Catatan Kota Kolonial

  • Bagikan

Dalam catatan kota colonial, menurut beberapa ahli, investasi besar-besaran antara tahun 1957 dan 1966 merupakan akibat langsung dari niat Sukarno adalah untuk mengubah ibukota kolonial menjadi simbol persatuan nasional Indonesia

Salah satu alasan Joko Widodo dalam keputusan memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur ialah meninggalkan jejak kota kolonial. “Pemberontakan” atas fakta kota kolonial ini kedengarannya cukup patriotik dan cukup heroik.

Tetapi banyak kasus pembangunan kota di dunia, termasuk Jakarta, hanya mampu bertransisi sangat lambat sekalipun berusaha merepresantasikan pergeseran yang sayangkna lebih pada aspek ragawi belaka dan untuk kemudian secara keliru dipandang tepat untuk klaim kota pasca kolonial. Masalahnya bukan tidak jelas fakta perubahan penting dalam struktur fisik kota. Hanya saja, pada segi lain, ia memang amat bermasalah.

Christopher Silver dalam studinya “Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century” (2007) mengidentifikasi beberapa masalah serius terutama mengenai lokasi fungsi ekonomi utama, lembaga budaya dan pola pemukiman.

Untuk pengalaman Indonesia, sebagaimana gejala dual economy yang dikeluhkan J.H. Boeke dalam “Economics and Economic Policy of Dual Societies” (1953), perekonomian ganda melahirkan ketegangan antar sektor ekonomi yang terpisah dalam satu negara, yang dibagi berdasarkan tingkat perkembangan, teknologi, dan pola permintaan yang berbeda. Koeksistensi sektor ekonomi modern dan tradisional dalam ekonomi kolonial ini bersifat antithetical.

Mungkin ada inisiatif untuk mengembangkan satu sektor tertentu untuk diarahkan sesuai demand kebutuhan lokal sedangkan sektor lainnya untuk pasar ekspor global. Fenomena ini kerap terjadi bahkan dalam sektor yang sama.

Katakanlah pertanian ketika perkebunan modern yang hegemonik atau entitas pertanian komersial lainnya yang beroperasi intensif di tengah keberlangsungan bagai kerakap tumbuh di atas batu, pertanian tradisional yang subsisten dengan segenap keterbatasannya termasuk luasan lahan dan teknologi.

Penawaran tenaga kerja yang menjadi salah satu faktor pendorong migrasi desa-kota menyebabkan kejenuhan yang berakibat tertahannya peluang untuk kenaikan upah. Sedangkan pada sektor subsisten pedesaan secara bersamaan penghasilan tetap rendah meski dengan populasi surplus.

Inti mekanisme ini telah terjadi penyerapan tenaga kerja dari daerah pedesaan ke dan sekaligua menahan upah perkotaan bahkan bisa sampai surplus pedesaan itu habis.

Merujuk Clifford Geertz dalam “Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns” (1963), Christopher Silver mengatakan bahwa dalam hal fungsi ekonomi, perlu untuk membedakan antara ekonomi yang berpusat pada perusahaan yang mencakup interaksi modal domestik dan internasional melalui seperangkat institusi impersonal dan ekonomi bazaar yang berkisar pada pasar tradisional di mana transaksi tatap muka terjadi antara pemasok dan pelanggan, dan yang mendukung gaya hidup yang tidak bergantung pada teknologi canggih atau barang impor.

Ekonomi bazaar tradisional berlanjut di kota-kota Asia Tenggara bahkan ketika peran ekonomi yang berpusat pada perusahaan diperluas. Pergumulan antara keduanya pun berlangsung saling mematikan. Terutama dalam menguasai lokasi-lokasi di wilayah perkotaan dengan tingkat kompetisi yang semakin meluas.

Hal ini selalu terlihat terutama saat kota berusaha menggantikan fungsi pasar tradisional dengan perusahaan yang berpusat pada perusahaan, invasi ulang oleh pasar tradisional untuk mendukung penduduk asli menciptakan tantangan sensitif.

Di Jakarta, kata Jerome Tardie dalam “Les territoires de la violence a Jakarta”, sebagaimana di banyak kota besar dunia, sejumlah pelaku meemengaruhi kota dan kehidupan metropolitan. Kekerasan memunculkan berbagai bentuk pengambilan kekuasaan yang berbeda dari yang dikehendaki para perencana dan pemerintah.

Kekerasan berkaitan dengan berbagai sistem pararel yang membuat kota berfungsi, dengan pola kota yang tidak resmi dan yang berkaitan dengan kehidupan metropolitan. Hal ini tampak jelas di wilayah-wilayah yang biasanya dihindari orang yang disebut rawan, yang teramati jumlah kejahatannya tinggi.

Dalam sektor manufaktur, tren yang paling konsisten adalah menciptakan kawasan industri di pinggiran kota untuk mengakomodasi pertumbuhan baru di sektor ini, kata Cristopher Silver (2017).

Meskipun kawasan pelabuhan yang dibangun pada masa kolonial, nyatanya tetap menjadi lokus utama untuk operasi pemrosesan, serta penyimpanan dan pengiriman yang sekaligus membuktikan kecenderungan umum penyebaran luas kegiatan ekonomi dalam konsentrasi yang tidak berubah sama sekali kecuali di sekitar fasilitas pelabuhan di kota pascakolonial adalah.

Bagaimana dengan pemukiman? Dalam hal struktur pemukiman kota-kota Asia Tenggara, transformasi pada periode pasca-kolonial lebih signifikan daripada kontinuitas dengan struktur kolonial. Tadinya kompleks perumahan berkepadatan rendah orang Eropa digeser menjadi lingkungan elit pribumi.

Tetapi kemudian tak terhindari percampuran di sini karena pemukiman pinggiran kota begitu memikat elit pribumi dari pusat kota ke pinggiran. Migrasi besar-besaran tenaga kerja dari daerah pedesaan memperluas jumlah dan kepadatan desa-desa seperti pedesaan yang terletak di pinggiran kota, sementara juga menyebabkan peningkatan kepadatan di daerah-daerah dalam kota yang dihuni oleh keluarga kelas pekerja.

Daerah kantong etnis bagi orang Cina tetap ada, meskipun pemukiman satelit untuk mengakomodasi orang China yang lebih kaya berkembang di pinggiran kota. Semua ini secara jelas membedakan kota Asia Tenggara dari model Barat dalam hal struktur tempat tinggal adalah tidak adanya perbedaan kelas yang jelas terkait dengan lokasi tempat tinggal dan kedekatan dengan pusat kota.

Sebagaimana dicatat McGee dalam “The Southeast Asian City: A Social Geography of the Primate Cities of Southeast Asia” (1967), pola tempat tinggal kota Asia Tenggara yang meliputi campuran elemen kota termiskin dan terkaya, baik di kawasan inti maupun luar, diidentifikasi memiliki beberapa fase peralihan yang berkembang antara pola pra-industrialisme dan industrialisme.

Fenomena tidak berhenti sampai di situ, karena kontinum pada jalan menuju industrialisasi ini juga menjelaskan konfigurasi tempat tinggal yang unik di kota-kota Asia Tenggara. Misalnya, kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah dalam jumlah besar untuk tinggal di dekat daerah berpenghasilan menengah dan atas karena peran mereka yang berkelanjutan dalam layanan rumah tangga adalah salah satu faktornya.

Masyarakat berpenghasilan rendah yang menempati daerah dalam kota yang kondisi lingkungannya sekaligus menghalangi pembangunan kelas atas yang baru, dan kurangnya penegakan peraturan yang melarang tinggal di tempattempat tersebut, menjelaskan persistensi permukiman kumuh dan liar di kawasan inti kotakota Asia Tenggara.

Perkembangan perumahan pinggiran kota bergaya Barat yang baru, di samping desa-desa pribumi yang tumbuh sendiri di pinggiran kota, keduanya disebabkan oleh harga tanah yang tinggi di pusat kota, adalah variasi lain yang tidak dijelaskan oleh model kota pra-industri versus model kota industry.

Akhitnya McGee (1967) menyimpulkan bahwa pada akhir 1960-an ‘pertumbuhan pesat kota-kota Asia Tenggara hanya menambahkan elemen baru ke kota daripada mengubah pola pemukiman kolonial’.

Meninjau seluruh pengalaman dalam mengembangkan struktur politik dan pemerintahan untuk menangani tidak hanya kekurangan perumahan, infrastruktur yang tidak memadai, masalah kemiskinan yang berkelanjutan dan dukungan pembangunan ekonomi, tampak sangat bervariasi di seluruh wilayah suatu negara.

Christopher Silver (2017) mencatat bahwa dalam kasus Jakarta, situasi politik nasional memainkan benar-benar memainkan peran kunci dalam proses perencanaan dan pembangunannya.

Memang, aku Christopher Silver, negara-negara Asia Tenggara selamat dari tantangan dekolonisasi dan menggunakan kemerdekaan sebagai batu loncatan, dan harapan pra-kemerdekaan tidak membuahkan hasil, tetapi setidaknya negara-negara ini tidak runtuh.

Visi Sukarno yang pernah mengangankan IKN dipndahkan ke Kalimantan Tengah sangat penting memahami motivasi di balik masterplan Jakarta pada tahun-tahun awal republik dan selama apa yang disebut era Demokrasi Terpimpin dari akhir 1950-an hingga ia jatuh dari kekuasaan pada tahun 1965.

Menurut beberapa ahli—dalam catatan kota kolonial—investasi besar-besaran antara tahun 1957 dan 1966 merupakan akibat langsung dari niat Sukarno adalah untuk mengubah ibukota kolonial menjadi simbol persatuan nasional Indonesia.

Upayanya untuk merebut kembali kesatuan negara kolonial yang kuat melalui kesetiaan kepada bangsa membutuhkan serangkaian strategi yang dua kuncinya adalah berbagi kekuasaan dengan faksi-faksi politik yang bertikai dan memberikan perlindungan sebagai imbalan kesetiaan.

Perlindungan Sukarno merajalela, dengan birokrasi sipil tumbuh dari 250.000 pada tahun 1940 menjadi sekitar 2,5 juta pada saat ia meninggalkan kantor (Cristopher Silver, 2017).

Mengutip Anderson (1983); Kusno (2000); Hughes (1968); Christopher Silver menyebut bahwa dorongan modernisasi perkotaan Sukarno adalah cara untuk menyamarkan kelemahan paling mencolok dari rezimnya, seperti strategi ekonomi yang gagal, ancaman pembubaran republik yang terus berlanjut yang berasal dari daerah luar, korupsi yang merajalela, dan sekaligus pencarian pengakuan global.

Bagi Boddy (1983), rencana besar untuk membangun kembali Jakarta itu dimaksudkan untuk memperkuat rezim otoriter Soekarno.

Namun dalam kerangka otoriter ini, proyek pembangunan modernis yang dibiayai oleh pemerintah nasional pada awal 1960-an, seperti kompleks olahraga Senayan dan desain ulang Konigsplein menjadi Lapangan Merdeka, dimaksudkan oleh presiden ‘untuk memupuk persatuan dan identitas nasional bagi bangsa Indonesia. WASPADA

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan