Aroma “Suap” WTP

  • Bagikan

Lalu apa yang harus dibanggakan kepala daerah/Pemda meskipun meraih status WTP tapi gagal total mendapatkan DID dan menyejahterakan rakyatnya. Apalagi predikat WTP diperoleh berbalut aroma suap seperti kasus yang menimpa Ade Yasin

Adalah Ade Yasin, Bupati Bogor (2018-2023) yang ditangkap KPK 27 April 2022. Ia terjerat dalam kasus dugaan penyuapan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mendapatkan kembali predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) atas atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2021.

Ade diduga kuat menyuap empat auditor BPK Perwakilan Jawa Barat senilai Rp 1,9 miliar. Hebatnya, auditor yang disuap hanya melakukan audit Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertetu saja. SKPD yang harusnya diaudit tidak lagi diaudit. Ada semacam pengkondisian termasuk auditor yang melakukan audit.

Penyuapan terjadi karena Pemda Kabupaten Bogor diperkirakan hasil auditnya jelek yang bisa mendapatkan disclaimer of opnion. Dan ini akanmenutup peluang untuk kembali meraih predikat WTP untuk laporan tahun 2021. Maka praktik suap menjadi solusi untuk mendapatkan kembali predikat WTP yang dianggap “sakral” itu.

Sebagaimana diketahui Ade Yasin adalah saudara kandung Rachmat Yasin, mantan Bupati Bogor dua periode (2008–2013 dan 2013–2014). Yasin ditangkap KPK pada 2 Mei 2014 dan masih menjalani hukuman penjara karena terjerat kasus yang sama dengan adeknya.

Mereka berdua adalah kepala daerah produk politik dinasti yang terjerat kasus korupsi. Ini menjadi bukti betapa buruknya politik dinasti yang seharusnya menjadi peringatan buat partai politik dalam mengusung calon kepala daerah.

Terkait dengan penangkapan Ade Yasin tersebut, Mahfud MD, Menko Polhukam, mencurigai masih adanya pihak-pihak tertentu yang memperjual belikan predikat WTP. Katanya: “Dulu kan ada isu WTP itu ada harganya. Jangan-jangan ini masih ada”.

Untuk itu Mahfud berharap agar BPK bisa berbenah. Jika tidak. Maka kepercayaan publik terhadap BPK akan luntur. BPK harus memperketat pemberian WTP sehingga jual beli WTP itu dapat ditepis. Ditambahkannya audit hendaknya tidak hanya menekankan pada aspek administratif dan prosedur semata seperti yang dipraktikan selama ini.

Sepertinya predikat WTP begitu penting sehingga kepala daerah terkesan begitu bernafsu untuk memperolehnya meskipun harus menempuh cara yang salah. Kalaupun harus membayar untuk mendapatkan status WTP sepertinya tidak lagi menjadi masalah bagi kepala daerah.

Mengapa begitu ungen status WTP tersebut bagi kepala daerah? Karena dianggap bisa mendongkrak citranya dan dijadikan sebagi indikator keberhasilan kerja. Bagi kepala daerah yang akan maju kembali di pilkada predikat WTP bisa dijual ke publik.

Bila bercermin dari kasus penangkapan Ade Yasin, ternyata predikat WTP yang diperoleh bukan didapatkan dengan cara yang benar. Aroma suap menyuap begitu kental terjadi. WTP tak lebih dari sebatas pengakuan formalitas yang bertolak belakang dengan praktik realitas audit.

Kasus Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi yang terseret kasus korupsi meski menjadi langganan tetap memperoleh predikat WTP. Membuktikan hal tersebut. Lima tahun terakhir ini sudah ada puluhan kepala daerah mendapat predikat WTP dan tersandung kasus korupsi.

Ada juga kepala daerah dengan kinerjanya buruk tapi mendapatkan predikat WTP. Ironisnya, WTP dijadikan sebagai tameng untuk menutupi praktik korupsi yang dilakoni kepala daerah selama ini.

Predikat WTP tidak menjadi patokan kepala daerah/Pemda dinyatakan bebas dari praktik korupsi. Persoalan WTP tak lebih dari pada kepatuhan terhadap undang-undang dan pembuatan serta laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Pelaporan Keuangan Negara (SPKN).

Jadi tidak perlu kepala daerah/Pemda merasa bangga berlebihan dengan status WTP yang diraihnya. Apalagi sampai menggelar acara syukuran dan pemberitaan yang jor-joran di media dengan keberhasilan mendapatkan status tersebut.

Sekali lagi WTP merupakan standar minimal yang harus dipatuhi kepala daerah/Pemda dalam penyajian LKPD berdasarkan SPKN. Dengan demikian WTP bukanlah sebuah prestasi luar biasa. Jadi tidak perlu menunjukkan sikap euforia berlebihan ketika mendapat status WTP.

Harusnya kepala daerah lebih mengejar target bagaimana mengurangi angka kemiskinan, penanggulangan gizi buruk (stunting), penyediaan sarana dan prasarana yang memberi peluang peningkatan ekonomi masyarakat. Penyediaan pelayanan dasar yang terjangkau dan pelayanan publik yang lebih baik.

Kesemuanya yang disebutkan seharusnya menjadi program strategis yang wajib diwujudkan kepala daerah sesuai janji kampanye. Realiasi program tersebut jauh lebih penting dan mendesak pelaksanaannya karena terkait langsung dengan kepentingan masyarakat di daerah.

Sementara WTP sama sekali tidak terkait dengan kepentingan masyarakat secara langsung. Artinya tidak ada dampak dari perolehan status WTP terhadap semua yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Faktanya memang demikian. Sebagian Pemda (provinsi/kabupaten/kota) yang sudah kerap mendapatkan status WTP angka kemiskinan tetap naik, infrastruktur buruk, pelayana publik bobrok, pelayanan dasar minim dan tata kelola pemerintahan amburadul.

Ada juga untungnya bagi Pemda yang meraih WTP karena berpeluang mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID). Itupun kalau penetapan Perda APBD tepat waktu dan implementasi e-government (e-budgeting dan e-procurement) dalam pengadaan barang dan jasa sudah terlaksana.

Ternyata banyak daerah yang mendapatkan WTP tapi gagal dalam memenuhi syarat ketiga, yaitu e-procurement dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sehingga tidak memperoleh DID dari pemerintah pusat.

Lalu apa yang harus dibanggakan kepala daerah/Pemda meskipun meraih status WTP tapi gagal total mendapatkan DID dan mensejahterakan rakyatnya. Apalagi predikat WTP diperoleh berbalut aroma suap seperti kasus yang menimpa Ade Yasin.

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan – Kota Padangsidimpuan.

 

 

Penulis: Oleh Effan Zulfiqar Harahap
  • Bagikan