Aspek Geografi Dalam Sejarah Agama

  • Bagikan

Dalam aspek geografi sejarah agama Islam, melintasi batas bertujuan menyebarkan pesan perdamaian baik dengan jalan futuhat maupun dakwah. Futuhat adalah membawa pesan perubahan agar manusia menggunakan rasio terhadap hakikat keberadaan dirinya

Setiap agama yang diturunkan pada suatu kawasan akan mengakibatkan terjadinya dua hal yaitu membangun tempat tinggal (dwelling) dan kemudian menyeberang (crossing) ke wilayah berikutnya. Kegiatan membangun tempat tinggal disebabkan karena agama pada mulanya adalah merupakan keyakinan yang bersifat abstrak yang tidak kelihatan secara inderawi.

Agama yang berada dalam wilayah rohani idealnya menjadi landasan bagi setiap kegiatan manusia yang kemudian membentuk pranata sosial sebagai wujud kepentingan bersama seperti aspek kekuasaan melahirkan politik, kesejahteraan melahirkan ekonomi, internalisasi nilai melahirkan pendidikan, ketertiban yang melahirkan hukum, dan kreasi yang membentuk budaya dan sebagainya.

Adanya agama sebagai landasan nilai pranata sosial merupakan aktualisasi keyakinan kepada Tuhan, pendekatan diri kepadaNya serta membangun keserasian hidup kepada Tuhan dan lingkungan. Hal tersebut merupakan artikulasi dari akidah, syariat dan akhlak.

Tetapi kenyataannya sering substansi ajaran agama diabaikan karena manusia terpaku tujuan jangka pendek. Agama mengajarkan manusia berbuat baik, jujur, ikhlas, rendah hati namun kenyataannya tidak terwujud dalam perilaku.

Demikianlah pasang surut pergulatan agama dalam membangun kehidupan sosial untuk menuju kehidupan yang damai semua umat manusia tanpa dibatasi perbedaan kepercayaan, budaya, suku maupun lingkungan budaya.

Islam telah menyebar dalam waktu relatif singkat yaitu sekitar satu abad telah membentuk hemisperik Islam yang membentang dari Asia, Afrika dan Eropah. Hal itu bisa terjadi karena dorongan melintasi batas geografis, bagi Islam tidak hanya untuk bangsa dan suku tertentu tetapi merupakan wujud pesan kasih sayang Tuhan kepada semesta alam.

Dalam aspek geografi sejarah agama Islam, melintasi batas bertujuan menyebarkan pesan perdamaian baik dengan jalan futuhat maupun dakwah. Futuhat adalah membawa pesan perubahan agar manusia menggunakan rasio terhadap hakikat keberadaan dirinya.

Islam memperkenalkan di dunia Barat untuk membangun citra baru terhadap hubungan yang harmonis wahyu dengan rasio atau agama dengan ilmu. Hasilnya adalah lahir imperium yang memadukan doktrin teologi dengan rasionalitas.

Keadaan ini mengubah citra negatif agama di mata kaum intelektual yang memandang agama hanya landasan pembenaran praktik diskriminasi dengan mengatasnamakan agama yaitu religio-feodalisme yaitu sikap feodal yang dibungkus dengan agama.

Cepatnya proses Islam melintas ke eropah disebabkan keberhasilan para muballig membangun citra Islam sebagai kekuatan pembebas dari praktik diskriminasi, eksploitasi dan kolonisasi sekalipun yang dibela itu bukan muslim.

Kemudian Islam memperkenalkan konsep baru hubungan yang saling mendukung rasionalitas dengan doktrin ketuhanan. Demikianlah perlintasan Islam bermukim di eropah yang menghasilkan prestasi gemilang melalui semangat futuhat di Andalusia.

Sebaliknya, gerakan memperkenalkan Islam ke kawasan yang lain seperti nusantara mengambil jalan yang berbeda yaitu dengan jalan dakwah. Proses penyiaran Islam melalui dakwah membutuhkan waktu yang lebih lama karena kegiatan dakwah muncul sebagai kreativitas pribadi atau paling jauh kelompok bukan seperti futuhat yang dirancang dinasti kekuasaan.

Karena itu, kegiatan dakwah sering tidak teramati hasilnya bahkan besarnya prestasi para muballig kurang memperoleh apresiasi dari generasi kemudian karena munculnya anggapan bahwa dakwah justru menyuburkan sinkretisme yaitu percampuran kepercayaan baru yang dibawa Islam dengan kepercayaan lama yang dianut masyarakat sebelumnya.

Perlintasan Islam ke nusantara tidak melalui kegiatan ekspedisi melalui kebijakan daulah akan tetapi kesadaran pribadi menyiarkan Islam. Karena itu, dakwah sering tidak teramati hasilnya karena berlangsung dalam jangka waktu lama melalui pendekatan bertahap dan damai (penetration pacifique) oleh karena tema ajaran pertama yang diperkenalkan adalah membangun kembali akhlak.

Dalam format keberagamaan yang baru, pengenalan terhadap akhlak didahulukan untuk membangun simpati masyarakat agar tidak menyisakan konflik di belakang hari karena masyarakat tidak mengalami ketegangan psikologis-kultural akibat peralihan kepada Islam.

Dalam membangun kearifan, para muballig mulai dengan membangun keakraban dengan penduduk lokal melalui pergaulan dan berlanjut perkawinan. Dakwah yang tidak berlangsung melalui tim ekspedisi menghasilkan proses perlintasan dengan merubah pendekatan dengan membentuk pondok pesantren sebagai lembaga yang melanjutkan kesinambungan (continuity) budaya lama sambil secara bertahap memperkenalkan akidah dan syariah sehingga masyarakat mengalami perubahan keyakinan agama (change).

Tetapi karena telah didahului dengan pengenalan akhlak, masyarakat tidak merasa aneh lagi menerima dengan perubahan itu. Pengenalan lebih dahulu akhlak karena lebih ringan dampak perubahannya karena akhlak merupakan buah dari perubahan pandangan hidup.

Semua manusia pada dasarnya menerima akhlak sebagai landasan menuju kebaikan.

Para muballig membangun persepsi bahwa keyakinan lama yaitu Hindu, Buddha dan kepercayaan lokal lainnya bukanlah saingan dari agama yang baru yaitu Islam.

Penganut agama yang baru dan lama didorong untuk hidup secara berdampingan dengan meminjam simbol budaya lama untuk menjelaskan Islam. Akibatnya, masyarakat mengerti bahwa Islam sebagai ajaran yang baru sesungguhnya adalah ajaran yang asli (genuine) yang melakukan penyempurnaan terhadap ajaran yang lama.

Demikianlah proses penetrasi agama yang baru yaitu Islam berlangsung secara damai tanpa melahirkan gejolak yang berarti. Pemilihan tempat tinggal (dwelling) dan perlintasan (crossing) di Indonesia berlangsung dengan mulus tanpa menyisakan konflik antara agama dan adat.

Hal itu berbeda dengan peta geografis Islam di dunia Barat yang masih menyisakan islam phobia baik umat Muslim yang sudah ada maupun kepada kaum migran. Pada berbagai daerah, terjadinya perbedaan agama tidak menyebabkan konflik karena interaksi doktrin agama-agama menyatu secara budaya dalam dalam ikatan kearifan lokal. Ketika masyarakat mengamalkan doktrin agamanya mereka berpisah akan tetapi begitu kembali menekuni kearifan lokal mereka berjumpa kembali.

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • Bagikan