dan, masih banyak kebijakan dan keputusan yang tidak sesuai dengan kehendak filsafat. ia menginginkan keputusan yang logis masuk akal sejalan dengan nilai-nilai kebijaksanaan. Jika tidak, maka itu bertentangan.
Ketika seseorang dihadapkan pada satu persoalan, maka di situ pikirannya akan diuji, seberapa mampu ia menggunakan pikirannya berdasarkan prinsip-prinsip berpikir logis agar menghasilkan filsafat.
Ketika seorang hakim berdiri memutuskan perkara, di situ ia diuji, di saat seorang pejabat akan membuat aturan dan kebijakan, di situ ia diuji, di saat anggota DPR membicarakan rakyat, di situ ia diuji, bahkan dalam lingkup yang lebih sederhana, di saat orang tua menjalani kehidupan dengan keluarganya, di situ ia diuji, dan ketika seseorang akan menentukan takdirnya, di situ ia diuji.
Pada akhirnya, filsafat akan menilai setiap pikiran yang dinyatakan. Apakah ia seusai atau bertentangan.
Filsafat membutuhkan setiap orang berpikir jernih dan mendalam agar bebas dari segala nilai-nilai negatif universal yang akan menghasilkan filsafat itu sendiri. Allahu A’lam. (Penulis Pemerhati Sosial)