Media massa di Sumatera Utara berbasis pada print media yang memiliki sejarah, loyalis pembaca, serta brand yang melekat kuat. Ciri khas ini menjadi faktor unik dalam perkembangan media lokal di Sumatera Utara di era digitalisasi sekarang ini
Media massa di Sumatera Utara, memiliki kekhasan menilik dari sejarah dan perkembangannya. Kekhasan ini menjadi sesuatu yang unik dan menjadi kekuatan dalam menghadapi era perkembangan teknologi informasi dengan digitalisasi di berbagai bidang. Tulisan ini akan memfokuskan secara kualitatif sejarah dan perkembangan tiga media mainstream di Sumatera Utara sebelum terjadi shifting dari print media ke cyber media, yakni harian Waspada, Harian Analisa dan Harian Sinar Indonesia Baru (SIB).
Media Mainstream Sumatera Utara
Sejarah dimulai sejak masa pendudukan Belanda di tanah air dengan bermunculannya koran-koran perjuangan yang membawa kepentingan perjuangan membela tanah air. Salah satunya adalah harian Waspada yang didirikan oleh H. Mohd. Said dan Hj. Ani Idrus pada tanggal 11 Januari 1947. Sesuai namanya, yakni “Waspada” membawa pesan kepada para pejuang kemerdekaan untuk tetap Waspada dalam perjuangan melawan penjajah yang dilengkapi dengan persenjataan yang lebih lengkap dan canggih.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Pegangsaan Jakarta. Namun informasi tentang kemerdekaan tersebut tak kunjung terdengar oleh masyarakat kota Medan, apakah lagi masyarakat Sumatera Timur, sehingga ketidakpastian terjadi di mana-mana, sampai akhirnya pada September 1945 berita itu sampai ke Sumatera Timur. Harian Waspada didirikan menjembatani informasi yang terlambat didengar masyarakat sehingga menimbulkan respons yang juga tertunda.
Dalam perkembangannya harian Waspada yang dapat dikategorikan sebagai media nasionalis-religius ini kemudian telah mendapat di hati masyarakat Sumatera Utara dan Aceh. Para pembaca harian Waspada kemudia secara alamiah tersegmentasi pada pembaca Muslim-Melayu dan kaum nasionalis-pribumi.
Harian Waspada juga melahirkan wartawan-wartawan yang kreatif dan memiliki inovasi serta visi membangun dunia pers daerah. Di antara mantan wartawan Waspada adalah GM Panggebean. Selain itu GM Panggabean juga mantan wartawan Harian Sinar Harapan. Dalam perjalanannya GM Panggabean kemudian mendirikan Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) tepatnya pada 9 Mei 1970.
Perkembangan harian SIB sampai dengan menjelang gelombang revolusi industri 4.0 tersegmentasi pada bacaannya orang Batak-non muslim. Ini terlihat dari basis penyebaran sirkulasinya yang mendominasi kawasan yang dengan penduduk mayoritas segmentasi tersebut.
Tiga tahun setelah berdirinya harian SIB, berdiri pula surat kabar Analisa tepatnya pada tanggal 21 Maret 1973. Sebelum berdiri, harian ini merupakan sebuah transformasi dari harian Indonesia yang penyajiannya berbentuk aksara dan tulisan Tionghoa yang bernama Harian Indonesia. Sejak terbit sebagai harian Analisa, koran ini terbit tujuh kali dalam seminggu.
Perkembangan selanjutnya, pembaca harian Analisa didominasi oleh etnis Tionghoa yang merupakan basis pebisnis di kota Medan. Dengan kata lain para pembaca harian Analisa umumnya adalah orang Tionghoa-Pebisnis.
Dari uraian di atas terlihat bahwa tiga media mainstream di Sumatera Utara memiliki basis pembacanya masing-masing yang menjadi kekuatan “tradisional” bagi ketiganyanya yang menjadi modal besar dalam perkembangan pers lokal. Basis pembaca ini sangat dengan polarisasi yang juga khas dan unik yang tidak dimiliki daerah lain.
Konvergensi Media
Seiring dengan masuknya digitalisasi ke ranah media massa, pada saat yang sama berkembang era konvergensi media sebuah sebuah bentuk strategi menjawab perkembangan teknologi yang terjadi. Konvergensi merupakan jawaban yang datang bersamaan dengan hadirnya digitalisasi media yang secara langsung maupun secara tidak langsung telah mereduksi keberadaan bentuk media massa baik media cetak, radion maupun televisi. Konvergensi media dapat dimaknai sebagai suatu persilangan antar media baru serta media lama. Dengan konvergensi, alir konten informasi mengalir dalam bentuk platform media yang beragam, atau dapat disebut sebagai koorporasi antara keragaman industri media dan migrasi perilaku khalayak media.
Pergeseran pola membaca khalayak telah “difasilitasi” melalui konvergensi media termasuk di dalamnya dalam hal pergeseran paradigma budaya, industri dan sosial yang bisa membuat konsumen mencari peristiwa baru. Fenomena konvergensi media dapa dilihat manakala seseorang berperilaku secara multitasking dalam berkomunikasi dengan menggunakan perangkat media. Penggunaan beberapa macam platform media dalam berkomunikasi bagi orang tertentu untuk mendapatkan pengalaman yang baru, dan menghubungkannya dengan beragam masyarakat sosial.
Henry Jenkins di dalam buku yang berjudul “Convergence Culture: Where Old And New Media Collide” tahun 2008 telah membentangkan tentang konvergensi ini melalui beberapa tahap yang terjadi pada suatu budaya pada masyarakat. Konvergensi media bermakna membaurkan tiga langkah atau tahapan menjadi satu yang di singkat dengan 3C, yakni computing, communication, content. Computing adalah proses menginput data dengan menggunakan perangkat komputer atau komputer; Communication yakni proses komunikasi yang berlangsung; Content adalah materi yang mengisi proses komunikasi yang dilangsungkan.
Dalam konvergensi media ada tiga elemen penting yang berkaitan dengan industri media. Ketiga hal tersebut meliputi khalayak (audience), teknologi (technology), dan pasar (market). karenanya era konvergensi media menjadikan berbagai aspek penting suatu media yakni tentang bagaimana menjalankan organisasi suatu media secara rasional dan bagaimana khayalak media dalam hal menanggapi informasi. Hal inilah yang menjadi prasyarat wajib agar konvergensi media dapat berlangsung dengan baik.
Sedangkan Rich Gordon dalam bukuya yang berjudul Digital Jurnalism, membagi konvergensi media ke dalam lima dimensi, yaitu ownership convergence, tactical convergence, structural convergence, information gatering convergence, dan
storyteling convergence.
Ownership Convergence; memfokuskan pada kepemilikan perusahaan dalam industri media yang telah memiliki brand yang dikenal secara luas oleh khalayak. Ini adalah suatu wujud strategi dalam menghadapi konvergensi media untuk konglomerasi induk perusahaan yang secara sekaligus memiliki media penyiaran (television), media siber (cyber media) dan media cetak (print media). Karenanya konglomerasi dimaknai sebagai penggabungan kepemilikan dari beberapa bentuk media. Pada kenyataannya saat ini induk media cetak akan memiliki media siber sekaligus.
Tactical Convergence; Pada dimensi ini, strategi perusahaan mengarah pada suatu sebuah taktik dalam melaksanakan promosi silang dan bertukar berita dalam kerjasama dengan media lain. Efektivitas adalah kata kunci dari promosi silang yang dilakukan dengan latar belakang platform media yang beragam saat ini dalam menyebarkan berita. Koordinasi yang trstruktur dan rapih diperlukan untuk konvergensi media yang terlaksana dengan lancar. Taktik promosi silang ini juga dapat menekan biaya produksi hingga lebih hemat. Tukar menukar berita termasuk dalam dimensi ini, sehingga satu jenis berita bisa dalam bentuk beberapa platform berbeda seperti media cetak (print media) media siber (cyber media), ataupun media penyiara (television) yang dihasilkan seorang wartawan kemudian digabungkan jadi satu kesatuan dalam penyajiannya. Beberapa bentuk platform media massa tersebut akan menampilkan suatu inti dari berita sesuai ciri masing-masing platform. Dengan demikian, kerjasama dengan tukar menukar berita di antara platform berita yang berbeda memberikan alternatif kepada pembaca untuk mendapatkan informasi melalui beragam macam cara.
Structural Convergence; Hal penting dalam dimensi ini adala melakukan desain ulang dalam hal pembagian kerja serta strukturisasi organisasi. Dimensi ini berfokus pada tanggung jawab serta struktur perusahaan pada suatu industri media. Dengan mlakukan penataan kembali susunan kepemimpinan perusahaan serta tanggung jawab, untuk tujuan kesesuaian dengan kebutuhan, tentunya tidak dapat mengubah dengan cara instan. Cara ini mewajibkan terjadinya perubahan secara gradual. Penting bagi stakeholders perusahaan secara internal untuk mengerti konsep konvergensi sehingga penyusunan ulang struktur dapat dengan mudah dilakukan dengan demikian dapat pula terwujud strategi dalam konvergensi media.
Information Gathering Convergence; Dalam dimensi melihat bagaimana para pekerja media terutama wartawan memiliki keterampilan kerja yang tidak sebatas ketrampilan terhadap satu macam media saja. Namun mereka dituntut menjalankan tugas jurnalistik melalui berbagai macam media yang beda. Dengan konvergensi media, wartawan dituntut serba bisa dan multitasking, memiliki skill beragam, bekerja dalam tekanan waktu dan dapat melakukan beberapa dalam waktu bersamaan.
Storytelling Convergence; Prioritas dalam dimensi ini pada saat wartawan saat membuat sebuah berita selaras segmentasi media pasar yang ditargetkan, dilengkapi foto dan video serta infografis. Pengemasan seperti ini dilakukan sehingga khalayak disajikan beberapa pilihan berita yang ingin mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka. Berita yang dilengkapi dengan foto, video, dan infografis adalah suatu strategi menghadapi konvergensi yang diterapkan dalam dimensi storytelling. Suatu strategi menghadapi era konvergensi media pada dimensi ini dapat berlangsung baik apabila timbulnya kesadaran memiliki skill serta menggunakan perlengkapan untuk tujuan agar informasi berita selaras segmen pasar yang ditargetkan.
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, terlihat ada hal-hal pokok dalam digitalisasi media massa yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai ancaman akan eksistensi media massa, khususnya jenis media cetak (print media). Dalam kasus Sumatera Utara, hal-hal pokok tersebut saling terkait satu sama lain yang dapat dilihat dari simpulan berikut ini:
Pertama, media massa di Sumatera Utara berbasis pada print media yang memiliki sejarah, loyalis pembaca, serta brand yang melekat kuat. Ciri khas ini menjadi faktor unik dalam perkembangan media lokal di Sumatera Utara di era digitalisasi sekarang ini.
Kedua, bahwa telah terjadi pergeseran pola membaca khalayak yang mengguncang keberadaan media massa cetak, sehingga konvergensi media menjadi pilihan yang merupakan respons terbaik dalam menyikapinya. Disebut mengguncang karena beberapa media mainstream baik dalam skala nasional maupun skala global telah mengubah diri ke dalam bentuk digital media.
Ketiga, harian Waspada, harian Analisa, dan harian Sinar Indonesia Baru (SIB) sebagai media massa cetak mainstream lokal di Sumatera Utara dengan segmen pembaca yang khas adalah sedikit dari banyak media massa cetak yang telah secara total beralih ke bentuk cyber media. Konvergensi media dengan menggabungkan pengelolaan media cetak, cyber media dan media penyiaran televisi secara streaming sebagaimana yang dilakukan oleh harian Waspada justru akan memperkaya tampilan media ini yang pada akhirnya akan membuatnya tetap bertahan di tengah terpaan gelombang digitalisasi media.
Karena sesungguhnya, terpaan gelombang tersebut bukan sekali ini terjadi, melainkan selalu terjadi setiap lahir bentuk baru media massa sebagaimana yang dialami media cetak ketika pertama kali media audio (radio), media audio visual (televisi) datang di tengah media cetak yang telah berdiri dengan mapan. Dengan lain kata, media lokal, khususnya media massa cetak lokal akan bertahan bahkan mengembangkan dirinya lebih jauh lagi dengan mengadopsi prinsip-prinsip konvergensi di tengah terpaan digitalisasi media.
Penulis adalah Guru Besar Fisip USU & STIK-P Medan. Tulisan ini telah dipersentasikan di arena Hari Pers Nasional (HPN) Sumatera Utara tanggal 9 Februari 2023.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.