Fanatisme Mengalahkan Akal Sehat

  • Bagikan
Fanatisme Mengalahkan Akal Sehat

Oleh Feri Irawan, S.Si.,M.Pd

‘Media sosial menjadi fear factory yang menebarkan ketakutan Pilpres 2024. Alih-alih mencerdaskan, media sosial dikuasai pasukan cyber yang menebarkan ketakutan ke semua orang, mengganggu kenyamanan kita’

Tahun 2024, Indonesia dihadapkan dengan dua pesta besar, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pekan Olah Raga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut. Namun tulisan kali ini penulis lebih fokus pada Pemilu.

Tidak berlebihan jika pemilihan presiden (Pilpres) yang berlangsung 14 Februari 2024 ini merupakan peristiwa yang menentukan sejarah. Dalam peta politik regional dan global, Indonesia memiliki peranan yang penting. Siapa pun para kandidat yang terpilih kelak, ada harapan besar perubahan yang lebih baik menuju tatanan berbangsa yang berorientasi pada upaya menyejahterakan masyarakat dan dapat menjadi teropong kebijakan untuk memajukan peran negara di dunia global dalam lima tahun ke depan.

Untuk mewujudkan kondisi diatas, maka pentingnya literasi politik di masyarakat untuk mendewasakan demokrasi di Indonesia seperti kepekaan terhadap isu-isu sosial. Di sisi lain, pemerintah juga harus memiliki model pendidikan politik yang ideal bagi masyarakat dalam menyukseskan Pemilu 2024.

Mengapa demikian? karena rendahnya pendidikan politik di masyarakat akan berdampak pada partisipasi masyarakat yang rendah (apatisme) dalam memberikan hak suaranya. Sebaliknya, pendidikan politik dapat meningkatkan literasi dan partisipasi sehingga Pemilu 2024 berkualitas dan terintegrasi.

Diprediksi Pilpres tahun ini lebih panas dibanding pemilihan sebelumnya. Pasca dideklarasikan calon presiden saja, para pendukungnya saling debat, saling menjelekkan, hingga saling hujat di berbagai media sosial. Tidak semua orang bisa secara dewasa menerima perbedaan. Bila para pendukung itu tidak menerima perbedaan secara bijaksana, maka perbedaan sikap politik tersebut bisa berpotensi konflik.

Dalam konteks Pemilu, fanatisme seperti ini biasanya meletakkan kepercayaan yang berlebihan terhadap figur, kelompok, partai dan lain sebagainya, atau kepada sebuah kesepakatan yang seolah-olah menjadi sakral yang mesti diikuti bagaimanapun situasinya. Fanatisme buta bisa tumbuh subur di iklim politik yang demokratis seperti menjelang Pemilu di Indonesia.

Fanatisme buta mengalahkan akal sehat. Peta politik saat ini masih kental dengan fanatisme figur. Sikap fanatik terhadap figur tertentu akan berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.

Disadari atau tidak, media sosial menjadi fear factory yang menebarkan ketakutan Pilpres 2024. Alih-alih mencerdaskan, media sosial dikuasai pasukan cyber yang menebarkan ketakutan ke semua orang, mengganggu kenyamanan kita. Paling parah ketika oleh oknum-oknum tertentu mencoba mengeksploitasi fanatisme agama, suku maupun ras dan antar golongan.

Fakta Pemilu 2019 ketika isu SARA begitu kuatnya menghantam jagat media kita. Terlihat jelas bagaimana justru bukan rivalitas antar calon (pasangan calon) atau antar partai politik yang menjadi isu utama. Malah, ajaran-ajaran agama itulah justru dipertentangkan yang diikuti dengan munculnya fanatisme para pengikut dan penganutnya.

Ditambah lagi dengan politik identitas yang muncul dari daerah-daerah yang berbasis adat budaya dan tradisinya masih kuat. Ketika secara bersamaan dibenturkan dengan isu agama, maka kompleksitasnya semakin lengkap untuk melahirkan dendam antar kelompok pemilih hingga pasca Pemilu.

Padahal, di elit politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Konflik biasa, konsensus dan kompromi pun cair-cair saja. Bermain di dua kaki, atau pindah kubu politik pun adalah hal biasa. Mereka ada di dimensi yang jauh berbeda dengan kaum awam dan pemilih pemula. Konflik, konsensus, dan kompromi adalah barang yang bukan asing bagi elite politik.

Bagi pemilih cerdas situasi yang tergambar di atas tidak lagi menjadi soal yang rumit, namun sangat tidak mudah bagi kaum awam dan pemilih pemula untuk menentukan sikap. Di tengah situasi destruktif seperti ini tentu sangat sulit menerima perbedaan, yang berimbas pada penolakan terhadap upaya persatuan dan kesatuan. Efek lebih jauh bagi para pemilih yang tergolong cerdas tentunya tidak akan memilih alias golongan putih.

Lalu apa yang bisa kita lakukan dari situasi politik Pemilu yang lalu? Tentunya semua kita harus sadar bahwa hajatan demokrasi hanya bersifat temporer bertujuan mulia untuk memilih pelayan masyarakat dan motor penggerak pembangunan. Lembaga kepartaian juga seharusnya secara konsisten menjalankan program jangka panjang untuk mencegah upaya dini terhadap fanatisme melalui proses kaderisasi. Selanjutnya penegakan hukum terhadap pelanggar menjadi salah satu kunci penentu, dimana setiap pelanggar harus mendapat sanksi yang berat sesuai aturan yang berlaku.

Hindari Fanatisme

Secara psikologis, demokrasi mensyaratkan adanya orang-orang yang cukup pendidikan, berpikiran terbuka, toleran, bisa menerima perbedaan, dan bisa menunjukkan empati terhadap orang lain. Maka dalam kegaduhan demokrasi tidak boleh terdapat celah terciptanya bibit konflik dan fanatisme berlebihan.

Fanatisme adalah kondisi di mana seseorang menjadi obsesi berlebihan terhadap suatu hal, seperti ajaran, agama, politik, dan lain-lain. Orang yang fanatik rentan bias kognitif. Terkadang orang fanatik tidak bisa lagi menerima kebenaran dari kelompok lain. Orang fanatik hanya percaya bahwa hanya kelompoknya yang benar.

Lazimnya hoax timbul dari pemilih yang fanatik. Sikap fanatik itu dapat menganggap apapun yang dilakukan menjadi benar. Saking fanatiknya dengan salah satu calon, maka akan mensucikan apapun yang dia lakukan. Seseorang yang memiliki sikap fanatik akan mampu mengalahkan sikap rasionalnya sehingga lahirlah politik identitas.

Ketika kita sudah terpengaruh pada politik identitas, maka kita tidak lagi memilih orang yang kompeten. Tapi lebih kepada memilih kerena keterwakilan kita ada di sana. Kita melahap apapun yang membuat kita merasa aman dan merasa menang. Perlahan-lahan, gaya masyarakat berpolitik jadi tak ada bedanya seperti suporter bola. Kita menjadi fanatik. Tim sepakbola lawan harus kalah, titik. Padahal mereka ada di dimensi yang jauh berbeda dengan elite politik. Konflik, konsensus, dan kompromi adalah barang yang masih asing untuk masyarakat.

Masyarakat ditakut-takuti di media sosial, dan takutlah masyarakat secara sungguhan. Takut menderita, takut ditindas, takut sengsara, takut ini, dan takut itu. Anehnya, yang bergelar sarjana pun ikut-ikutan takut. Otak kita mengalami gagal fungsi untuk mengolah informasi. Kalah dengan emosi.

Makanya, berhentilah menikmati ketakutan dari media sosial. Berhentilah kecanduan dengan rasa ketakutan. Mari cari informasi yang benar dari kandidat yang bertarung. Jangan mau dibodohi dan jangan mau diadu lewat media sosial. Nikmati saja dramanya dengan santai bersama segelas kopi ekspresso dan camilan.

Tugas kita yang berpendidikan ini dan yang ‘sedikit’ paham politik adalah menjadi jembatan yang baik bagi masyarakat awam dan pemilih pemula agar bisa lebih cepat memahami makhluk yang namanya politisi. Hari ini mereka masih bisa membakar-bakar emosi kita. Tapi, satu saat di masa depan sudah tidak bisa lagi kalau rakyat lebih cerdas. Stop fanatisme buta!

Penulis adalah Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Mantan Ketua PPK Kota Juang


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Fanatisme Mengalahkan Akal Sehat

Fanatisme Mengalahkan Akal Sehat

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *