Oleh Dr Agus Adhari, S.H., LL.M.
…jika selama permintaan (demand) pada kesalahan itu ada, maka selama itu pula penawaran (supply) keburukan akan tetap ada
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Jika dihitung berdasarkan waktu pasca gerakan Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) tanggal 7 Oktober 2024 sampai 11 Oktober 2024, hanya dalam waktu setengah tahun, dua prahara suap pada hakim terus mencoreng gerakan hakim yang ingin Mahkamah Agung menjadi lembaga yudikatif bersih. Tentu, bagi kalangan yang pernah membaca karya Sebastiaan Pompe yang berjudul “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”, akan bertanya apakah belum ada reformasi peradilan pasca reformasi? Harusnya, pasca reformasi, gerakan perubahan pada Mahkamah Agung mampu menekan laju korupsi peradilan. Namun yang terjadi justru praktik suap pada hakim tetap berjalan bahkan sampai saat ini.
Setidaknya, terdapat dua pola umum suap pada hakim: Pertama, pola menembak di atas kuda, di mana pihak yang disuap tidak terlibat dalam suatu perkara namun menikmati suap melalui jalur relasi kekuasaan. Pihak penerima suap sudah mengetahui isi putusan dan menjual rahasia isi putusan pada salah satu pihak yang dimenangkan, sehingga memancing pihak yang akan dimenangkan untuk memberikan suap padanya. Kedua, pola suap melalui jejaring, biasanya dilakukan antara hakim melalui Panitera sidang dengan cara menghubungi salah satu pihak untuk memberikan tawaran putusan, atau dari pihak berperkara/terdakwa yang memulai untuk menghubungi hakim melalui Panitera sidang.
Kedua pola di atas lazim dan umum terjadi pada setiap perkara suap yang melibatkan Hakim seperti kasus suap Hakim Agung, suap hakim di Surabaya dan terakhir suap hakim di Jakarta Pusat. Dilihat dari polanya, suap pada lembaga peradilan datang dari dua sisi, bisa dari hakimnya dan bisa pula dari pihak berperkaranya/terdakwa. Hal ini menunjukkan bahwa pola korupsi selama ini adalah pola lama yang terus digunakan tanpa mampu dihilangkan.
Reformasi Peradilan
Mahkamah Agung pascareformasi terus melakukan gerakan perubahan bahkan didukung oleh eksekutif dan legislatif bahkan oleh konstitusi melalui masuknya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang berfungsi menjaga martabat hakim agar terhindar dari praktik korupsi. Namun, pada praktiknya, keberadaan komisi yudial belum juga mampu memberikan perubahan signifikan pada upaya reformasi peradilan. Selanjutnya, masuknya hakim ad hoc pada pengadilan khusus yang bertujuan untuk memberikan warna baru pada susunan Majelis Hakim dan menjadi penyeimbang dalam penjatuhan putusan agar meminimalisir suap.
Namun, pada kenyataannya, hakim ad hoc juga terlibat dalam suap itu sendiri. Perubahan selanjutnya dilakukan membuat Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, melalui produk tersebut hakim diharapkan tunduk pada kode etik, namun praktiknya tidak semua hakim tunduk dan mematuhi KEPPH. Kemudian, perubahan juga dilakukan dengan memperkuat tugas dan fungsi Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas), namun keterbatasan ruang gerak Bawas juga tidak mampu membendung laju suap hakim. Terbaru, Mahkamah Agung membuat sistem robotik dalam menunjuk majelis hakim melalui Smart Majelis.
Sistem tersebut bagus selama moral hakim juga bagus, karena sistem hanya menunjuk hakim namun tidak mampu mendeteksi moralitas hakim yang ditunjuk. Rangkaian reformasi tubuh peradilan yang sudah dilakukan pasca reformasi belum optimal untuk meminimalisir laju suap pada hakim di persidangan.
Berkaca dari kasus suap yang melibatkan hakim agung hingga hakim tingkat pertama pada beberapa tahun ini, menunjukkan jika selama permintaan (demand) pada kesalahan itu ada, maka selama itu pula penawaran (supply) keburukan akan tetap ada. Hal ini juga telah menjadi pengetahuan umum dalam dunia peradilan, jika ingin mencari hakim nakal, tanya pada pengacara, jika mencari jaksa nakal, tanya pada hakim, jika ingin mencari pengacara nakal, tanya pada hakim dan jaksa. Lingkaran tersebut saling mengetahui baik dan buruknya moral tiap profesi.
Jalan Terjal Hakim Ideal
Di tengah merosotnya kepercayaan publik pada lembaga peradilan, terlebih pasca tiga kasus bersar yang melibatkan hakim agung dan hakim tingkat pertama di Surabaya dan Jakarta Pusat menjadi tamparan bertubi pada lembaga peradilan Indonesia. Masihkan dapat berharap keadilan pada Pengadilan? Tentu, pertanyaan tersebut adalah “Ya”, selain karena sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan, juga karena masih banyaknya hakim yang jujur di Indonesia, hanya saja, hakim yang jujur selalu tertutup oleh hakim nakal, meskipun penulis yakin, jumlah hakim jujur lebih banyak dari hakim nakal. Namun, karena keburukan lebih cepat tersebarnya, maka hakim jujur tak terlihat di permukaan bahkan tak jarang, ditempatkan jauh dari “peradaban” kasus besar.
Setidaknya, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Direktorat Jenderal masing-masing peradilan yaitu segera memutasi hakim secara bertahap dalam satu wilayah hukum. Kemudian melakukan tracking jejak hakim sebelum ditugaskan pada pengadilan pada wilayah besar, karena potensi suap pada pengadilan di wilayah kota besar lebih terbuka dibandingkan wilayah kecil.
Tentu, mengharapkan hakim yang ideal adalah cita-cita hukum itu sendiri, karena dalam upaya mewujudkan peradilan yang bersih dibutuhkan hakim yang juga bersih. Pola rekrutmen hakim tingkat pertama telah dilakukan secara terbuka, namun tidak ada jaminan ketika telah berada dalam sistem peradilan yang rentan godaan, pola rekrutmen berpengaruh pada integritas. Selama ini pola rekrutmen dilakukan dengan menilai kualitas akademik, namun belum ada sistem satupun yang ada di dunia yang mampu menyeleksi moralitas. Oleh sebab itu, dalam upaya mencari hakim ideal setidaknya perlu langkah-langkah khusus.
Langkah pertama, tutup semua celah fraud. Penulis mengutip teori “fraud diamond” (FDT) Wolfe dan Hermanson, hasil pengembangan Teori “fraud triangle” Donald R. Cressey. Dalam FDT, dikenal empat unsur yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalization) dan kemampuan (capability).
Tekanan utama hakim adalah kesejahteraan yang tidak berbanding dengan tanggungjawab. Dalam hal ini jangan samakan level kesejahteraan dengan jabatan yang secara kedudukan tanggung jawab lebih rendah (ini tidak equal). Beban ekonomi hakim yang memiliki tanggung jawab besar dan tour of duty berkala melahirkan motif hakim tergiur untuk melakukan fraud. Kemudian, kesempatan hakim melakukan fraud terbuka selama upaya penyuapan itu ada (ada demand maka ada supply).
Selanjutnya, rasionalisasi (pembenaran atas fraud) akan dilakukan hakim karena memandang kesejahteraan belum terpenuhi. Terakhir, kemampuan hakim untuk melakukan fraud lahir dari adanya permintaan (demand) pihak berperkara untuk dimenangkan. Keempat unsur tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Namun, selama ini upaya pencegahan dilakukan hanya terbatas pada upaya menutup ruang kemampuan (capability) dan kesempatan (opportunity) hakim dalam melakukan fraud. Sedangkan upaya untuk mencegah lahirnya pressure (motive awal) dan rasionalisasi (rationalization) tidak pernah dilakukan.
Langkah kedua, tracking rekam jejak hakim yang akan dimutasi pada kota besar. Tentu langkah ini perlu dilakukan melihat ruang opportunity melakukan fraud lebih besar pada pengadilan di kota besar, karena demand terhadap fraud yang tinggi. Langkah ini tentu bukan memastikan kesempatan fraud hilang seutuhnya, namun hanya meminimalisir, karena moralitas manusia dapat berubah seiring waktu. Setidaknya, upaya menyisir rekam jejak hakim jujur sudah dilakukan sebelum yang bersangkutan bertugas di kota dengan demand fraud yang besar.
Langkah ketiga, mutasi berkala secara masif hakim yang bertugas di kota besar. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya terkait potensi fraud yang besar di kota besar, maka mutasi hakim pada kota besar juga harus dilakukan secara masif dalam waktu terbatas untuk meminimalisir keburukan yang ditularkan oleh hakim nakal yang sebelumnya bertugas pada pengadilan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah lahirnya relasi kekuasaan salam membangunan sistem fraud baru pada hakim yang baru.
Langkah keempat, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi setiap perkara besar dapat dilakukan untuk membuat takut pelaku suap baik pihak berperkara maupun dari internal peradilan itu sendiri. Mahkamah Agung sudah menyiapkan ruang pelaporan internal melalui situ siwas.mahkamahagung.go.id atau melaporkan indikasi suap pada penegak hukum langsung. Hal ini bertujuan untuk menciptakan rasa takut baik pada pihak berperkara maupun pada internal peradilan.
Terlepas dari semua masalah tertangkapnya hakim dalam kurun waktu beberapa tahun ini, penulis sebagai hakim turut merasa malu terlebih jika sampai masyarakat menyamakan semua hakim adalah buruk dan dapat disuap. Semoga reformasi peradilan ke depannya mampu melahirkan sistem yang baik dan hakim yang baik secara bersamaan. Karena dalam sistem yang buruk, hakim baik dapat menjadi buruk dan dalam sistem yang baik hakim buruk belum tentu berubah menjadi hakim baik.
Penulis adalah Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Hakim Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya Kelas 1B, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi