Oleh Shohibul Anshor Siregar
Resistensi dari sistem ekonomi sekuler yang mendominasi dunia sering kali tidak ramah terhadap prinsip dan instrumen ekonomi Islam, karena berfokus pada perolehan keuntungan individu daripada kesejahteraan sosial
Ekonomi Islam menekankan kesejahteraan sosial atas keuntungan individu melalui prinsip-prinsip seperti zakat, wakaf, dan pembiayaan atau transaksi bebas riba. Berhadapan dengan cengkeraman kuat ekonomi konvensional yang mengglobal, ekonomi Islam yang kini tetap dianggap amat eksklusif tidak mudah untuk diterapkan.
Banyak orang tetap berpandangan bahwa ekonomi Islam tak lebih semacam cabang ekonomi belaka yang hanya karena didasarkan pada prinsip-prinsip khas Islam. Obsesi untuk memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial, sebagai tawaran alternatif di tengah hegemoni ekonomi konvensional itu, menuntut bukti empiris terverifikasi di tengah persaingan ideologis.
Penekanan kuat pada pertimbangan etis dan moral, usaha menciptakan sistem ekonomi yang selaras dengan ajaran Islam, dapat menjadi sesuatu yang dipandang anachronis belaka.
Sesuai konsep maqasid al- syariah (tujuan hukum Islam) keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat dibangun dengan prinsip-prinsip dasar yang setidaknya mencakup tawhid, adl, ihsan, hifz al-amal, dan hifz al-nafs.
Tawhid meniscayakan semua sumber daya milik Allah dan manusia hanya diberikan hak pengelolaan dan secara niscaya dituntut menggunakannya dengan cara bertanggung jawab dan etis.
Adl (keadilan) dalam ekonomi Islam mewdahi semua transaksi ekonomi, baik dalam distribusi kekayaan dan sumber daya, serta dalam perdagangan dan transaksi bisnis lainnya.
Ihsan (kebaikan) adalah prinsip pentingnya berbuat baik kepada orang lain, termasuk memberikan kepada mereka yang kurang mampu dan memastikan bahwa tidak ada yang menderita kemiskinan atau ketidakadilan.
Hifz al-maal (perlindungan kekayaan) dalam ekonomi Islam menekankan pentingnya melindungi kekayaan dan sumber daya dari penyalahgunaan, pemborosan, dan kerusakan, baik oleh pemilik maupun otoritas yang memiliki legitimasi.
Hifz al-nafs (perlindungan jiwa) adalah prinsip penting melindungi kehidupan dan kesejahteraan individu dari kerusakan atau penyalahgunaan yang, sebagaimana pada prinsip hifz al-maal, kehadiran otoritas yang memiliki legitimasi tak dapat diabaikan di samping upaya jihadiyah dari setiap orang dan keluarga.
Berdasarkan prinsip-prinsip itu, ekonomi Islam berusaha menciptakan kerangka kerja sistem ekonomi yang adil, etis, dan berkelanjutan untuk pengarusutamaan promosi kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi.
Zakat adalah salah satu pilar utama dalam ekonomi Islam (QS 9:60) yang secara umum dapat diterjemahkan sebagai pajak kekayaan yang diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki kekayaan di atas nisab (batas minimum yang ditentukan). Zakat digunakan untuk membantu mereka yang kurang mampu, termasuk fakir miskin, orang-orang yang berhutang, para pejuang di jalan Allah, dan para mu’allaf.
Tetapi zakat itu memiliki dua tujuan utama yang membuatnya tak dapat disamakan begitu saja dengan pajak. Pertama, untuk membersihkan harta individu dari segala bentuk ketidakadilan atau ketidakseimbangan.
Kedua, untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih adil dalam masyarakat. Zakat berfungsi sebagai alat redistribusi kekayaan yang efektif dan sebagai jaring pengaman sosial bagi yang kurang mampu.
Zakat menduduki posisi penting yang selain secara prinsip adalah salah satu dari Lima Rukun Islam yang meniscayakan kewajiban imperatif setiap muslim untuk menyerahkan sebagian dari kekayaannya kepada yang membutuhkan. Secara kelembagaan memerlukan pengaturan yang moderen agar efektif menanggulangi kemiskinan dan ketidaksetaraan. Dalam berbagai variasi praktik zakat dapat dikumpulkan oleh negara atau organisasi yang dibentuk atas izin negara.
Beberapa tantangan dalam pengelolaan zakat di antaranya masalah transparansi dan akuntabilitas serta masalah efisiensi. Dalam beberapa kasus, proses pengumpulan dan distribusinya bisa sangat lambat dan tidak efisien (Kahf, 1999; Sadeq, 2002; Hasan, 2004; Kuran, 2006; Benthall & Bellion-Jourdan, 2009; Soemitra, 2009; Cizakca, 2010; Iqbal & Mirakhor, 2011; Khan, 2013; dan Pramanik, 2014).
Strategi penggunaan teknologi dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Misalnya, penggunaan sistem manajemen informasi zakat dapat membantu melacak dana zakat dan memastikan pendistribusiannya. Pelatihan dan pendidikan dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para pengelola zakat.
Peran wakaf dalam ekonomi Islam begitu penting. Wakaf adalah sumbangan harta benda atau properti oleh individu atau kelompok untuk tujuan amal dan keagamaan. Wakaf dapat berupa tanah, bangunan, atau aset lainnya yang dapat menghasilkan pendapatan untuk tujuan amal.
Namun, seperti halnya zakat, beberapa tantangan dalam pengelolaan wakaf ialah terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas serta efisiensi. Dalam beberapa kasus, proses pembentukan dan pengelolaan wakaf bisa sangat lambat dan tidak efisien (Abodunrin & Adeyemi, 2014; Akhtaruddin etal, 2009; Arifin, 2016; Aziz & Rahman, 2015; Basri, etal, 2016; Sadeq, 2002; Toraman, etal, 2007; Yaacob & Ibrahim, 2016; Yayla & Dülgeroğlu, 2013; dan Yusuf & Shahimi, 2011).
Strategi penggunaan teknologi yang membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan wakaf diperlukan. Juga pelatihan dan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para pengelola.
Wakaf memiliki peran penting dalam ekonomi Islam dan dapat diandalkan dalam upaya menyediakan sumber pendanaan yang berkelanjutan untuk proyek-proyek sosial, pembangunan dan membantu mengurangi ketidaksetaraan ekonomi dengan mendistribusikan kekayaan dan sumber daya kepada yang membutuhkannya.
Dalam konteks kesejahteraan sosial, wakaf dapat digunakan untuk mendukung berbagai inisiatif seperti pendidikan, kesehatan, perumahan bagi orang miskin, dan pembangunan infrastruktur komunitas (Kamali, 2015). Wakaf berkontribusi langsung terhadap pencapaian tujuan-tujuan Maqasid al-Shariah.
Pembiayaan dan transaksi bebas riba tidak hanya memastikan transaksi ekonomi dilakukan dengan cara yang adil dan etis, tetapi juga membantu mempromosikan inklusi finansial dengan memberikan akses ke layanan bagi mereka yang biasanya tidak dapat mengakses sistem perbankan konvensional karena bunga tinggi atau syarat-syarat pinjaman yang tidak adil (Khan & Mirakhor, 1992).
Riba adalah bunga atau tambahan yang dikenakan atas pinjaman atau hutang. Dalam ekonomi Islam, riba dianggap tidak adil dan dilarang karena akan menyebabkan eksploitasi pihak lemah secara ekonomi oleh pihak lebih kuat.
Sebagai alternatif, ekonomi Islam menawarkan konsep pembiayaan bebas riba seperti mudharabah (kerjasama investasi), musharakah (pembiayaan patungan), murabahah (penjualan dengan margin laba), dan ijarah (sewa atau leasing). Konsep-konsep ini didasarkan pada prinsip risiko bersama, keuntungan bersama, dan transparansi dalam transaksi.
Secara keseluruhan, prinsip-prinsip ekonomi Islam memberikan kerangka kerja untuk sistem ekonomi yang adil, etis, dan berkelanjutan yang mempromosikan kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi. Melalui konsep-konsep zakat, wakaf, dan pembiayaan serta transaksi bebas riba, ekonomi Islam menawarkan solusi untuk banyak tantangan ekonomi global saat ini, termasuk ketidaksetaraan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakstabilan finansial.
Sebagai contoh, inisiatif pembiayaan sosial Islam yang adalah kehendak bersama antara PBB dan Bank Pembangunan Islam untuk memobilisasi instrumen pembiayaan sosial Islam, seperti zakat, sedekah, dan wakaf, untuk mendukung respons global terhadap pandemi COVID-19 dan upaya pemulihan. Inisiatif ini juga berupaya memanfaatkan pembiayaan sosial Islam untuk memajukan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan mempromosikan masyarakat yang inklusif dan tangguh [https://news.un.org/en/story/2021/05/1091762].
Terkait dengan itu, fungsi kesejahteraan sosial Islam sebagai konsep teoretis yang mengeksplorasi alternatif pengembangan fungsi kesejahteraan sosial berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi moral Islam, seperti keadilan, pemerataan, solidaritas, dan martabat manusia melampaui pendekatan hukum tradisional dan mengintegrasikan moralitas substantif ontologi Islam untuk mencapai proses ihsani sebagai tujuan akhir individu [https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/IMEFM-03-2019-0130/full/html].
Ekonomi Islam, sebagai suatu sistem ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai agama, menekankan kesejahteraan sosial di atas perolehan keuntungan individu. Prinsip-prinsip utama ekonomi Islam meliputi tawhid, adl, Ihsan, hifz al-maal dan Hifz al-nafs. Prinsip-prinsip ini diterapkan melalui instrumen-instrumen seperti zakat, wakaf, sadaqah, infaq dan pembiayaan serta transaksi bebas riba.
Dalam konteks global, penerapan prinsip-prinsip dan instrumen-instrumen ekonomi Islam ini dapat memberikan solusi alternatif untuk tantangan-tantangan sosial seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Namun, penerapannya masih menghadapi tantangan dalam konteks global. Salah satu tantangan utama adalah resistensi dari sistem ekonomi sekuler yang mendominasi dunia saat ini. Sistem ini sering kali tidak ramah terhadap prinsip-prinsip dan instrumen-instrumen ekonomi Islam, karena berfokus pada perolehan keuntungan individu daripada kesejahteraan sosial.
Selain itu, banyak negara di dunia saat ini masih belum memiliki infrastruktur hukum dan regulasi yang memadai untuk mendukung penerapan prinsip-prinsip dan instrumen-instrumen ekonomi Islam.
Meski demikian, banyak contoh sukses penerapan prinsip-prinsip dan instrumen-instrumen ekonomi Islam dalam meningkatkan kesejahteraan sosial di berbagai belahan dunia.
Apa pun itu, prinsip-prinsip dan instrumen-instrumen ekonomi Islam diyakini memiliki potensi besar untuk mendorong kesejahteraan sosial secara global.
Topik ini adalah salah satu pembahasan Seminar Islamic History and Heritage: Remembering the Past Remaking the Future dalam rangka 4th International Conference on Islamic Civilization (ICONIC) dan 9th International Conference On Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), 23-24 Agustus 2023 di Universitas Islam Arraniry, Banda Aceh.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisistif & Swadaya (‘nBASIS).