Cinta & Imparsialitas Penjaga Konstitusi

  • Bagikan

Oleh Putri Rumondang Siagian, SH., M.H.

Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga

Tulisan ini bermula tatkala melihat postingan salah satu dosen favorit saya Bapak Ibnu Sina Chandranegara di salah satu akun media sosial miliknya. Pun begitu pula judul ini tercipta. Kabar perkawinan ketua punggawa penjaga konstitusi dengan salah seorang adik orang nomor satu di Indonesia kian berhembus kencang.

Berdasarkan pemberitaan di berbagai media, perkawinan tersebut akan digelar tanggal 26 Mei mendatang. Secara kasat mata tak ada yang salah dari rencana ikatan suci lahir-batin tersebut. Hanya saja, yang menjadi polemik adalah bagaimana instansi Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh beliau menjaga imparsialitas dalam menangani gugagatan permohonan yang ditujukan kepada pemerintah terkait dugaan pelanggaran hak konstitusional warga negara Indonesia.

Sebagian orang akan berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan oleh ketua MK dengan adik Bapak Jokowi tidak akan mengganggu kenetralan MK sebagai pengawal demokrasi di Indonesia, sebab posisi Ketua MK tidak akan mempengaruhi pendapat para hakim konstitusi lainnya untuk memutus persoalan gugatanpengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar (UUD) yang melibatkan pemerintah selaku salah satu pihak yang bertendensi sebagai termohon.

Walaupun kedudukan Ketua MK dalam proses peradilan konstitusi sebagai pimpinan sidang pleno, dimana sidang pleno tersebut bertujuan untuk laporan panel pembahasan perkara dan pengambilan putusan setelah melalui proses pemeriksaan di persidangan.

Di dalam rapat pengambilan putusan ini setiap hakim konstitusi menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan (legal opinion). Dengan demikian secara eksplisit maka sulit bagi ketua MK ‘membujuk’ para hakim lainnya dalam rapat pengambilan putusan.

Namun yang harus menjadi pertimbangan, sekalipun dianggap tidak dapat ‘berkontribusi’ mempengaruhi pendapat hakim konstitusi lainnya, peran ketua MK sebagai pimpinan sidang pleno dapat berpengaruh besar bilamana terjadi kegagalan dalam pengambilan suara terbanyak setelah diperoleh hasil tidak mencapai mufakat pada rapat pemusyawaratan hakim.

Artinya suara terakhir ketua sidang pleno lah sebagai penentu. Sehingga sangat amat naif jika menutup mata pengaruh ketua MK dalam pengambilan putusan.

Keberadaan MK merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara. Proses yang dikenal sebagai checks and balances inimenempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.

Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni antara lain dilakukan secara sederhana dan cepat.Adapun dasar hukum dalam menyelenggarakan peradilan MK menggunakan hukum acara umum dan hukum khusus.

Hukum acara yang digunakan oleh MK adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pada dasarnya MK adalah penyeimbang arogansi dalam membuat peraturan dan perundang-undangan yang tidak sesuai etikanya dengan lembaga dan dengan UUD NRI 1945 sebagai pijakannya. Politik lobi pada dasarnya memang akan terus ada selama kepentingan masih ada, oleh karenanya lembaga penyeimbang ini sangatlah diperlukan.

Tak heran sebutan untuk MK adalah The Guardian of The Constitution. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga.

Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

Kewenangan memutus pendapat DPR dalam proses impeachment presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 menempatkan MK sebagai penentu antara kekuasaan presiden dan pengawasan DPR. Wewenang yang dimiliki MK menempatkannya dalam posisi ‘tengah’ atau posisi ‘antara.’

Posisi tersebut menentukan perimbangan dan keselarasan hubungan kekuasaan, baik dalam organisasi penyelenggara negara,maupun dalam kehidupan berbangsa. Mahkamah Konstitusi berada di antara tiga wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara,yaitu antara negara (state), masyarakat sipil (civil society),dan pasar (market).

Di sisi lain,dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi juga berada di antara cabang kekuasaan negara. Posisi tersebut mengharuskan hakim konstitusi selalu objektif, tidak memihak,dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Di sinilah arti penting persyaratan negarawan bagi hakim konstitusi, selain harus memiliki pengetahuan yang dalam dan luas tentang konstitusi dan ketatanegaraan.

Dugaan akan lahirnya ‘romantisme’ antara MK yang dipimpin oleh calon adik ipar orang nomor satu di negeri ini dengan pemerintah selaku bagian dari Lembaga eksekutif akan menghasilkan putusan-putusan yang dituding ‘menguntungkan’ bagi pemerintah.

Ataupun jika tak bisa disebut memberi untung, maka putusan yang mungkin dihasilkan oleh punggawa konstitusi ini dirasa tak lagi memiliki taring (bak putusan ‘banci’ yang tidak memiliki kejelasan karna tak kunjung mendapatkan pengakuan di negeri ini).

Lihat saja bagaimana nasib putusan MK tentang pengujian UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersayarat. Mengakui adanya kejanggalan dalam formalitas pembuatan UU Cipta Kerja tapi sungkan mengakui kesalahan substansi dalam isi UU Cipta Kerja itu sendiri.

Bak buah simalakama jikalau ketua MK tak kunjung mengundurkan diri setelah resmi menyandang status adik ipar presiden. Tidak hanya itu status negarawan yang melekat saat menyandang status ketua MK akan dipertanyakan.

Sebab dari sisi gramatikal, negarawan adalah orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian penyelenggaraan negara, medan pengalaman yang cukup, serta komitmen untuk melaksanakan dan mengawal kehidupan bernegara sesuai dengan koridor konstitusi.

Negarawan juga dapat diartikan sebagai sosok yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan masyarakat, mampu berlaku egaliter serta adil dan mengayomi semua komponen bangsa.

Dalam bahasa Inggris negarawan disebut statesman atau stateswoman, sebagai sebutan terhadap tokoh yang mempunyai karier terhormat (respected career) di bidang kenegaraan baik nasional maupun internasional. Untuk itu publik pastinya akan mempertanyakan gelar ‘negarawan’ sebagai pihak yang dianggap netral dalam memutus perkara hak konstitusional warga negara dengan pemerintah dan legislative selaku pembuat undang-undang.

Meskipun terdapat keraguan oleh berbagai pihak apakah ketua MK akan menanggalkan jabatannya seusai menikah, penulis yakin dan percaya pengambilan keputusan oleh seorang negarawan pastilah mempertimbangkan nilai-nilai etika yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum.

Sekali lagi, tahniah atas perkawinannya, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya. Ingat tidak ada yang salah dari sebuah perkawinan sebab hal tersebut merupakan ibadah seumur hidup yang mendapatkan berkah.

Penulis adalah Mahasiswi Program Doktor Fak. Hukum USU.

  • Bagikan