Di Bawah Naungan Korupsi

  • Bagikan
Dr. H. Yanhar Jamaluddin. MAP
Dr. H. Yanhar Jamaluddin. MAP

Oleh Dr. Yanhar Jamaluddin M.AP [1], Drs. Syafrial Pasha [2]

“Setiap aparatur negara yang memiliki harga diri yang rendah,
cenderung memiliki perilaku menyimpang”

SEKARANG ini, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih memerlukan kebulatan tekad yang amat panjang. Soalnya, penyakit birokrasi yang satu ini sudah sedemikian jauh merengsek masuk dan menggerogoti birokrasi.

Bahkan korupsi terkesan telah mendarah daging dalam kehidupan bernegara, seperti merusak perekonomian, distribusi sumber daya, dan implementasi administrasi publik. Meskipun demikian, Pemerintah bergantung sepenuhnya pada birokrasi untuk mengimplementasikan kebijakan dan penyediaan layanan publik karena birokrasi sangat penting bagi berfungsinya administrasi publik dan sistem politik dengan baik.

Dalam opini ini, fenomena yang terjadi mirip dengan banyak kasus yang terjadi belakangan ini, dimana praktik korupsi, baik yang terjadi antara warga negara dengan pejabat atau antar pejabat, mempengaruhi proses administrasi publik.

Maraknya korupsi disebabkan oleh sejumlah masalah. Terjadi peningkatan aktivitas korupsi baik yang nyata maupun yang dirasakan di berbagai lembaga birokrasi.

Di beberapa kasus yang terjadi di sejumlah lembaga birokrasi, perubahan sistemik telah melemahkan atau menghancurkan lembaga sosial, politik, dan hukum, sehingga membuka jalan bagi penyalahgunaan baru.

Di fenomena lain, sistem politik dan ekonomi hanya mengungkap korupsi yang sebelumnya tersembunyi. Namun, hampir terjadi di mana-mana, kita melihat adanya penurunan yang nyata dalam kemauan aparat penegak hukum untuk menjalankan fungsinya dan bahkan mentoleransi praktik korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin politik, pemimpin birokrasi dan elit ekonomi.

Fenomena ini disebabkan dari proses pengambilan kebijakan yang curang (corrupted policy) di tingkat pusat sebelum bergulir ke tingkat daerah. Pada akhirnya, proses layanan publik yang dilakukan birokrasi lapangan (street level bureaucracy) mengalami distorsi dan berpeluang untuk diselewengkan.

Korupsi sebagian besar telah ditafsirkan sebagai aspek kehidupan sosial yang tidak diinginkan dan merusak tatanan bernegara. Bahkan korupsi telah diakui secara luas sebagai hambatan utama terhadap pembangunan dan keberlanjutan.

Ada gagasan yang mengakar kuat tentang ‘perilaku menyimpamg’ sebagai ‘kebusukan’ atau ‘kekotoran’ (Hindess 2012). Akibatnya, korupsi yang merupakan perilaku menyimpang ini dianggap sebagai musuh masyarakat Indonesia.

Banyak lembaga sosial, keagamaan, serta media, secara gamblang mengutuk perilaku menyimpang ini sebagai sesuatu yang jahat dan menyelaraskan kebijakan mereka dengan kecenderungan memperkaya diri sendiri ataupun kelompok.

Dalam upaya memberantasnya, kebijakan antikorupsi sering kali mencakup berbagai langkah serta prinsip tata kelola yang baik, kode etik, dan sejenisnya, yang semuanya dibuat dengan tujuan menghapuskan penyimpangan ini.

Namun kenyataannya, perilaku menyimpang ini telah menggurita dan bahkan memasuki kehidupan bermasyarakat dan budaya.

Di beberapa lembaga birokrasi, pengoperasian lembaga hukum, politik, dan regulasi diselewengkan oleh sekelompok orang berkuasa secara sistemik.

Penyelewengan ini mengambil bentuk korupsi, intimidasi, dan bentuk pengaruh lainnya. “Penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi” adalah definisi umum korupsi (Nye, 1967), yang digunakan baik dalam literatur praktisi maupun akademis.

Everett dkk. (2007) menekankan, korupsi dapat menyebabkan hilangnya pendapatan pemerintah dan biaya bisnis tambahan atau hilangnya peluang.

Korupsi juga dapat menimbulkan dampak yang kurang kentara, tetapi sama-sama melemahkan seperti erosi kewenangan hukum dan salah alokasi investasi publik, yang menghasilkan ketidakpercayaan, distorsi informasi, sumber daya, serta arus produksi.

Perilaku dalam melahirkan kebijakan pro-rakyat hanya sebatas wacana yang berisikan konsep-konsep yang tidak jelas dan tidak terarah. Di hampir seluruh lembaga birokrasi, para aparatur negara dan juga politisi busuk saling melindungi dalam melahirkan kebijakan yang menguntungkan sekelompok orang.

Mereka sangat rapi dan terstruktur dalam menanamkan perilaku menyimpang ini selama bertahun-tahun. Sangat sulit memang untuk membuktikan persekongkolan busuk (rotten conspiracy), oleh karena segala ruang dan kesempatan selalu tertutup dengan alasan yang sangat klasik, yakni rahasia negara.

Mereka bebas lepas dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang tidak pernah dipahami seutuhnya oleh masyarakat. Bukti-bukti yang mencuat dalam rekaman data digital menunjukkan bahwa korupsi telah mempengaruhi pembangunan ekonomi dan juga meningkatkan kesenjangan pendapatan yang berdampak secara tidak proporsional terhadap masyarakat miskin.

Di bawah naungan korupsi merupakan situasi dan tantangan besar bagi bangsa Indonesia, karena dalam praktiknya sering melibatkan orang-orang yang berkuasa (Oligarki) pada institusi atau pada pengelolaan keuangan publik.

Dalam pengungkapannya juga sering sulit dibuktikan karena dilakukan dengan rapi dan adanya kerjasama beberapa orang, serta adanya intervensi dan perlindungan dari orang-orang yang berkuasa.

Beberapa studi ilmiah juga mengungkapkan bahwa prilaku korupsi juga didukung oleh pengaruh budaya. Mereka yang tidak memiliki harga diri yang tinggi (high self esteem) dan idealisme kebangsaan selalu saja menduduki jabatan strategis di tubuh birokrasi dikarenakan kedekatan dengan pusat kekuasaan.

Sumber daya alam dan sumber daya hidup habis mereka kuasai sehingga tidak meninggalkan harapan dan kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerus.

Materialisme, Harga Diri dan Norma Sosial

Titik awal dalam menentukan praktik korupsi adalah dengan tindakan itu sendiri, bentuk perilaku spesifik yang dianggap salah dan menyimpang.

Mereka yang berperilaku seperti itu harus tahu bahwa penyimpangan yang mereka lakukan salah secara moral, jelas tidak sesuai dan tidak dapat diterima.

Mereka mencuri dengan sengaja, bersumpah palsu, menyuap dan menerima suap atau meneruskan suap serta menyamarkan suap.

Mereka yang berkuasa selalu mengintervensi dimana mereka tidak seharusnya melakukan kebusukan seperti itu. Tindakan mereka disengaja, bukan tidak disengaja atau insidental.

Mereka mencolok dan lebih buruk lagi dilakukan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Singkatnya, mereka memang tahu kesalahan yang dilakukan namun tetap melakukannya. Tetapi apapun yang dianggap benar atau salah bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu.

Apa yang dulunya dianggap wajar, dapat diterima dan bahkan perlu, seperti kriminalisasi lawan politik atau pembunuhan karakter, kemudian dianggap salah, sama seperti apa yang dianggap salah, tidak masuk akal dan tidak wajar dimasa lalu menjadi lebih dapat diterima dan ditoleransi pada saat ini.

Apapun yang dianggap benar atau salah dalam satu budaya atau ideologi tidak berlaku di budaya atau ideologi lain.

Untungnya, dalam kasus korupsi, selama berabad-abad telah ada kesepakatan universal yang luar biasa mengenai tindakan-tindakan spesifik mana yang termasuk dalam rubriknya. Perbedaan-perbedaan yang ada hanya bersifat marjinal, bukan sentral.

Individu dengan harga diri yang tinggi (high self esteem) tidak memerlukan banyak harta benda untuk tujuan mendapatkan status, citra, kekaguman tertentu guna memperoleh keamanan ekonomi yang bersifat sementara.

Sebaliknya, individu dengan harga diri rendah (low self i) cenderung menggunakan lebih banyak uang untuk mengimbangi harga diri yang mereka miliki dan membutuhkan gengsi serta banyak harta untuk mengidentifikasi diri mereka.

Kebutuhan ini kemudian menghasilkan dorongan batin yang kuat untuk memperoleh banyak harta benda yang mengesankan. Pola ini menyiratkan bahwa harga diri yang tinggi dapat mengurangi materialisme.

Kami berpendapat bahwa ancaman sanksi sosial atas pelanggaran norma sosial yang menciptakan berbagai tekanan yang memperkuat dan mengunci perilaku tertentu yang mempertahankan praktik korupsi.

Kesimpulan

Sejumlah besar bukti rekaman digital menunjukkan adanya naungan korupsi yang besar dan signifikan secara statistik antara perilaku menyimpang aparatur negara dan tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga publik.

Meskipun demikian, dalam beberapa kasus korupsi yang belum dan sudah terungkap, perilaku menyimpang ini menyebabkan biaya yang berdampak tidak proporsional pada masyarakat yang rentan dan miskin.

Hal ini terjadi melalui peningkatan ketimpangan pendapatan, pengurangan pengeluaran sosial, dan salah alokasi bantuan yang ditujukan kepada masyarakat miskin.

Hal ini semakin diperparah oleh perilaku menyimpang para sebagian aparatur negara yang berdampak negatif pada kepercayaan sosial serta kepercayaan pada lembaga/sistem politik.

Arikel ini menyimpulkan bahwa naungan korupsi menjadi ambisi materi setiap aparatur negara, harga diri yang rendah, citra negatif yang diterima masyarakat, dan rasa kebal hukum (impunity).

Kondisi ini merupakan aspek psikologis utama yang mendorong para aparatur negara melakukan korupsi di lembaga birokrasi. Hal ini menyiratkan bahwa aspek psikologis dari perilaku menyimpang dalam administrasi publik sebagian besar terkait dengan kepribadian dan visi masyarakat tentang apa itu korupsi daripada standar penegakan hukum.

Sebab itu, parlemen dan aparat penegak hukum dianggap sebagai lembaga-lembaga yang bertanggungjawab menegakkan rasa keadilan hukum dalam melawan penyimpangan dan keberadaan supremasi hukum di negara ini. (Penulis : 1) Dosen dan Kepala Pusat Kajian Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Medan Area, dan 2) Etnografer Sumatera Utara)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Di Bawah Naungan Korupsi

Di Bawah Naungan Korupsi

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *