Oleh Taufiq Abdul Rahim
Dalam dinamika kepemimpinan politik dan kekuasaan, berlangsung selaras dengan perkembangan zaman serta kepentingan politik yang dibangun oleh elite politik, sehingga keinginan untuk mendapatkan kekuasaan politik tidak mengherankan adanya usaha serta praktik meraih kekuasaan dengan menggunakan berbagai cara, ataupun ada istilah lainnya dengan “menghalalkan segala cara”. Ini dilakukan dengan melangkahi serta merekayasa berbagai aturan, undang-undang serta ketentuan, termasuk mengangkangi etika-moral dengan mengabaikan konstitusi yang sebenarnya berlaku secara sah dalam kehidupan kenegaraan.
Dengan demikian kepemimpinan politik dan kekuasaan yang diraih, diduduki serta diperoleh kekuasaannya dengan tata-cara yang tidak benar, tidak baik serta tidak berdasarkan aturan yang sesungguhnya, dalam dialektika politik modern dan demokratis akan menimbulkan konsekwensi logis serta rasional, memiliki risiko mendapatkan perlawanan rakyat.
Sesungguhnya teori politik dan kekuasaan modern, menghendaki demokrasi politik sesuai dengan keinginan politik berdasarkan aturan undang-undang dan sinergi dengan kepentingan politik rakyat dalam membangun serta menjalankan demokrasi politik yang benar, baik, sehat serta bertanggung jawab. Dalam pemahaman pemimpin politik bahwa, menurut Andrew Heywood (2019), ada tiga cara untuk memahami kepemimpinan politik yaitu perilaku kepemimpinan, kualitas kepemimpinan, dan nilai politik. Dalam praktik politik terhadap kepemimpinan politik lazimnya terjadi di infrastruktur dan suprastruktur politik atau pada lembaga pemerintah, partai politik, dan masyarakat.
Dapat dipahami bahwa, pemimpin politik berbeda dengan kepala lembaga pemerintahan, karena mereka lebih menggunakan kekuatan untuk mempengaruhi bawahannya. Karena itu kepemimpinan berkaitan dengan politik ini didukung oleh sistem yang berlaku. Maka menurut David Easton (1951) adalah, pemahaman dari sistem politik merupakan alokasi dari nilai-nilai, dimana pengalokasian nilai-nilai tersebut bersifat pemaksaan derngan kewenanangan.
Sementara itu dalam Modern Political Analysis menurut Dahl, Robert A (2002), sistem politik adalah sebagai pola yang tetap dari hubungan antar manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat yang berarti kontrol, pengaruh, kekuasaan atau wewenang. Demikian juga Gabriel Almond (1978) menyatakan bahwa, sistem politik merupakan interaksi yang terjadi dalam masyarakat yang merdeka, menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Sehingga jelas, sistem politik memiliki nilai etika-moral kemanusiaan.
Karena itu kepemimpinan dalam demokrasi politik modern secara sistemik menghargai interaksi antara masyarakat secara benar, baik melalui infrastruktur dan suprastruktur lembaga pemerintahan memiliki hubungan antar manusia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga pemimpin politik tidak memaksakan keinginan dan kehendaknya politik secara otoriter serta sistem politik yang saling berhubungan antara pemimpin dengan masyarakat yang saling menghargai serta menghormati.
Selanjutnya akan tercipta hubungan sinergi berdasarkan nilai-nilai kemanusian dan etika-moral, meskipun disadari adanya paksaan secara fisik bersifat sah. Namun demikian tidak melanggar hak azasi manusia yang hakiki, ini akan berakibat terjadinya perlawan, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi karena tekanan yang berlebihan dirasakan oleh masyarakat luas yang memiliki pemikiran yang lebih baik, maju serta tidak mengharapkan adanya otoritarianisme politik.
Apalagi memaksakan kekuasaan, kekuatan serta kehendak politik untuk menguasai, bahkan menjajah rakyatnya secara masif menggunakan kekuatan politik serta infrastruktur kenegaraan tertentu. Meskipun demikian bagi pemimpin yang terlalu rakus dan atau gila kekuasaan serta wewenang merasa terus menjadi penguasa, sementara kepemimpinan sudah berubah dan berganti, ini menggambarkan “post power syndrome” dan panik akut, seolah-olah masih bisa serta dapat mengatur kekuasaan dan kekuatan, merasakan bahwa pemimpin pengganti adalah orang yang pernah menjadi bawahan dan atau pembantunya pada masa lalu saat berkuasa secara politik, bahkan secara licik menjebak serta menjerat bawahannya seperti pembatu yang bodoh tidak berdaya.
Dengan demikian, pemimpin panik dalam konteks demokrasi modern memperlihatkan bahwa kekuasaan itu mesti disadari tidak berlangsung selama-lamanya, seolah-olah kekuasan dengan motivasi tertentu dan merusak demokrasi politik. Bahkan dengan berusaha merusak konstitusi dan tatanan aturan hukum serta etika-moral kekuasaan politik, melalui rekayasa politik dinasti dilanjutkan oleh anak keturunannya, menantu serta kerabat keluarga dekat serta saudaranya melalui sistem kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Sehingga kepanikan ini semakin meperlihatkan kompetensi, kualitas serta kapasitas pemahaman politiknya semakin bernilai rendah cacat hukum dan moral, juga tidak berharga sama sekali.
Dalam pemahaman Bahasa Indonesia menurut Daryanto (1997) bahwa, panik bermakna bingung, gugup, atau takut dengan mendadak; sehingga tidak dapat berfikir jernih, sehingga secara psikologis menimbulkan kegugupan, kebingungan dan ketakutan, bahkan kecemasan. Hal disebabkan selama berkuasa pemimpin tersebut berlaku otoriter, sewenang-wenang dengan keuasaan politik, berperilaku ugal-ugalan, melakukan praktik KKN, berkolaborasi dengan para oligarki politik dan ekonomi, menumpuk dan menguasai harta dan kekayaan dengan cara-cara yang tidak manusia serta ilegal, menguasai sumber daya alam bersama dengan kroni-kroninya. Demikian juga secara terstruktur, sistematis dan masif melakukan praktik politik otoritarianisme dengan melakukan kekuasaan berlebihan (abused of power), semua orang dan rakyat dibohongi serta tertipu dengan penampilan serta pencitraan seolah-olah merakyat, yang dibuat menggunakan manajemen rekayasa para buzzer rupiahnya yang dibayar khusus dari uang negara (anggaran belanja publik negara), dibawah cengkraman mental kolonialismenya.
Karena itu secara sadar semestinya pemimpin panik tersebut mesti diproses secara hukum telah merugikan negara serta rakyatnya sebagai pemilik sah kedaulatan serta kekuasaan politik negara tertinggi. Hal ini tidak dapat dibiarkan terus merajalela ingin berkuasa secara politik melalui tangan-tangan tertentu yang telah dibentuknya selamna ini pada saat pemimpin panik, culas dan licik ini berkuasa memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Mesti adanya tidakan serta penegakan hukum (equality before the law), dikarenakan banyak bukti hukum, yaitu latar belakang keluarga dan pendidikan yang tidak jelas serta tranparan, tentang pelanggaran hukum, hak azasi manusia, pembohongan terhadap rakyat dan negara, perampasan tanah adat dan ulayat, gila kekuasaan yang merugikan rakyat dari uang negara melalui pembagian bantuan sosial, bantuan langsung tunai (BLT) pada saat momen politik, ini mesti dialukan audit dan pemeriksaan ulang keuangan negara yang digunakan. Kemudian juga, dengan kelicikan serta keculasannya menciptakan pengakuan politik sebagai pemimpin yang baik serta berhasil, melalui media yang ditekan serta dibayar terhadap kerja-kerja influencer serta buzzer secara aktif, ini dilakukan juga melalui rekayasa angka-angka kuantitatif sebuah keberhasilan, sementara itu rakyat banyak tetap miskin, tertindas, sengsara dan melarat.
Dengan demikian, pemimpin panik dengan kesadaran etika-moral seluruh rakyat serta penegakan hukum yang konkrit, mengharapkan semua kebohongan, otoritarianisme politik yang dijalankan selama berkuasa sebagai tampuk pimpinan negara, saat ini diperlukan kejernihan serta kesadaran berfikir kolektif seluruh elemen masyarakat atau rakyat, sehingga kejahatan politik tidak berulang kepada anak keturunan (dinasti politik) yang berkuasa. Meskipun semua rakyat serta elemen masyarakat, organisasi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), melakukan perlawan politik setelah kekuasaan tidak lagi ditangannya. Namun demikian, secara hukum tidak serta-merta diabaikan dan didiamkan tanpa kejelasan hukum yang sudah sangat merugikan rakyat serta negara. Semestinya pemangku kekuasaan saat ini tidak lagi ragu dan takut mengambil tindakan serta hukum terhadap pemimpin panik selama ini membohongi, juga merugikan rakyat bahkan negara sekalipun. Karena saat ini pemimpin panik sedang berusaha bergentayangan mengatur kekuasaan baru dengan berusaha melakukan pendekatan kepada partai politik, pemimpin yang sedang berkuasa, mengatur strategi agar tetap aman mengendalikan serta mengatakan diri sebagai pemimpin partai politik perorangan yang tidak ada istilah dan referensi akademik yang mampu menjelaskan serta membenarkannya.
Penulis adalah Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Perneliti Senior PERC Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.