Oleh Putri Rumondang Siagian, SH., M.H
“Koyaknya” rasa keadilan terhadap putusan kasasi Sambo cs bagi sebagian kalangan tidak dapat ditindaklanjuti dengan cara yang benar menurut hukum. Paling tidak, anak-cucu kita nantinya akan melihat dalam goresan sejarah
Babak baru kasus Sambo cs kembali menyita perhatian publik, bagaimana tidak kasus pembunuhan ajudan yang menyeret sang mantan perwira tinggi di kepolisan itu kini telah sampai pada “bab akhir”. Vonis pidana mati yang semula diberikan kepadanya oleh majelis hakim pengadilan negeri yang selanjutnya dikuatkan oleh pengadilan tinggi ini ternyata ‘harus pupus’ di tahap kasasi. Tidak hanya Sambo, beberapa rekan yang turut terlibat seperti istri, supir dan anak buahnya juga ikut merasakan “hujan diskon” vonis pidana.
Diskon vonis pidana Sambo cs dalam amar putusan kasasi di mahkamah agung berbeda-beda tergantung perannya dalam usaha menghilangkan nyawa. Seperti sang istri yang mendapat potongan hukuman dari yang semula dijatuhi hukuman 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara. Kemudian asisten rumah tangga yang kemarin dijatuhi pidana 15 tahun penjara berubah menjadi 10 tahun penjara dan orang yang ikut mengawasi gerak-gerik korban yang sebelumnya divonis 13 tahun penjara berkurang menjadi 8 tahun penjara. Ketiganya ikut bersama-sama ‘merasakan’ nikmatnya pengurangan hukuman di meja kasasi.
“Diskon” atau pengurangan hukuman di tahap kasasi memang bukanlah hal yang baru. Pemotongan hukuman dianggap wajar bilamana majelis hakim tahap kasasi menilai terjadi kekeliruan dalam penerapan hukum di pengadilan pertama dan tingkat banding. Akan tetapi, “perbaikan” putusan yang dilakukan majelis hakim tingkat kasasi harusnya secara tegas menerima kasasi sambo cs kemudian memperbaiki dan menyempurnakan penjatuhan pidananya. Sungguh anomali jikalau dalam putusan kasasi mahkamah agung justru menolak permohonan kasasi yang diajukan terdakwa namun malah melakukan perbaikan atas kualifikasi tindak pidana.
Turunnya tingkatan vonis dari hukuman mati menjadi seumur hidup memanglah hal yang dilarang, bahkan jika mengacu pada Pasal 69 UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), putusan pidana seumur hidup tersebut dapat berubah setelah yang terdakwa menjalani masa hukumannya minimal 15 tahun, meskipun dengan syarat dan ketentuan tergantung pada keputusan presiden dan pertimbangan mahkamah agung dan tentunya dengan peraturan pelaksana dari KUHP. Jadi bukan tidak mungkin masa waktu penahanan Sambo akan berkurang sekalipun tanpa mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa yang terakhir.
Perihal putusan kasasi Sambo cs ini ternyata tidak diambil secara bulat oleh majelis hakim di meja kasasi. Adapun terdapat dua orang hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), namun hal ini merupakan hal yang lumrah sebagai penanda kompleksitas sistem peradilan pidana kita, terkait interpretasi hakim dalam memandang fakta hukum. Sehingga guna mencapai mufakatnya pengambilan putusan, digunakan jalan ‘suara terbanyak’ dengan tidak menghiraukan perbedaan pendapat pengambilan putusan. Artinya hakim yang memiliki pandangan yang berbeda harus dituangkan di dalam bagian pertimbangan putusan terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Putusan kasasi terhadap Sambo cs adalah putusan yang final atau memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Tidak ada kemungkinan bagi jaksa untuk mengajukan upaya hukum lainnya yakni peninjauan kembali. Meskipun begitu, ternyata dalam Pasal 30C huruf h UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia diberikan kewenangan bagi jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali.
Upaya peninjauan kembali yang berikan kepada jaksa ini sebagai sebuah pengingkaran terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 serta Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP secara tegas menyebutkan syarat pengajuan peninjauan kembali ialah terkait kewenangan yang diberikan terpidana atau ahli warisnya dan pembatasan putusan yang tidak boleh diajukan peninjauan kembali seperti putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
Inkonstitusionalitas bagi jaksa mengajukan peninjauan kembali ini dipertegas dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XXI/2023. Karena itu, berkenaan dengan norma Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 pastinya tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah dimaknai secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah.
Artinya, adanya penambahan kewenangan jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil.
Celah kemungkinan bagi jaksa mengajukan peninjauan kembali untuk Sambo cs tampaknya sudah sangat tertutup rapat.
“Koyaknya” rasa keadilan terhadap putusan kasasi Sambo cs bagi sebagian kalangan tidak dapat ditindaklanjuti dengan cara yang benar menurut hukum. Paling tidak, anak-cucu kita nantinya akan melihat dalam goresan sejarah bagaimana “hukum perlahan melunak” tehadap sekelompok orang yang bersama-sama melakukan tindak pidana yang keji dimana salah seorang pelaku tersebut adalah seorang perwira tinggi yang berada di tugas strategis yakni di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), lembaga yang sejatinya membangun keteladanan moral pada sebuah institusi yang ditugaskan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dari tindakan keji dan mungkar.
Ibarat “gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Persoalan Sambo cs memang memberikan ‘pengaruh’ yang kuat di masyarakat. Lewat survey Indikator Politik Indonesia (IPI) tahun 2022 pada saat kasus Sambo, tingkat kepercayaan publik hanya 54% kepada institusi Polri. Tetapi kepercayaan publik tersebut perlahan meningkat seiring berjalannya waktu. Memang pastilah tidak adil bilamana menjustifikasi buruk terhadap orang-orang secara keseluruhan di dalam satu insitusi itu, akibat tindakan memalukan dari salah seorang oknum. Keseriusan Polri dalam mengungkap kasus ini harus diacungi jempol. Upaya penetapan tersangka terhadap sang perwira tak mungkin dianggap remeh temeh. Inilah bukti kesungguhan Polri yang tidak tebang-pilih mengungkapkan kasus yang sesungguhnya.
Untuk itu, sekalipun penjatuhan hukuman mati dianulir pada tahap kasasi, semoga keberadaan “yurisprudensi” ini tidak menjadi celah bagi orang lain untuk melakukan tindakan serupa atau malah lebih sadis. Kita berhadap pengurangan hukuman menjadi bentuk ‘adil’ yang diberikan para wakil Tuhan di bumi, yang tidak terpengaruh dari amarah spontanitas belaka. Cukup sulit mendefenisikan keadilan bila melihat sepintas putusan kasasi ini. Namun, kita percaya benteng terakhir pengadilan sebagai tempat para pencari keadilan yakni Mahkamah Agung sudah sesuai porsinya memberikan keadilan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Tahniah, mungkin ini adalah jalan akhir Sambo cs yang adil.
Penulis adalah Dosen Fak. Hukum USU.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.