Filosofi Positif Manusia

  • Bagikan

Filosofi positif manusia modern secara manajemen perlu dipopulerkan kembali dalam masyarakat. Pada umumnya kita menginginkan perilaku dan perbutan baik untuk beramal baik, beramal saleh, sabar, syukur, ikhlas, takwa, tawakal, berprestasi, berhasil, bahagia, gembira, senang, dan sifat serta sikap positif lainnya

Islam memandang fitrah manusia secara positif. Meski juga tidak menafikan sifat negatif manusia karena berbagai faktor internal dan eksternal yang melingkupi kehidupan manusia.

Namun, manusia dalam Islam tidak boleh terkungkung dengan keadaan buruk maupun lingkungan atau menyalahkan faktor lain atas kelemahannya sampai terus berada dalam kemaksiatan. Manusia memiliki potensi fitrah untuk kebaikan dan perbuatan baik yang sangat luas.

Manusia merupakan manajer dalam kehidupan, bahkan alam semesta. Karena manusia dapat memilih dan menentukan pilihan dan tindakannya, sedangkan hewan dan hukum alam tunduk dan teratur.

Malahan manusia dapat merekayasa hewan dan hukum alam untuk kemaslahatan umat manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah, satu-satunya makhluk kasat mata yang bertanggung jawab adalah manusia sedangkan hewan misalnya, tidak ada tanggung jawab etisnya.

Nah, bagaimana filosofi manajemen memandang manusia? Untuk menjawab ini, kita dapat mengutip pendapat Prof. Dr. Fachruddin Azmi, MA. (Guru besar UIN Sumatera Utara) terkait dengan pandangan filosofi manajemen manusia.

Pertama, pandangan klasik dan skolasti bahwa manusia cenderung buruk–negatif, berdosa atau bersalah (bad active, human) karena itu manusia perlu diawasi atau dikontrol secara manajemen. Secara ontologis sebab kecenderungan bersalah itu maka lahirlah manajemen yang menitikberatkan pengawasan secara ketat.

Untuk tidak menyebutnya, mematai-matai atau bahkan mencari-cari kesalahan orang lain. Kecenderungan manusia bersalah, berdosa, dan berbuat jahat menjadi landasan filosofi klasik dan skolastik, walhasil manusia dianggap buruk dan negatif.

Ada banyak pandangan, doktrin, dan jenis atau analis ilmu pengetahuan bahkan berawal dari paradigma manusia yang negatif. Atas dasar itu juga, mungkin lahirlah aturan, hukum, atau perundangan-undangan guna memanajemen manusia secara ketat.

Mungkin, salah satu contoh dalam psikologi terutama aliran psikodinamika atau psikoanalis Sigmund Freud yang menyimpulkan niat dan motif manusia adalah dorongan seksualitas.

Bagi Freud, niat tulus, Tuhan, dan sifat baik itu tidak ada. Kecuali, dorongan sublimasi ego atau buatan masyarakat sebagai ambang bawah/batas kesadasaran atau pertahanan diri?

Meski pandangan ini klasik, masih banyak perilaku dan praktik manajemen bahkan ilmu pengetahuan yang melandasi pandangannya dengan asumsi manusia cenderung berbuat salah, sehingga perlulah manajemen, peraturan, perudangan-undangan, dan sanksi hukum.

Kedua, pandangan modern bahwa manusia cenderung baik (positif, good human). Kecondongan ini dalam Islam, biasanya disebut dengan fitrah (suci)–setiap bayi atau anak lahir dalam keadaan fitrah. Keadaan suci, mempunyai kecenderungan positif, baik, dan setidaknya netral.

Maksud dari kecenderungan baik itu adalah setiap orang lebih memilih bahagia daripada sengsara, lebih senang sehat daripada sakit, lebih ingin kaya daripada miskin, dan begitu seterusnya.

Lalu, mengapa sebagian orang menjadi tidak positif? Karena banyak faktor yang melingkupi pertumbuhan, perkembangan, pendidikan, lingkungan, geografi, psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan aspek lainnya. Sampai manusia melakukan hal yang melanggar fitrah kemanusiaannya.

Dalam pandangan filosofi positif, manajemen bagi manusia secara positif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas diri, kelompok, dan masyarakatnya untuk kebaikan. Jadi, manajemen lebih berfungsi sebagai “pendampingan” daripada tadi pengawasawan.

Setiap orang ingin lebih baik atau meningkatkan kualitasnya, bukan semata mematai kelemahannya. Sikap positif mendorong semangat dan gairah hidup, sedangkan sikap negatif melemahkan dan membuat putus asa.

Jika dalam pandangan pertama, pengawasan ketat pada akhirnya berujung hukuman dan sanksi, sedangkan dalam pandangan kedua, setiap orang diberdayakan secara positif untuk kebaikan diri, kelompok, kerja, dan lingkungannya.

Benchmarking, peraturan, prosedur, dan manajemen diarahkan pada upaya perbaikan yang terus menerus sehingga menjadi budaya pribadi dan sosial, yang dinamakan karakter, budaya, dan adat kebiasaan yang positif.

Kini, pandangan manusia lebih positif, misalnya secara psikologi dikemukakan Abraham Maslow dengan teori humanistiknya. Dan berbagai pandangan ilmu pengetahuan lain, rasanya mengubah paradigma mereka, bahkan penjara kini berubah nama menjadi lembaga pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan HAM.

Maka, kecenderungan manusia positif perlu dimasyhurkan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam filsafat modern dan manajemen. Meski demikian, ini tidak harus menafikan juga kadang manusia dapat melakukan kesalahan atau kejahatan.

Agama Islam juga mengingatkan dan waspada terhadap kejahatan diri sendiri, seperti tertera dalam banyak doa, misalnya, “Wa Nauzu bi Lahi min Sururi Anfusina-kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita sendiri.”

Artinya, meski potensi dasar manusia baik, ia dapat berbuat buruk, jahat karena berbagai kepentingan atau keinginannya yang berlebihan, tidak terkendali.

Jadi, filosofi positif manusia modern secara manajemen perlu dipopulerkan kembali dalam masyarakat. Pada umumnya kita menginginkan perilaku dan perbutan baik untuk beramal baik, beramal saleh, sabar, syukur, ikhlas, takwa, tawakal, berprestasi, berhasil, bahagia, gembira, senang, dan sifat serta sikap positif lainnya.

Manusia tidak melulu dan tidak ingin berlama-lama dalam hal perbuatan jahat, dosa, maksiat, hasad, bodoh, sengsara, sedih, marah, dan sikap negatif lainnya.

Penulis adalah Guru MAN IC Tapsel.

  • Bagikan