Oleh Shohibul Anshor Siregar
Di balik retorika toleransi, pluralisme di Indonesia sering menjadi alat kepentingan neoliberal. Program deradikalisasi, misalnya, mengadopsi manual NATO Countering Violent Extremism (2011) yang mendefinisikan “radikal” sebagai segala kritik terhadap Barat
Pada suatu pagi tahun 1893, seorang peneliti Belanda bernama Christiaan Snouck Hurgronje duduk di ruang kerjanya di Leiden, merancang strategi untuk “menjinakkan” Islam di Hindia Belanda. Tinta hitam di atas kertas putih itu mengkristalkan gagasan yang kelak menjadi senjata politik paling mematikan: Islam als politieke macht moet worden gebroken—Islam sebagai kekuatan politik harus dihancurkan. Kebijakan ini bukan sekadar dokumen administratif, melainkan benih yang menumbuhkan dikotomi identitas, memecah belah masyarakat pribumi menjadi santri dan abangan, serta melanggengkan hierarki agama yang bertahan hingga abad ke-21.
Warisan kolonial ini tidak hanya mengubur tradisi keilmuan Islam Nusantara, tetapi juga membentuk lensa melalui mana dunia global memandang Islam: sebagai ancaman yang harus dimoderasi, sebagai “liar” yang perlu dijinakkan. Di tengah gemuruh narasi kontra-radikalisme dan pluralisme, Indonesia terjebak dalam tiga lapis perangkap: bias kolonial Belanda, Islamofobia global pasca-9/11, dan agenda neoliberal yang menyamar sebagai toleransi. Artikel ini adalah upaya membongkar simpul-simpul sejarah itu, menelisik bagaimana kolonialisme epistemik masih mengendalikan wacana kebijakan, dan menawarkan jalan keluar melalui dekolonialisasi pengetahuan.
Politik Dikotomi Kolonial
Ketika Belanda pertama kali menginjakkan kaki, mereka tidak hanya membawa meriam dan mesiu, tetapi juga sistem pengetahuan yang dirancang untuk menguasai. Snouck Hurgronje (1893), dalam bukunya Nederland en de Islam, menggambarkan Islam sebagai “kekuatan gelap” yang mengancam stabilitas kolonial. Untuk mengatasinya, Belanda menerapkan politik divide et impera dengan memisahkan Islam dari ranah politik. Namun, praktiknya justru kontradiktif: pendidikan Kristen disokong melalui sekolah-sekolah zending, sedangkan pendidikan Islam dibatasi lewat Wildenscholenordonnantie (1932). Sekolah-sekolah pesantren, yang selama berabad-abad menjadi pusat keilmuan, tiba-tiba dicap “primitif” dan diasingkan dari sistem modern.
Aqib Suminto (1985), dalam Politik Islam Hindia Belanda, mengungkap bagaimana Belanda memanipulasi elite pribumi. Para bangsawan Jawa dididik di sekolah-sekolah kolonial yang mengajarkan nilai-nilai Eropa, tetapi ulama dijauhkan dari akses kekuasaan. Hasilnya adalah dualisme identitas: sebagian elite mengadopsi gaya hidup “beradab” ala Barat, padahal masyarakat pedesaan tetap bertahan dengan tradisi Islam yang dianggap “kuno”. Dikotomi ini tidak lenyap setelah kemerdekaan. Soekarno, yang dididik dalam sistem kolonial, melihat Islam politik sebagai ancaman bagi nasionalisme—sebuah sikap yang terlihat jelas dalam pembubaran Partai Masyumi tahun 1960.
Stigmatisasi kolonial ini berevolusi menjadi kebijakan Orde Baru yang represif. Kuntowijoyo (1991) dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi mencatat bahwa pemerintah Suharto secara sistematis memarjinalkan simbol-simbol Islam. Jilbab dilarang di sekolah negeri hingga 1991, dalam waktu yang sama, aktivis dakwah kerap dipenjara dengan tuduhan “mengganggu ketertiban”. Ironisnya, gereja-gereja di kawasan Muslim tumbuh subur—sebuah warisan dari politik kolonial yang mengistimewakan Kristen sebagai agama “beradab”.
Islamofobia Global
Pada 11 September 2001, AS mempromosikan serangan terhadap menara kembar di New York menjadi alat stigmatisasi. Tragedi itu bukan hanya mengubah peta geopolitik global, tetapi juga memperkuat stereotip bahwa Islam identik dengan terorisme. Edward Said (1978) dalam Orientalism telah memperingatkan bahwa Barat membangun citra Muslim sebagai “liar” dan “terbelakang” untuk melegitimasi dominasi. Laporan European Islamophobia Report (2022) mengonfirmasi hal ini: 74% media Eropa menggambarkan Muslim sebagai ancaman.
Narasi ini merasuk ke Indonesia melalui lembaga-lembaga yang didanai asing untuk mempromosikan “Islam moderat” versi Barat. Namun, moderasi ini sering kali bias. Gerakan Islam lokal seperti Front Pembela Islam (FPI) dengan mudah dicap “radikal”, berbanding terbalik dengan kelompok Kristen ekstrem di Papua yang menghasut kekerasan jarang disentuh (Setara Institute, 2021). Kasus Ahok tahun 2016 menjadi contoh nyata standar ganda ini: penghinaannya terhadap Al-Qur’an dianggap “kebebasan berpendapat”, tetapi protes umat Islam dicap “intoleran”.
Faisal Ismail (2011) dalam Islam, Konstitusi, dan Pluralisme menyebut fenomena ini sebagai “pluralisme neoliberal”—sebuah proyek yang mengorbankan hak mayoritas Muslim demi kepentingan minoritas dan asing. Contohnya, Mahkamah Agung memaksa pembangunan Gereja GKI Yasmin di Bogor (2010) di kawasan 95% Muslim, tetapi pembangunan masjid di Bali dihalangi dengan dalih “menjaga budaya” (Kompas, 2023). Data Setara Institute (2023) menunjukkan bahwa 60% kasus intoleransi agama justru menargetkan Muslim, meski mereka mayoritas.
Agenda Neoliberal
Di balik retorika toleransi, pluralisme di Indonesia sering menjadi alat kepentingan neoliberal. Program deradikalisasi, misalnya, mengadopsi manual NATO Countering Violent Extremism (2011) yang mendefinisikan “radikal” sebagai segala kritik terhadap Barat. Kritik terhadap korporasi asing seperti Freeport di Papua atau tambang batubara di Kalimantan dengan mudah dianggap “ekstrem”, sedangkan perusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan itu diabaikan.
Vedi R. Hadiz (2016) dalam Islamic Populism in Indonesia and the Middle East menjelaskan bagaimana neoliberalisme mengubah pluralisme menjadi alat kontrol. UU Minerba (2020) yang mempermudah investasi asing adalah contoh nyata: masyarakat adat yang menolak kehilangan tanahnya dicap “anti-Pancasila”, tetapi korporasi merajalela. LSM lokal yang didanai donor asing fokus pada moderasi Islam, padahal pelanggaran HAM oleh perusahaan AS seperti Chevron di Riau tidak mendapat perhatian.
Kasus Papua memperlihatkan paradoks ini dengan jelas. Menurut BPS Papua (2022), 80% masyarakat adat menolak pembangunan gereja paksa, tetapi suara mereka tenggelam dalam narasi “pembangunan”. Di sisi lain, masjid di Timika dibakar (KontraS, 2023), tanpa tindakan hukum bagi pelaku. Aliran sesat seperti Lia Eden dilindungi negara dengan dalih kebebasan beragama, berbeda dengan ormas Islam yang menolak kesesatan dituduh “anti-Pancasila”.
Dekolonialisasi
Untuk membebaskan diri dari jerat kolonialisme epistemik, Indonesia memerlukan tiga langkah radikal: dekolonisasi kebijakan, keadilan epistemik, dan pluralisme resiprokal. Pertama, revisi kebijakan yang bias. UU Anti-Terorisme No. 5/2018 harus diubah agar tidak lagi mengkriminalisasi kritik politik. Konvensi OKI tentang Islamofobia (2021) bisa menjadi acuan untuk melindungi hak-hak Muslim tanpa mengabaikan minoritas.
Kedua, keadilan epistemik mengharuskan kepastian mengganti kerangka pikir impor dengan kearifan lokal. Tradisi tasawuf Nusantara, seperti tahdzib an-nafs (penyucian jiwa), menawarkan pendekatan perdamaian yang lebih efektif daripada deradikalisasi ala Barat. Pesantren-pesantren di Jawa Timur telah membuktikan hal ini: program deradikalisasi berbasis komunitas berhasil mengurangi radikalisme 40% lebih efektif (PPIM UIN Jakarta, 2021).
Ketiga, pluralisme resiprokal menuntut kesetaraan nyata. Pembangunan rumah ibadah harus melibatkan persetujuan kedua belah pihak, seperti yang dilakukan dalam Perjanjian Malino (2002). Gereja tidak boleh dipaksakan di kawasan Muslim, sebaliknya, masjid harus diizinkan di Bali tanpa intervensi asing.
Kemiskinan: Kekerasan Sistemik Abadi
Kemiskinan dan kesenjangan ekstrem bukan kebetulan, melainkan hasil sistemik dari kekerasan struktural dan budaya yang bersekongkol. Kekerasan struktural terlihat dalam kebijakan neoliberal: privatisasi layanan publik, pajak rendah untuk korporasi, dan upah buruh yang dipatok minim. Di sisi lain, kekerasan budaya melegitimasi ketimpangan melalui mitos “meritokrasi” dan stigma bahwa kemiskinan adalah kesalahan individu, bukan kegagalan sistem.
Ekstremisme dan terorisme ekonomi tumbuh subur di tanah subur ketidakadilan ini. Kelompok radikal memanfaatkan kemiskinan untuk merekrut pengikut, beriringan dengan korporasi dan elite yang menggerus kedaulatan ekonomi lewat monopoli, korupsi, dan spekulasi—seperti krisis 1998 yang mengguncang Asia. Keduanya adalah monster yang lahir dari sistem yang mengorbankan manusia demi kekuasaan.
Solusinya? Berani mengganti sistem. Pajak progresif untuk orang kaya, regulasi ketat pada korporasi, pendidikan kritis untuk membongkar mitos meritokrasi, dan penegakan hukum tanpa tebang pilih. Keadilan bukanlah amal, tapi hak yang harus direbut dari tangan keserakahan.
Indonesia Taman Epistemik Baru
Pada 2005, perdamaian Aceh tercapai bukan karena intervensi NATO, tetapi karena dialog antara ulama, tokoh adat, dan mantan kombatan. Ini adalah contoh dekolonialisasi yang nyata: solusi lahir dari akar budaya, bukan manual impor.
Namun, jalan ini masih panjang. Selama kebijakan kita terjebak dalam warisan kolonial, selama itu pula Indonesia akan menjadi “laboratorium pluralisme” bagi kepentingan asing. Dekolonialisasi bukan sekadar membongkar masa lalu, tetapi menanam benih keadilan untuk masa depan. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Kita mungkin dijajah secara fisik, tetapi selama pikiran kita terjajah, kemerdekaan hanyalah ilusi.”
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.