Oleh Shohibul Anshor Siregar
Dikhotomi sipil-militer semakin kompleks dengan narasi kultural yang diwariskan sejarah. Epik Jawa Barata Yudha, misalnya, kerap dipolitisasi untuk memuliakan perang sebagai dharma (kewajiban suci)
Hubungan sipil-militer di Indonesia tidak terlepas dari faktor warisan kompleks yang terbentuk melalui dinamika sejarah, budaya, dan politik sejak era kolonial hingga pasca-Reformasi 1998. Doktrin Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang dikukuhkan pada masa Orde Baru, menjadi titik tolak utama dalam memahami dikhotomi struktural antara sipil dan militer.
Hegemoni militerisme budaya meresap jauh melampaui institusi militer, mendiktekan budaya birokrasi dan organisasi kemasyarakatan hingga menciptakan pola pikir dan praktik yang berhalusinasi militeristik. Orde Baru memosisikuatkan militer sebagai “tulang punggung pembangunan” melalui doktrin Dwifungsi, meninggalkan jejak struktural dan kultural buruk yang sulit dikoreksi. Penggunaan paradigma komando, hierarki kaku, dan romantisasi disiplin ala militer dalam tata kelola birokrasi serta organisasi sipil mencerminkan distorsi nilai-nilai demokratis yang seharusnya menjadi fondasi masyarakat modern.
Militer tidak hanya terus berusaha mendominasi posisi strategis pemerintahan tetapi juga secara aktif mengindoktrinasi budaya “komando” ke birokrasi sipil. Program Karya Bhakti Tentara Nasional Indonesia (TNI), misalnya, melibatkan pegawai negeri dalam proyek infrastruktur yang menciptakan ketergantungan pada logika militer. Birokrasi Indonesia terjebak dalam budaya top-down, dan inisiatif lokal dikesampingkan. Laporan Komisi Ombudsman Nasional (2022) menemukan setidaknya 65% pengaduan masyarakat terkait pelayanan publik bersumber dari sikap birokrat yang “otoriter dan tidak responsif”, ciri khas budaya militeristik.
Resimen Mahasiswa (Menwa) saja mengadopsi struktur dan simbolisme militer meski tujuan awalnya adalah melatih kapasitas kepemimpinan. Mereka terjebak dalam romantisasi “bela negara” yang dikaitkan dengan loyalitas pada negara alih-alih kritik konstruktif. Penelitian Edward Aspinall (2018) menemukan bahwa 40% anggota Menwa di Jawa Timur menganggap “protes mahasiswa sebagai ancaman stabilitas”, narasi yang diwarisi dari doktrin Orde Baru.
Di daerah konflik seperti Papua, sejumlah LSM menggunakan terminologi militer seperti “posko”, “satgas”, dan “operasi” dalam program pemberdayaan. Ormas-ormas kepemudaan, di dalam partai politik dan di luarnya, tingkat lokal dan nasional, terus mempekaya diri dengan nilai, budaya dan atribut militer. Ormas keagamaan juga tak luput dari halusinasi ini. Mereka merasa seolah kehilangan jatidiri tanpa orientasi militeristik itu. Keuntungan berkepanjangan apa yang diperoleh organisasi itu di balik disorientasi ini?
Jenderal Soeharto, sebagai arsitek utama doktrin ini, dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), menegaskan bahwa militer harus memiliki peran ganda: “ABRI tidak bisa hanya berdiri di barak. Mereka harus turun ke masyarakat, membantu pembangunan, dan menjadi tulang punggung stabilitas nasional.” Pernyataan ini menjadi landasan legitimasi intervensi militer dalam politik dan ekonomi selama lebih dari tiga dekade.
Meski suara protes jarang terdengar, namun kritikus bernas Salim Said (1991) dalam Genesis of Power: General Soeharto and the New Order melihat Dwifungsi sebagai “topeng bagi militer untuk mengontrol semua aspek kehidupan berbangsa, dari ekonomi hingga kebijakan publik,” yang mengabadikan hegemoni militer atas sipil.
Warisan Dwifungsi ini masih terasa pasca-Reformasi, meskipun Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah membatasi peran politik militer. Namun, Marcus Mietzner (2013) dalam analisisnya tentang bisnis militer di Papua mengungkapkan bahwa jejak Dwifungsi bertahan melalui keterlibatan TNI dalam proyek infrastruktur dan pertambangan, seringkali melalui perusahaan fronting yang bertindak menyamarkan player sebenarnya.
Di sisi lain, pemisahan Polri dari struktur militer pada 1999 melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian belum sepenuhnya menghapus budaya “militeristik” dalam operasi keamanan domestik. Laporan International Crisis Group (2021) menyoroti tumpang tindih kewenangan TNI-Polri di Papua sebagai cerminan kegagalan reformasi tata kelola keamanan.
Problematika kontemporer hubungan sipil-militer ditandai oleh saling curiga yang mendalam. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2022) mengungkap bahwa 58% publik tidak percaya TNI bersikap netral dalam dinamika politik, terutama menjelang pemilu. Ketidakpercayaan ini berbanding terbalik dengan skeptisisme militer terhadap kapasitas sipil dalam banyak urusan, terlebih pertahanan.
Polemik pembelian alutsista, seperti jet tempur F-16V senilai Rp20 triliun pada 2022, menjadi contoh nyata. Menurut analis pertahanan Aleksius Jemadu (2023), transaksi ini dinilai tidak transparan dan lebih didorong oleh tekanan industri persenjataan global ketimbang kebutuhan strategis. Di sisi Polri, kasus kekerasan aparat seperti penembakan di Sigi (2021) mencerminkan kegagalan reformasi internal. Amnesty International (2022) dalam laporannya menyebutkan bahwa budaya impunitas di tubuh Polri masih menjadi penghalang utama akuntabilitas.
Fragmentasi regulasi memperparah dikhotomi ini. Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002 menempatkan TNI sebagai “alat pertahanan negara”, tetapi tidak mengatur mekanisme partisipasi sipil dalam perencanaan strategis. Padahal, konsep total defense yang diamanatkan mensyaratkan mobilisasi semua sumber daya nasional. Asvi Warman Adam (2019), sejarawan Indonesia, mengkritik bahwa konsep ini hanya retorika selama kebijakan pertahanan dirumuskan secara tertutup oleh kalangan militer.
Konon, ini adalah sebuah bukti empiris yang kuat, Pasal 47 Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang memperbolehkan “usaha yang menunjang tugas TNI” telah menunjukkan kegamangan abadi yang tak hanya menjadi celah korupsi yang tak mudah beroleh solusi. Tak begitu mengejutkan jika Transparency International (2020) mencatat bahwa 30% dana bisnis militer dialokasikan untuk kepentingan pribadi oknum TNI.
Dikhotomi sipil-militer semakin kompleks dengan narasi kultural yang diwariskan sejarah. Epik Jawa Barata Yudha, misalnya, kerap dipolitisasi untuk memuliakan perang sebagai dharma (kewajiban suci). Orde Baru menggunakan narasi ini untuk membenarkan operasi militer di Aceh dan Timor Timur, mencitrakan TNI sebagai ksatriya penjaga persatuan. Namun, penelitian Bernard Arps (2016) terhadap naskah asli Barata Yudha justru mengungkap pesan anti-kekerasan: “Krishna mengajak Arjuna untuk bertindak bijak, bukan membunuh, karena perang adalah tragedi kemanusiaan.”
Romantisasi kekerasan ini diperkuat oleh trauma kolonial. Kebijakan Global Maritime Fulcrum (2015), yang menanggapi aktivitas China di Laut Cina Selatan, mencerminkan ketakutan historis akan invasi asing. Padahal banyak orang berpendapat bahwa kebijakan ini sesungguhnya lebih didorong oleh tekanan industri persenjataan asing ketimbang analisis ancaman riil.
Kritik tajam terhadap kebijakan alutsista datang dari Salim Said (2015) dalam Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Ia menyebut pembelian tank Leopard dan jet tempur F-16 sebagai “bentuk military vanity, bukan kebutuhan strategis,” yang mencerminkan mentalitas kekuatan semu warisan era Soeharto.
Kritik ini sejalan dengan gagasan Jenderal Abdul Haris Nasution (1965) dalam Fundamentals of Guerrilla Warfare yang menekankan bahwa “pertahanan negara harus melibatkan seluruh rakyat, bukan hanya tentara.” Sayangnya, implementasi konsep Nasution terdistorsi oleh warisan Dwifungsi, TNI justru menjadi penguasa ketimbang pelayan rakyat.
Untuk menjawab tantangan ini, kebijakan wajib militer mungkin dapat diusulkan sebagai salah satu potensi jembatan demokratisasi. Model Norwegia layak diadaptasi, yang menerapkan wajib militer 19 bulan (12 bulan pelatihan + 7 bulan layanan masyarakat) dengan kurikulum HAM dan kesetaraan gender. Menurut laporan Norwegian Defence Research Establishment (Eide, 2018), model ini berhasil mengurangi risiko militerisasi sebesar 40%.
Di Indonesia, program serupa bisa dirancang dalam dua fase: pelatihan dasar militer berbasis penanggulangan bencana dan keamanan siber, serta pendidikan kewarganegaraan yang melibatkan para mantan kombatan untuk mengajarkan resolusi konflik. Uji coba di daerah multikultural dapat menjadi langkah awal. Namun, risiko militerisasi tetap mengintai. Sejarah Hansip (Pertahanan Sipil) era Orde Baru menjadi peringatan: program serupa bisa menjadi alat kontrol sosial. Untuk memitigasinya, pembentukan Komite Pengawasan Independen yang melibatkan DPR, akademisi, dan LSM seperti Imparsial diperlukan.
Komite ini harus memiliki wewenang membatalkan kebijakan diskriminatif dan melakukan audit tahunan. Selain itu, sunset clause wajib diimplementasikan untuk mengevaluasi program setiap lima tahun dengan indikator seperti penurunan kekerasan aparat dan peningkatan partisipasi sipil dalam forum pertahanan. Sunset clause adalah mekanisme hukum yang menetapkan batas waktu keberlakuan suatu program atau kebijakan, dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitasnya sebelum diperpanjang atau dihentikan.
Pertahanan berorientasi kesejahteraan (prosperity-oriented defense) harus menjadi poros reformasi. Swedia, melalui model total defense, berhasil mengintegrasikan militer, sipil, dan industri untuk menciptakan sinergi ekonomi-keamanan. Robert Dalsjö (2019) menjelaskan bahwa 30% anggaran pertahanan Swedia dialokasikan untuk riset dan pengembangan industri lokal.
Seyogyanya revisi UU TNI bisa mencontoh ini untuk memasukkan klausul “pertahanan berbasis kesejahteraan” yang mewajibkan Kementerian Pertahanan berkoordinasi dengan Bappenas. Pembelian alutsista harus diprioritaskan untuk pengembangan industri dalam negeri, seperti produksi senjata ringan SS2 oleh PT Pindad yang kini hanya memenuhi 12% kebutuhan TNI.
Di sisi budaya, reinterpretasi narasi sejarah diperlukan. Kolaborasi dengan seniman wayang seperti Ki Enthus Susmono untuk menggubah lakon Sumpah Palapa Gajah Mada sebagai simbol komitmen pada keadilan sosial bisa menjadi langkah awal. Pendidikan sejarah kritis dalam wajib militer, yang mengintegrasikan karya sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer, juga penting untuk mendekonstruksi mitos kekerasan. Sejarawan Benedict Anderson (1990) dalam Language and Power mengingatkan bahwa militerisme seringkali dibangun di atas narasi yang dipelintir untuk legitimasi kekuasaan.
Demokratisasi hubungan sipil-militer bukan hanya soal reformasi institusi, tetapi juga proyek kebudayaan. Wajib militer harus menjadi sarana pendidikan kewargaan, bukan alat mobilisasi. Anggaran pertahanan perlu diseimbangkan dengan pembangunan manusia, industri alutsista harus berorientasi kemandirian teknologi.
Sosiolog militer Morris Janowitz (1971) yakin, “Militer profesional adalah pelayan kedaulatan rakyat, bukan aktor yang berkuasa atasnya.” Dalam langkah ini, Indonesia dapat Kembali membuktikan diri bahwa pertahanan yang kuat berfondasikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Anda, kekuatan struktural dan kultural apa yang terus menentang gagasan demokratisasi hubungan sipil-militer di Indonesia? Oligarki dan ketidakadilan struktural yang dipertahankan dan diawetkannya? Kegagalan memahami lebih cerdas konstitusi karena dikte imperatif neoliberalisme? Partai politik yang didisain anti demokrasi? Dikte-dikte kekuatan global dalam tema perlombaan industri dan perdagangan alutsista? Apa? Let them all know !!!!!
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.