Scroll Untuk Membaca

Opini

Analisis Politik Sesat Nepotisme Dinasti Keluarga

Analisis Politik Sesat Nepotisme Dinasti Keluarga

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Dalam ilmu politik, juga kajian politik sebenarnya aktivitas yang melibatkan interaksi manusia dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Maka dapat dipahami, ditinjau, dianalisis pada berbagai sudut pandang politik tidak terlepas dari rujukan keilmuan atau ilmu pengetahuan dan berbagai peristiwa secara empiris berlaku dalam kehidupan masyarakat atau rakyat, karena laboratorium berbagai ilmu pengetahuan dan politik ada ditengah kehidupan ril masyarakat. Sehingga tidak dapat dipungkiri, tidak mengherankan jika ilmuan atau para pakar politik menjelaskan, menganalisis, memberikan pemahaman serta kesimpulan yang sebenarnya terjadi, ini dapat dilakukan dengan kemampuan analisis yang dapat diterima setiap orang ataupun manusia. Karenanya peristiwa penting menyangkut aktivitas, perilaku dan perbuatannya mesti selaras dengan aturan hukum, ketentuan undang-undang, menjunjung tiinggi etika-moral manusia serta masyarakat umum, juga secara universal. Sesungguhnya, ini berhubungan langsung dengan harkat dan martabat, harga diri serta hak azasi manusia, sebagai makhluk yang memiliki kesamaan dan kesetaraan dalam kehidupan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Analisis Politik Sesat Nepotisme Dinasti Keluarga

IKLAN

Karena itu, secara realisme politik berkaitan dengan hidup manusia, baik aktivitas, perilaku dan keputusan menentukan kehidupan menurut Hornby (1974, 645) yaitu, bertindak atau menilai dengan bijak, baik, serta bijaksana. Hal ini sangat persuasif pemahaman tentang politik sebagai sikap pribadi ataupun perbuatan yang memiliki nilai leksikal. Demikian pula, hal ini terhadap upaya untuk mewujudkan what is, dan bukannya ought to be. Hal ini sebagaimana pemahaman politik yang dinyatakan oleh Scruton (1982, 395) yaitu prinsip dasar pendekatan ini diasumsikan bahwa, tujuan aktor utama politik adalah kekuasaan, kemudian cara menggunakan dan bagaimana menambahkannya. Sesungguhnya kekuasaan menjadi tujuan utama aktor dalam dunia politik. Demikian juga mesti diperhatikan bahwa, etika-moral serta keabsahan undang-undang seringkali tidak menjadi pertimbangan penting, meskipun  menerima nilai ideal dan moral berperan dalam konteks penggunaan kekuasaan.

Pada dasarnya secara rasional politik serta perkembangan kehidupan modern, politik dengan kepemimpinan yang lebih baik adalah, mengaktualisasikan integritas, kompetensi, kapasitas serta memanfaatkan kemampuan untuk menggunakan, mengurus atau mengelola kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Dengan berbagai fasilitas yang dimiliki berasal dari kepatutan, kepatuhan antara hak dan kewajiban rakyat terhadap aturan undang-undang, aturan, serta menjunjung tinggi etika-moral secara tegak lurus dan bijaksana. Sehingga kehidupan yang mormatif dan ideal tidak terpengaruh oleh kondisi negatif yang memilki risiko kehidupan yang tinggi. Dengan demikian politik berlangsung serta dilaksanakan dengan prinisip yang adil, jujur, benar serta bertanggung jawab, jauh dari pada praktik politik sesat yang dijalankan dalam melakukan harmonisasi, kedamaian, keadilan, kemerataan dan bertanggung jawab untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan terhadap kehidupan rakyat yang sesungguhnya.

Karena itu terminologi kata sesat, terhadap praktik politik sesat bermakna tidak bertanggung jawab terhadap usaha menciptakan kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik, makmur serta sejahtera. Demikian juga sesat dalam etimologi bahasa secara ilmiah populer, dikemukakan oleh Heppy El Rais (2015) yaitu, tidak melalui jalan yang benar, salah jalan; salah/keliru benar, berbuat yang tidak senonoh, menyimpang dari kebenaran, salah didik atau sukar diajar, salah jalan sama sekali, menempuh jalan salah, perbuatan yang tidak patut, berbuat yang tidak senonoh, salah pendirian dan bingung. Sehingga pemahaman politik yang sesat menunjukkan penyimpangan yang sangat luar biasa yang sesungguhnya tidak dapat ditolerir dengan menggunakan rasionalitas serta akal sehat. Maka tidak mengherankan mendapatkan cemoohan, cacian, makian, umpatan bahkan secara psikologis sangat berperilaku “menjijikkan juga gila”. Dalam pemahaman pelaksaan kepemimpinan politik kekuasaan dapat dikatakan sebagai bernilai tidak baik ataupun tidak bijaksana dalam mejalankan kekuasaan, rakus kekuasaan, sehingga kondisi menjadikannya tidak harmonis, tidak adil, tidak merata, tidak menghargai ketentuan hukum yang berlaku, tidak senonoh terhadap kekuasaannya, bahkan sama sekali tidak memiliki etika-moral dengan tidak patut melanggar serta menyimpang dari ketentuan dan hukum yang berlaku. Bahkan semakin bangga dengan berbagai penyimpangan serta kekeliruan yang dilakukan, berpura-pura tidak tahu, berperilaku bodoh, merasa diri benar karena sangat berkuasa, sehingga siapapun yang bertentangan jika tidak dapat diakomodir dan sepakat dengan keinginan kepentingan politiknya dapat menjadi korban.

Ada sebuah ilustrasi berpura-pura bodoh untuk mencari pengaruh kesuksesan, ini dilakukan oleh Francois VI (Duc  de La Rochefoucaul) sebagai sebuah kelicikan dan kecerdikan merupakan senjata untuk mempengaruhi orang lain dengan peranannya yang sangat berarti. Disni La Rochefoucauld dengan memperhatikan politik dan intrik politik Perancis yang rumit. Bagaimana orang-orang berlomba untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh dengan berbagai cara. Maka jika cerdas dan ambisi dapat menjadi bumerang, karena dapat menjadi sasaran orang lain untuk menjatuhkannya. Pada realitasnya, strategi berpura-pura bodoh ini sangat efektif untuk mendapatkan kekuasaan politiknya, sehingga orang-orang sekitar tidak menganggapnya sebagai ancaman, bahkan dapat diandalkan. Akan tetapi dibalik sikapnya yang tampak sederhana, terus melakukan strategi licik dan cerdiknya terus memperkuat kekuasaan politiknya, juga dengan para koneksinya memperkuat keputusan-keputusan penting dibalik layar dengan kelicikan dan kelicikannya sebagai keputusan resmi istana. Namun secara rasional banyak yang menyadari kelicikan serta kecerdikannya dan tidak terjebak dibalik sikap kesederhanaannya dalam kekuasaan politik tersebut, meskipun terhadap sebagian besar orang awam, menjadikannya strategi dan senjata ampuh dengan berpura-pura bodoh tetapi demikian berkuasa secara politik, bahkan berkuasa secara absolut serta otoritarian.

Dalam politik kontemporer nasional, ternyata strategi berpura-pura bodoh pemimpin dipaktikkan nyata dalam dunia politik, juga memanfaatkan orang-orang, kroni, pejabat penting yang ikut mempermainkan ritme dan strategi agar pemimpin dan elite yang berpura-pura bodoh serta sederhana mendapatkan simpati masyarakat ataupun rakyat luas. Diamana awalnya berhasil dan semakin menggila kelicikan serta kecerdikan yang dimainkan, termasuk menjebak para pejabat disekitarnya dengan dengan memberikan kewenangan kekuasaan politik, bahkan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara bebas, ugal-ugalan serta liar, kemudian ini menjadikannya leluasa dan kewenangan kekuasaan politik yang dipegangnya. Demikian juga, kekuasan politik yang dimilki semakin liar meluas kepada anak, ipar (paman anaknya), menantu dan kroni keluarga disekitarnya. Sehingga terbentuk kekuatan dan kekuasaan keluarga sebagai dinasti politik yang sangat menentukan, dalam berbagai kebijakan politik didukung oleh orang disekitarnya ataupun pejabat politik yang ikut membantu memperkuatnya kekuasaannya yang berlebihan serta otoriter. Hal ini didukung dengan ikut memnguasai sumber daya ekonomi dan sumber daya alam (resources), sehingga kekuasaan politik dan dinasti keluarga yang mewariskan kekuasaan semakin kuat, karena hampir semua potensi penguat kekuasaan dari aturan hukum, kekuasaan kebijakan politik, para pejabat pembatu kekuasaan politik, kapitalisasi politik dan ekonomi didukung oligarki ekonomi-politik, juga media informasi dikuasainya. Ini semua dilakukan pada awalnya dengan strategi berupra-pura bodoh dan sederhana, namun dibalik semua itu penuh dengan kelicikan, kecerdikan, keculasan, kerakusan kekuasaan (abbused of power), sehingga menjadi otoriter dan siap meneruskan kepada kroni dan keluarganya secara dinasti politik kekuasaan.

Dengan demikian, praktik politik sesat dengan memanfaatkan kekuasaan politik cara licik mencari simpati rakyat pada awalnya berpura-pura bodoh dan sederhana, kemudian menjadi penguasa tunggal dengan otoritatif dan menurunkannnya kepada anak, menantu dan keturunannya. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran serta kehausan keuasaan politik praktik Machiavelist, termasuk menguasai seluruh infrastruktur kekuasaan politik dan pemerintahan, sehingga kesesatan semakin nyata diturunkan pada dinasti nepotisme keluarga.       

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE