Oleh Feri Irawan, SSi, MPd
Pilkada serentak tahun 2024 harus menjadi momentum yang baik bagi partai politik untuk menghadirkan suasana demokrasi yang baik. Harapannya agar lahir pemimpin-pemimpin dari hasil seleksi dan kompetisi yang sehat
Tampaknya, kita akan melihat lebih banyak kotak kosong pada Pilkada 2024 ini. Fenomena kotak kosong dan calon tunggal pada pelaksanaan Pilkada telah terjadi pada Pilkada 2015, 2017 dan 2020.
Dalam buku New Despotism (2020), John Keane menyebut pada abad ke-21 muncul modus kekuasaan yang memanipulasi sistem politik dan institusi, termasuk memanipulasi regulasi dan norma-norma politik, demi mempertahankan dan memperluas kekuasaan tanpa melanggar norma-norma demokrasi secara terbuka.
Memunculkan kotak kosong dalam Pilkada adalah bagian dari manipulasi tanpa melanggar norma-norma demokratis. Mengutip Rangga Julian Hadi di Kopi TIMES (20/7/2024), Katz dan Mair mempunyai pandangan bahwa semua partai besar mempunyai kepentingan yang sama yaitu memelihara kelangsungan hidup mereka dan muncullah istilah panggilan partai kartel. Artinya dalam pelaksanaan Pilkada partai politik tidak mengedepankan kesamaan dalam ideologi akan tetapi berpacu pada kepentingan politik ekonomi.
Kotak kosong menjadi alat menjaga status quo kekuasaan dengan cara memastikan tidak ada pasangan kandidat kepala daerah-wakil kepala daerah pesaing yang serius. Kemunculan kotak kosong di Pilkada jelas menurunkan kualitas demokrasi, menurunkan tingkat partisipasi pemilih, dan memperkuat oligarki politik.
Regulasi Pilkada harus direvisi untuk memberi kesempatan lebih luas dan inklusif bagi siapa saja berpartisipasi memilih dan dipilih sehingga strategi memunculkan kotak kosong menjadi sulit.
Atmosfer Pilkada 2024 di Aceh juga turut menghangat setelah muncul isu akan melawan kotak kosong. Teranyar, adanya isu setting politik agar terciptanya Calon Tunggal melawan Kotak Kosong pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2024.
Hal ini tentu harus dihindari, karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang ideal. Demokrasi multipartai dengan jumlah pemilih yang besar seharusnya mampu menjadi ruang untuk melahirkan pemimpin-pemimpin alternatif. Disisi lain, dimensi ideologi partai nyatanya juga tidak mampu menjamin partai politik tersebut akan menyatu atau malah menjadi rival.
Seharusnya corak ideologi partai juga mampu melahirkan kompetisi yang kuat. Contoh misal antara sesama partai yang berideologi Nasionalis seperti PDIP dan Gerindra. Nasdem dan Golkar yang cenderung sama-sama progresif justru malah menjadi rival.
Anomali politik yang demikian menyisakan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Pilkada tanpa adanya kompetisi antar kandidat hanya menyodorkan etalase politik kosong minim gagasan alternatif. Tidak ada ide yang dapat diuji, tidak ada gagasan yang bisa di adu. Masyarakat tidak punya pilihan lain selain menyaksikan drama monolog rekayasa elit-elit politik.
Pilkada serentak tahun 2024 harus menjadi momentum yang baik bagi partai politik untuk menghadirkan suasana demokrasi yang baik. Harapannya agar lahir pemimpin-pemimpin dari hasil seleksi dan kompetisi yang sehat
Terakhir, menjadi tugas kita bersama untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang baik, santun, dan sesuai etika. Perubahan itu ada di tangan kita. Mari, kita kembalikan demokrasi elektoral kita menjadi prosedur politik yang benar untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin yang demokratis. Pertanyaannya, apakah kita ingin menjadi agen perubahan tersebut?
Penulis adalah Kepala SMKN 1 Jeunieb dan mantan Staf KPU Kota Lhokseumawe.