Scroll Untuk Membaca

Opini

Biaya Membangun Daerah

Biaya Membangun Daerah

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Di Amerika bahkan organisasi sosial keagamaan setiap tahun akan datang ke kongres untuk memastikan kualitas politik anggaran dengan gerakan yang terkenal faithful budget

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Biaya Membangun Daerah

IKLAN

Meskipun 100 % menjadi tanggung jawab penulis, artikel ini dikembangkan dari serangkaian diskusi pekan lalu di Medan bersama Dadang Darmawan Pasaribu, Julpian Harahap, Frien Jones Tambun dan Nurliani Siregar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Padang Lawas memfasilitasi diskusi untuk kepentingan perumusan 18 (delapan belas) pertanyaan bertema “Mewujudkan tatakelola pemerintahan yang peduli, adil dan bertanggungjawab” untuk diajukan kepada dua pasangan calon (Paslon) Bupati dalam debat yang diselenggarakan tanggal 2 Nopember 2024 yang lalu.

Debat Paslon diarahkan menukik pada tiga domain utama yang terintegrasi, yakni meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan pelayanan, dan menyelesaikan persoalan daerah. Sebagai jembatan untuk itu secara konseptual debat diinginkan mengeksplorasi dan mengelaborasi 6 (enam) isu strategis berdasarkan kajian atas naskah RPJPD Padang Lawas 2025-2045 dan RPJMD lima tahun ke depan, dokumen visi dan misi kedua Paslon yang berkontestasi dan sumber-sumber terverifikasi lainnya.

Pertama, pengentasan kemiskinan dan pengangguran untuk peningjkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikaitkan dengan keniscayaan pelibatan inovasi dan teknologi. Kedua, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur.

Ketiga, pelayanan publik terutama bidang kesehatan, pendidikan dan perizinan. Keempat, penyelesaian konflik agraria. Kelima, mewujudkan aparatur birokrasi yang bersih dan transparan. Keenam, pemanfaatan kawasan hutan untuk mendorong perekonomian rakyat.

Perbandingan Visi Misi Paslon

Dengan visi “Bersama Mewujudkan Padang Lawas Maju” Paslon Putra Mahkota Alam Hasibuan-Achmad Fauzan Nasution yang bernomor urut 1 memiliki 10 misi, pertama, peningkatan mutu pendidikan; kedua, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat; ketiga, membangun sarana prasarana pemerintahan yang berkualitas dan ramah lingkungan.

Keempat, meningkatkan kehidupan beragama yang harmonis; kelima, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan berwibawa; keenam, membangun sentra ekonomi rakyat dengan mengembangkan koperasi dan UMKM; ketujuh, mengoptimalkan potensi sumber daya alam secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Kedelapan, meningkatkan produktivitas pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan; kesembilan, menciptakan lapangan kerja dan pemerataan kesempatan kerja; kesepuluh, mengembangkan destinasi wisata berbasis budaya dan kearifan lokal.

Sedangkan Paslon nomor urut 2 (Ahmad Zarnawi Pasaribu-Mohd.Ifdal Hasayangan) mengusung visi “Padang Lawas Adil, Maju, dan Bercahaya” yang didefinisikan dalam dua jabaran konsep. Pertama, sebagai suatu kondisi yang mendorong bercahayanya Padang Lawas untuk melakukan percepatan pembangunan melalui inovasi, kolaborasi dan kearifan lokal demi terwujudnya masyarakat Padang Lawas yang sejahtera. Kedua, suatu capaian terwujudnya pembangunan masyarakat melalui kualitas pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan dan terpemnuhinya kebutuhan masyarakat.

Paslon ini mengurai visi dengan 7 misi yang terdiri dari, pertama, mempercepat pembangunan infrastruktur; kedua, mewujudkan pelayanan publik responsif, berkualitas dan terjangkau; ketiga, mewujudkan tatakelola pemerintahan yang terintegrasi berbasis teknologi informasi; keempat, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dengan menciptakan sentra-sentra ekonomi berbasis potensi desa dan pariwisata; dan kelima, mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Paslon ini dengan rinci menjelaskan program prioritas untuk masing-masing misi.

Meski tiada proyeksi anggaran dalam kedua dokumen, namun dari paparan visi dan misi (termasuk program prioritas) mereka, nyatalah bahwa keempat figur yang berkontestasi bukan musyafir yang datang entah dari negeri mana, lalu kemudian karena ingin berkuasa “membeli” partai melalui Ketua Umumnya di Jakarta, mentang-mentang tidak adanya pengaturan regulasi soal itu kecuali rujukan etika dan moral.

Kesan itu sama sekali tak ditemukan pada kedua paslon. Mereka semua putra daerah dengan luapan kecintaan kepada masyarakat mereka dengan gagasan besar untuk memajukannya.

Meski terdapat plus dan minus ditilik dari kedalaman filosofis, konseptualisasi dan kemampuan membuat proyeksi lima tahun ke depan, dengan membandingkan ketajaman argumen saat pemaparan dan sanggah-menyanggah di antara keempat figur saat berlangsungnya debat, satu hal dapat dipastikan bahwa mereka telah mendiskusikan visi dan misi serta program prioritas secara mendalam tanpa “menyewa” pihak mana pun, termasuk para “petualang” politik yang kerap bersembunyi di balik nama konsultan politik.

Terhambat Modal

Konsistensi visi dan misi dengan realisasi ketika melaksanakan pemerintahan dalam banyak kasus daerah di Indonesia menunjukkan adanya desakan kuat iklim kompetisional yang menyebabkan idealitas gagasan yang lebih dimaksudkan untuk memikat pemilih mengalahkan pertanggung jawaban kemudian. Seandainya faktor ini diasumsikan tegas tak akan terjadi di Padang Lawas 5 tahun ke depan, rasanya kurang fair. Mengapa?

Obsesi itu diprediksi akan terbentur dengan kebijakan keuangan Indonesia kususnya berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU PKPD) yang menjadi tonggak penting reformasi sistem pemerintahan Indonesia, khususnya dalam konteks otonomi daerah.

Sebetulnya secara juridis UU ini diasumsikan bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam pembagian sumber daya antara pemerintah pusat dan daerah, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata. Namun, implementasi UU PKPD selama beberapa dekade terakhir telah memunculkan berbagai tantangan dan permasalahan yang perlu dievaluasi secara komprehensif.

Karena itu evaluasi sudah sangat diperlukan untuk tujuan pengumpulan data empiris yang valid tentang keberadaan UU PKPD dalam memberhasilkan atau menggagalkan upaya perwujudan tujuan menciptakan keadilan fiskal dan dorongan pembangunan daerah. Ini bisa menyasar formula alokasi dana transfer daerah untuk menemukan data sahih apakah masih relevan dan adil dalam membagi sumber daya. Juga untuk menemukan jawaban atas tingkat efisiensi penggunaan anggaran. Selain soal efisiensi juga menyangkut dugaan potensi kebocoran anggaran atau penggunaan yang tidak tepat sasaran.

Begitu penting dalam evaluasi ini untuk menelisik kapasitas fiskal daerah dengan pertanyaan pokok “apakah daerah memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk menjalankan otonomi daerah dengan segenap regulasi yang ada. Tentu saja transparansi dan akuntabilitas sangat perlu diidentifikasi secara objektif untuk menjawab pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas proses penganggaran dan pelaksanaan anggaran.

Bukankah partisipasi masyarakat menjadi prasyarat pembangunan? Karena itu pertanyaan dari evaluasi harus menyangkut kadar keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran dan pengawasan. Terakhir, mengenai dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Apakah UU PKPD telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang merata dan peningkatan kesejahteraan masyarakat?

Di Amerika bahkan organisasi sosial keagamaan setiap tahun akan datang ke kongres untuk memastikan kualitas politik anggaran dengan gerakan yang terkenal faithful budget. Gerakan ini, meski digagas oleh pemimpin keagamaan, bahkan mampu membuat dokumen tandingan bagi ABPN negara itu.

Di Indonesia, bahkan lembaga swadaya dan kelompok studi yang menurut nama dan platformnya bertujuan untuk menongkrongi politik anggaran malah kerap tidak punya nyali untuk bersuara. Dalam konteks ini tentu tidak mungkin penyesalan serius tak ditujukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seyogyanya tak hanya berurusan dengan bongkah-bongkah korupsi kecil yang sesungguhnya berinduk ke pusat kekuasaan.

Dengan fakta daerah harus mengalokasikan di atas 50 % APBD untuk Belanja Tak Langsung, tentu termasuk untuk aparatur, begitu juga alokasi untuk mandatory spending (pendidikan, kesehatan dan lain-lain), dengan sendirinya berdasarkan regulasi yang ada obsesi pembangunan daerah akan dinafikan oleh nilai belanja modal yang amat kecil.

Jangan Terjerumus Neoliberalisasi

Agar tak jatuh pada tragedi “bagai pungguk merindukan bulan” banyak pemerintahan termasuk pada level daerah yang berusaha namun terjebak dalam logika penyengsaraan neoliberalisasi.

Pembangunan infrastruktur, petiklah sebuah contoh, menjadi salah satu kunci utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya yang sangat besar. Distribusi APBN sudah terkunci rumus unitarisme politik.

Dana Bagi Hasil dari sumber daya alam yang dikelola oleh pemerintah pusat juga telah didisain bukan sebagai jawaban. Apakah daerah diperkenankan untuk melakukan pinjaman dalam negeri dengan antara lain menerbitkan obligasi atau surat utang negara untuk membiayai proyek infrastruktur?

Tidak sedikit yang menempuh jalan Build-Operate-Transfer (BOT), yakni dengan memberikan izin kepada swasta untuk membangun, mengoperasikan, dan kemudian menyerahkan kembali aset infrastruktur kepada pemerintah. Juga dengan peluang terbuka pendanaan swasta, baik dengan investasi langsung maupun bentuk lain.

Jangankan daerah, pemerintahan nasional yang rajin melakukan utang luar negeri, apalagi rela dipaksa dengan mata uang asing, pastilah terjebak dalam jerat mematikan. Selamanya pemodal tak pernah melepas motif mencari keuntungan yang akibatnya berujung pada penyengsaraan rakyat. Beberapa bulan lalu Kenya terancam revolusi karena pemerintahnya membiarkan diri terus di bawah dikte Amerika dan IMF dalam hal kebijakan pembangunan yang biasanya selalu dikaitkan dengan demokratisasi.

Indonesia sendiri kini menerima warisan utang besar. Prabowo Subianto merancang program populis makan bergizi gratis yang diperkirakan memerlukan biaya Rp 4 ratusan triliun. Membayar bunga utang yang jatuh tempo saja akan mengiringi keniscayaan berat dalam pembelanjaan untuk kementerian dan lembaga yang dibangun begitu besar.

Determinan utama dibentuknya pemerintahan merdeka dan berdaulat menurut Pembukaan UU 1945 adalah warga negara (Rakyat). Lindungi dia, antara lain dengan memberinya pekerjaan agar harkat dan martabatnya terjaga, tak degradatif. Di banyak negara kini demokratisasi pekerjaan dan bahkan korporasi digagas begitu serius dengan sangat bertolak belakang dengan Semangat UU Ciptakerja ciptaan Joko Widodo.

Tetapi inilah negara yang diwariskan oleh nenekmoyang dan yang dipilihkan oleh Al-khaliq untuk bangsa Indonesia. Meski dengan hati sedih dan linangan air mata, belalah rakyat yang menderita kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan budaya (cultural violence) sepanjang sejarah di hamparan luas nusantara yang karena amat kaya raya hingga menjadi rebutan banyak negara untuk dijajah. Rasanya pantas secara khusus menyerukan kepada dua Paslon yang bersaing: “Padang Lawas Tanpa Pengangguran”.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE