Oleh Shohibul Anshor Siregar
Jika setelah lengser Joko Widodo membuka perguruan tinggi di antaranya Fakultas Kopi dan Fakultas Kelapa Sawit, rasanya patutlah ditunggu. Soal dana tidak perlu dikhawatirkan. Karena mantan Presiden di Indonesia, kecuali beberapa, patut dibayangkan memiliki uang sangat banyak…
Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan keinginan untuk pengembangan pertanian di Indonesia dengan mendorong para rektor membuka fakultas dan jurusan baru yang lebih spesifik, seperti Fakultas Kopi dan Fakultas Kelapa Sawit.
Sederhana pertimbangan Joko Widodo, yakni pentingnya memanfaatkan lahan pertanian, termasuk 13 juta hektar lahan sawit yang ada di Indonesia, untuk meningkatkan industri pertanian dan perkebunan, sebagai sebuah tuntutan masa depan yang tidak terhindari.
Kala itu penulis tidak langsung berprasangka buruk atas usul Joko Widodo. Bagaimana pun juga, ia seorang presiden. Tak mungkin presiden “asal bunyi”. Sangat berbahaya jika ia mengedepankan keberaniannya untuk berbicara tentang hal-hal yang tak difahaminya, di depan halayak; apalagi (dalam kasus Fakultas Kopi dan Fakultas Kelapa Sawit) di depan rektor perguruan tinggi, yang tentu saja adalah kompetensi dan keahlian orang-orang yang diceramahi itu. Harus dianggap sangat normal bagi suatu negara bahwa ahli sekaliber apa pun dapat diperintahkan untuk memberi masukan atas rencana seperti ini kepada presiden yang berkuasa.
Lalu penulis pun berimajinasi mencari alasan-alasan pembenar untuk usul Fakultas Kopi Joko Widodo. Bahwa mengingat peran penting negara ini dalam industri kopi dan kelapa sawit global, kedua fakultas itu akan selaras dengan prioritas ekonomi nasional dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Berbagai faktor termasuk permintaan pasar, kebutuhan pendidikan, ketersediaan sumber daya, dan potensi kemitraan, tentu akan cukup mendukung.
Peran Indonesia di pasar global juga pasti akan cukup menjanjikan. Indonesia adalah produsen dan eksportir utama kopi dan kelapa sawit, dan potensil menjadikannya lokasi yang strategis untuk pendidikan khusus pada sektor ini.
Permintaan yang meningkat untuk tenaga profesional terampil juga akan terjadi. Perluasan industri kopi dan kelapa sawit, ditambah dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan keberlanjutan dan kualitas, akan terus menciptakan permintaan untuk tenaga profesional terampil ini pada berbagai bidang seperti agronomi, pemrosesan, dan pemasaran.
Sisi lain tentulah manfaat ekonomi. Pendirian kedua fakultas ini dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan mendorong inovasi, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja.
Fakultas perlu mengembangkan kurikulum komprehensif yang menjawab kebutuhan khusus industri kopi dan kelapa sawit, termasuk topik-topik seperti praktik produksi berkelanjutan, pengendalian mutu, dan produk bernilai tambah.
Fakultas harus memprioritaskan bidang penelitian yang sejalan dengan tantangan industri, seperti adaptasi perubahan iklim, pengelolaan penyakit, dan pemanfaatan sumber daya yang efisien. Kolaborasi dengan fakultas lain, seperti pertanian, bisnis, dan teknik, dapat meningkatkan pengalaman pendidikan dan memberi mahasiswa perspektif yang lebih luas.
Merekrut para tenaga pengajar berkualifikasi dengan keahlian dalam produksi, pemrosesan, dan penelitian kopi dan kelapa sawit tentu tak harus dipusingkan. Fasilitas laboratorium, rumah kaca, dan pertanian eksperimental yang memadai diperlukan untuk pelatihan dan penelitian praktis. Kolaborasi dengan industri, lembaga pemerintah, dan lembaga penelitian dapat menyediakan sumber daya, keahlian, dan peluang bagi mahasiswa dan fakultas.
Mitra industri kedua fakultas ini tentulah perusahaan kopi dan kelapa sawit yang dapat menyediakan magang, proyek penelitian, dan kuliah tamu. Lembaga pemerintah akan support. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, dapat menawarkan dukungan dalam hal kebijakan, pendanaan, dan penelitian. Kolaborasi dengan organisasi internasional, seperti Organisasi Kopi Internasional (ICO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dapat memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan akses ke jaringan global.
Namun hingga ia lengser tanggal 20 Oktober 2024, Indonesia rasanya belum memiliki fakultas yang diminta didirikan oleh Joko Widodo itu. Padahal permintaan itu disampaikan saat membuka Konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 15 Februari 2018.
Kritik apakah yang harus diberikan secara objektif kepada Joko Widodo selain yang mencerminkan kekhawatiran tentang keawamannya dalam memahami kompleksitas pendidikan tinggi dan kebutuhan yang lebih luas dalam sistem pendidikan Indonesia?
Meskipun ada dukungan dari beberapa pihak, banyak yang berpendapat bahwa pendekatan yang lebih terintegrasi dan fokus pada isu-isu pendidikan yang lebih mendesak seperti peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan, aksesibilitas pendidikan tinggi, dan pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, akan lebih bermanfaat bagi perkembangan pendidikan dan industri di Indonesia. Joko Widodo terkesan tak faham tentang kebutuhan pendidikan yang lebih luas dan kompleks di Indonesia.
Alih-alih mendirikan Fakultas Kopi dan Fakultas Kelapa Sawit, lebih baik jika pendidikan tentang kopi diintegrasikan ke dalam program studi yang sudah ada, seperti pertanian, ekonomi, atau teknologi pangan. Ini pasti lebih efektif dalam memberikan pemahaman yang komprehensif tentang industri kopi dan tantangan yang dihadapinya. Ini belum memperhitungkan faktor minat masyarakat untuk masuk.
Penulis tidak beroleh informasi tentang respon dari komunitas kopi, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi, dengan tak harus menimbangnya dari sudut nalar akademik ilmiah, mereka tentu patut diduga menyambut baik usulan Joko Widodo sebagai langkah positif untuk meningkatkan perhatian terhadap sektor kopi.
Mungkin di mata mereka Joko Widodo telah tak sportif dengan tak mendirikan Fakultas Kopi itu, yang bisa saja amat mereka harapkan, sama halnya para petinggi pemerintahan yang akhirnya tak kebagian mobil ESEMKA yang diperjuangkan Joko Widodo penuh kesungguhan dari Solo dan kemudian seolah telah melupakannya, meski mereka sudah melakukan pemesanan.
Memang, tahun 2022 yang lalu, konon, di Mandailing Natal, SMA 1 Ulu Pungkut telah mendirikan jurusan kopi yang diklaim sebagai yang pertama dan hingga saat ini sebagai satu-satunya di Sumatera Utara. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, ternyata sebelumnya (2018) telah menetapkan SMK Pertanian Pembangunan Negeri (PPN) Tanjungsari di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, sebagai pilot project untuk pengembangan kurikulum jurusan kopi.
Pilot project ini bertujuan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI), dengan fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan vokasi . Kurikulum yang diterapkan bersifat modular dan lebih menekankan pada praktik, dengan rasio 30:70 antara teori dan praktik. Sekolah memiliki fleksibilitas dalam menyusun kurikulum bersama DUDI.
Siswa jurusan kopi akan menyelesaikan pendidikan selama tiga tahun dan mendapatkan enam sertifikasi kompetensi di bidang perkopian. Kompetensi yang diajarkan meliputi Pembibitan dan budidaya kopi (tahun pertama), Pasca panen dan pengolahan biji kopi, roasting (tahun kedua), Barista dan kewirausahaan, termasuk penyajian minuman kopi dan perencanaan usaha (tahun ketiga).
Darmin Nasution berharap agar pilot project ini dapat ditindaklanjuti oleh kementerian dan lembaga terkait, serta direplikasi di SMK lain di seluruh Indonesia. Menurutnya, program ini sejalan dengan roadmap kebijakan pengembangan vokasi di Indonesia untuk periode 2017-2025 dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain dalam meningkatkan kualitas pendidikan vokasi di bidang pertanian dan perkebunan, khususnya kopi.
Meskipun fakultas khusus yang berfokus hanya pada kopi dan kelapa sawit mungkin kurang umum. Banyak perguruan tinggi menawarkan program dan inisiatif penelitian yang terkait dengan komoditas ini, terutama di wilayah yang dikenal sebagai penghasilnya. Misalnya Universitas Kosta Rika yang terkenal dengan program penelitian dan penyuluhan kopi. Universitas Cundinamarca (Kolombia) konon menawarkan gelar Magister dalam Produksi dan Pemasaran Kopi. Universitas Hohenheim (Jerman) melakukan penelitian tentang agronomi, kualitas, dan keberlanjutan kopi. Universitas Hawaii di Manoa memiliki Departemen Pertanian Tropis dan Nutrisi Manusia dengan fokus pada kopi.
Universitas Putra Malaysia dikenal sebagai salah satu Lembaga terkemuka dalam penelitian dan pendidikan kelapa sawit. IPB juga terkenal dengan Pusat Studi Kelapa Sawit. Universitas Hindia Barat (Trinidad dan Tobago), menawarkan program yang terkait dengan pertanian tropis, termasuk kelapa sawit. Universitas Monash (Malaysia), giat melakukan penelitian tentang produksi minyak sawit berkelanjutan dan dampaknya.
Umumnya kritik terhadap usulan Joko Widodo untuk mendirikan Fakultas Kopi dan Fakultas Kelapa Sawit mencerminkan kekhawatiran tentang keawaman dalam memahami kompleksitas pendidikan tinggi dan kebutuhan yang lebih luas dalam sistem pendidikan Indonesia. Meskipun ada dukungan dari beberapa pihak, banyak yang berpendapat bahwa pendekatan yang lebih terintegrasi dan fokus pada isu-isu pendidikan yang lebih mendesak akan lebih bermanfaat bagi perkembangan pendidikan dan industri di Indonesia.
Jika setelah lengser Joko Widodo membuka perguruan tinggi yang di antara fakultasnya ialah Fakultas Kopi dan Fakultas Kelapa Sawit, rasanya patutlah ditunggu. Soal dana tidak perlu dikhawatirkan. Karena seorang mantan Presiden di Indonesia, kecuali beberapa, patut dibayangkan memiliki uang yang sangat banyak. Peluang untuk beroleh dukungan dana dari berbagai pihakpun tentu sangat mudah dibayangkan.
Jika Fakultas Kopi dan Fakultas Kelapa Sawit didukung oleh pendirian SMA Kopi dan SMK Kelapa Sawit di tiap Kabupaten dan Kota se-Indonesia, semuanya bernaung di bawah (katakanlah) Yayasan Joko Widodo, tentu saja sangat membantu kelancaran cawe-cawe promosi Gibran Rakabuming Raka yang kini telah dilantik menjadi Wakil Presiden, untuk pencalonan Presiden pada pemilu 2029.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).