Secara idiologi, bangsa kita telah memiliki kekuatan basis konseptual itu yaitu nilai-nilai dasar kehidupan yang terdiri dari lima sila dalam Pancasila. Tetapi hal itu masih bersifat normatif dan masih membutuhkan segi praktis agar menjadi kenyataan dalam kehidupan sosial
Perkembangan kehidupan setiap bangsa tentulah berkeinginan untuk mencapai kemajuan, atas dasar itulah, mereka mempunyai rakyat dan pemerintahan. Maka dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi yang sudah ada serta merancang berbagai program menuju masa depan berkemajuan.
Terdapat berbagai persepsi masyarakat terhadap pengertian berkemajuan. Sebagian berpandangan bahwa inti kemajuan terletak pada berbagai kelengkapan kehidupan yang bersifat inderawi dengan melakukan upaya percepatan untuk meraih kemajuan terutama yang berkaitan dengan pranata sosial ekonomi, pendidikan, politik, hukum, budaya dan sebagainya.
Sebagian lagi memahami kemajuan dari sudut pertimbangan rohani. Tidak jarang terjadi sikap mendua dalam memahami kemajuan. Sebagian hanya menekankan aspek materi dan sebagian lagi bersita immateri. Corak berpikir yang parsial seperti ini tentu sulit untuk mencapai tujuan karena manusia memiliki kebutuhan rohani dan jasmani.
Karena itu keduanya hendaklah dilihat sebagai sebuah pasangan yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Karena itulah diperlukan diperlukan pendekatan yang komprehensif untuk menuju kepada kemajuan berbangsa.Sehingga dengan demikian, untuk merancang basis konseptual kemajuan selayaknya dijauhi pola berpikir sepihak karena semua persoalan kehidupan umat manusia selalu bersifat inter-konektif antara yang satu dengan yang lain.
Sekalipun misalnya telah terjadi kemajuan di bidang sosial ekonomi dan politik atau berbagai aspek materi lainnya tetapi apabila hanya mengandalkan pertimbangan materi maka akan mudah terjadi kemunduran karena kunci pembangunan berkemajuan faktor subyek dan obyeknya terletak pada sumber daya manusianya.
Sebuah cita-cita menuju kehidupan berkemajuan akan memiliki kekuatan tahan uji manakala telah memiliki basis konseptual yang kuat. Secara idiologi, bangsa kita telah memiliki kekuatan basis konseptual itu yaitu nilai-nilai dasar kehidupan yang terdiri dari lima sila dalam Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusia, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Tetapi hal itu masih bersifat normatif dan masih membutuhkan segi praktis agar menjadi kenyataan dalam kehidupan sosial.
Basis konseptual sebuah kemajuan terletak pada gagasan, perencanaan dan pelaksanaan. Sebuah gagasan yang berangkat dari cita-cita dasar yang menjadi payung dari semua ide, pemikiran, gegasan pelaksanaan dan tujuan semuanya berakar dan bermuara pada Manusia Yang Berketuhanan.
Konsep kehidupan yang berketuhanan muncul ketika cita-cita kemajuan tidak berhenti sekedar angan-angan akan tetapi merupakan wujud sebuah cita-cita yang jelas sehingga menumbuhkan motivasi setiap yang terlibat didalamnya. Sebuah gagasan akan muncul manakala dilandasi motivasi berdasarkan kajian akademis dengan dukungan kekuatan rasa ingin tahu (curiosity).
Dengan demikian, cita-cita berkemajuan memiliki landasan kuat dalam konsep budaya akademik. Pengertian akademik tidak semata-mata didasarkan kepada simbol gelar akademis yang dicapai seseorang akan tetapi kesungguhan menatap masa depan.
Gelar akademis pada dasarnya hanyalah sekedar simbol yang menjadi pertanda seseorang telah melewati pendidikan akademis sehigga layak disebut disebut seorang intelektual. Tetapi kultur tersebut akan hilang manakala gambaran pemahaman terhadap intelektual sekadar simbol gelar akademis sebagaimana motif sebagian orang yang berlomba-lomba mencapai jenjang gelar akademis.
Karena itu, masyarakat hendaknya dibiasakan memiliki karakter budaya yang demokratis-profesional yang tidak menyandarkan diri kepada pengakuan simbolik berupa deretan gelar setiap melakukan penulisan namanya. Keberadaan sikap tersebut dapat dipandang sebagai residu kultur feodalistik yang tersisa dari masa lalu. Hal itu bukan berarti gelar akademis tidak baik akan tetapi perlu dibangun kesadaran bahwa gelar merupakan konsekuensi yang menuntut prestasi dan tanggung jawab pribadi yang menyandangnya.
Basis kedua kemajuan adalah perencanaan. Sebuah perencanaan diharapkan dapat menggambarkan skenario cita-cita yang akan diwujudkan menjadi kenyataan yang dimulai dari penjelasan sebuah cita-cita. Sebuah perencanaan akan menggambarkan tahapan rencana kerja yang akan dijalankan.
Setiap rencana kerja tidak sekedar berdasar angan-angan sekalipun hal itu juga perlu karena merupakan motivasi menggagas sebuah impian. Melalui rencana kerja, mengandung maksud setiap tahapan pekerjaan telah dipikirkan secara matang melalui diskusi yang panjang. Sebuah perencanaan dimulai dengan upaya memahami secara kongkrit potensi internal yang sudah dimiliki baik yang bersifat spiritual, material dan relasional serta tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Di samping itu, perlu juga dipetakan berbagai hambatan yang akan dihadapi.
Realitas modal yang bersifat spiritual adalah citra rohani yang menjadi dasar sebuah cita-cita yang akan diwujudkan. Spiritualitas adalah kekuatan rohani yang menjadi dasar terbentuknya semangat tahan uji, ketabahan mengikuti proses serta menjadikan setiap kegiatan bernilai ibadah.
Melalui kesadaran terhadap nilai ibadah, setiap yang masuk dalam lingkaran program menuju kemajuan menyadari pembangunan bukan pekerjaan sekejap tetapi berdimensi jangka panjang (long march) yang penuh onak dan duri. Melalui semangat yang demikianlah setiap orang selalu memiliki optimisme terhadap masa depan.
Basis ketiga adalah pelaksanaan. Dalam pelaksanaan sebuah gagasan hendaklah memiliki ketahanan baik fisik maupun mental karena setiap agenda pembangunan berpeluang akan dihadapkan kepada berbagai tantangan dan rintangan. Semakin besar sebuah bangsa maka tantangan dan rintangan semakin kompleks yang harus diantisipasi setiap bergerak dalam pembangunan.
Dari paparan di atas, maka suatu hal yang tidak bisa dipandang sederhana adalah terbangunnya integrasi atau keterpaduan seluruh potensi masyarakat dengan menjauhi perilaku diskriminatif. Perilaku diskriminatif akan menjadi virus yang berkembang biak pada jangka panjang yang kemudian menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa.
Padahal para pejuang bangsa sejak dahulu telah membangun semangat persatuan sekalipun di antara mereka memiliki berbagai perbedaan. Perbedaan masyarakat yang terjadi pada masa-masa perjuangan kemerdekaan sungguh sangat berat terutama karena mereka berbeda dalam idiologi politik karena mereka berasal berbagai latar belakang perbedaan.
Karena itu, sudah semestinya generasi masa kini berupaya membangun semangat keterpaduan dengan membudayakan pandangan positif (positive thinking) terhadap kelompok lain. Semua warga masyarakat tidak ada yang ingin kegiatan pembangunnan seperti politik mengakibatkan kerusakan sendir-sendi keterpaduan masyarakat. Karena, sebagaimana yang dikatakan Sukarno, pembangunan sebuah bangsa hendaklah merupakan pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa.
Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.