Oleh: Rahmad Syah Putra
Kehadiran Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di tengah masyarakat bagaikan dua sisi mata pisau. Artinya, jika manusia tidak dapat mengembangkan kemampuannya, tentu akan mengalami berbagai ketertinggalan dalam berbagai bidang, misalnya dalam industri makanan. Saat ini, akibat perkembangan AI yang semakin pesat, telah menyebabkan pula lahir industri-industri makanan instan atau ubahkan buatan, sebagai contoh daging dan telur buatan dari laboratorium yang saat ini sedang dirancang sebagai solusi menjawab kebutuhan pangan masa depan. Jadi, berbekal teknologi dan ilmu pengetahuan mengenai sel dan pemanfaatan AI, maka usaha merancang makanan buatan cukup dengan mengambil sampel jaringan, lalu pergi ke laboratorium, menyediakan media untuk pengembangbiakan jaringan, dan terakhir dengan menanamkan jaringan itu pada media yang sudah disiapkan, tumbuhlah tanaman dengan cepat, di mana teknologi ini kemudian dikenal dengan istilah teknologi kultur jaringan (bioculture).
Untuk membuat daging kultur buatan di laboratorium, ilmuwan menggunakan stemcell atau sel punca dari hewan, yakni jenis sel yang bertugas untuk menggantikan sel-sel penyusun tubuh yang rusak. Sel punca memiliki kemampuan istimewa, yaitu dapat memperbanyak diri sendiri dan belum berdiferensiasi atau belum terprogram menjadi sel atau jaringan yang diinginkan. Sel punca diambil dari hewan dengan cara biopsi. Selanjutnya sel punca yang sudah diambil akan diisolasi dan ditransfer ke media yang mengandung nutrisi untuk dilipatgandakan.
Hasil dari konsep ini sangat luar biasa, peneliti dari Universitas Oxford dan Universitas Federico II Napoli juga mengungkapkan bahwa makanan yang sepenuhnya buatan AI terlihat lebih lezat daripada aslinya.
Pada akhir 2019, ada sekitar 55 perusahaan di dunia yang mengembangkan daging kultur buatan atau disebut juga daging sintesis. Salah satunya adalah Super Meat yang berada di Israel. Mereka mengembangkan beragam produk daging ayam kultur buatan. Beberapa ahli berpendapat bahwa industri daging berbasis sel punca ini merupakan masa depan industri pangan yang lebih ramah lingkungan dan manusiawi.
Awal Perkembangan
Konsep daging buatan ini sudah dimulai sejak tahun 1998,di mana penelitian ini diawali oleh Jon Vein, dan mematenkan daging buatan yang telah dikembangkan di laboratorium dengan menggunakan teknik kultur sel dan jaringan. Semenjak saat itu, perhatian dan teknologi yang digunakan dalam memproduksi daging buatan semakin berkembang pesat. Namun ide daging sintesis untuk dikonsumsi oleh manusia sudah ditulis oleh Winston Churchill pada tahun 1932 dalam esainya “Fifty Years Hence” yang kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku “Thoughts and Adventures” terbitan London halaman 24-27, di mana disebutkan bahwa manusia akan mengembangkan bagian-bagian ayam secara terpisah di dalam medium yang tepat. Dengan adanya daging buatan ini, masalah ketersediaan pangan global di masa yang akan datang dapat tercukupi dan sekaligus mengurangi dampak yang lingkungan yang lainnya.
Merujuk kepada konsep yang telah dikembangkan Jon Vein, para peneliti di Amerika mengembangkan pula pengembangan berikutnya pada laboratorium, sehingga menghasilkan suatu daging buatan yang siap saji yang sempurna. Setelah melewati berbagai uji klinis dan pengawasan obat makanan. Maka secara perdana, Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan daging hasil rekayasa genetika yang dikembangkan di laboratorium.
Upside Foods dan GoodMeat asal negara bagian California merupakan dua perusahaan pertama di AS yang sudah menuntaskan proses peraturan baru tersebut untuk disalurkan ke berbagai pasar.Dilansir dari New York Post dan Media Indonesia pada Kamis 22 Juni 2023 menyebutkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada November 2022 telah menyatakan bahwa daging hasil rekayasa genetika produksi dua perusahaan tersebut aman untuk dikonsumsi.Daging yang dikembangkan di laboratorium itu sebenarnya mengandung protein hewani. Akan tetapi, tidak seperti daging tradisional, sehingga daging buatan ini tidak melewati proses penyembelihan hewan.
Untuk menjawab tantangan terhadap ketersediaan pangan global di masa depan, Amerika Serikat terus mengembangkan teknologi AI untuk menyediakan daging buatan sebagai sumber makanan alternatif bagi populasi manusia di dunia.
Sebagaimana dilansir dari Times Indonesia (2023), Departemen Pertanian Amerika Serikat bekerjasama dengan Universitas Tufts telah mengalokasikan pula anggaran untuk riset pengembangan terhadap daging buatan tersebut. Sebuah tim yang dipimpin oleh profesor David Kaplan dari Universitas Tufts telah menerima pula hibah sebesar $10 juta atau setara dengan Rp 139,72 miliar untuk pengembangan daging buatan yang dihasilkan dari sel-sel yang ditanam dalam bioreaktor. Diharapkan dengan bekerjasama melalui beberapa perusahaan-perusahaan di Israel, Jepang, dan Amerika Serikat yang telah bekerja untuk memproduksi daging kultur sel yang menyerupai daging sapi, ayam, dan makanan laut, dengan beberapa contoh yang sudah tersedia di restoran di seluruh dunia, ada pertumbuhan industri daging budidaya, dan diharapkan menjadi solusi untuk atasi krisis pangan global.
Peran Perguruan Tinggi
Melihat perkembangan AI yang sangat pesat tersebut, maka yang menjadi pertanyaan saat ini ialah bagaimanakah keberlangsungan hidup manusia dengan mengkonsumsi daging buatan tersebut? Tentu hal ini menyebabkan kekhawatiran dari seluruh masyarakat, terutama masyarakat di negara berkembang. Dengan semakin mudah dan murahnya penggunaan AI untuk menghasilkan berbagai jenis makanan buatan, para peneliti mulai pula memperingatkan bahwa kondisi demikian dapat menimbulkan masalah di masa depan, terutama menyangkut dalam bidang kesehatan. Misalnya, terkait nutrisi. Saat ini belum diketahui apakah daging buatan tersebut baik bagi kesehatan atau tidak. Sebab, meski ilmuwan dapat mengatur jumlah lemak dan kolesterol dalam daging buatan, tetapi besar nutrisi daging kultur buatan sendiri belum dapat diketahui.
Maka salah satu tantangan bagi peneliti dan perguruan tinggi saat ini ialah bagaimana mereka melakukan riset untuk menjawab kemaslahatan umat di masa akan datang, terutama menyikapi perkembangan AI dengan berbagai solusi kongkret yang ditawarkan.
Ketika daging buatan telah mampu dihasilkan oleh AI, maka tentu yang menjadi tantangan ke depan ialah bagaimana untuk menjamin siklus hidup manusia dan lain sebagainya. Diperlukan kajian dalam berbagai aspek keilmuan menyangkut dengan hadirnya teknologi AI dalam memproduksi daging buatan ini, seperti bidang kesehatan, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Saat ini umat Islam, Hindu, Kristen, Yahudi masih belum menyepakati apakah daging buatan ini memenuhi standar hukum dalam keyakinan mereka. Untuk itu diperlukan kajian menyangkut status hukum menurut masing-masing agama terkait isu tersebut, termasuk salah satunya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia.
Diharapkan PTKI yang fokus dalam pengkajian pada bidang hukum Islam mampu segera menjawab terhadap status hukum menyangkut kehadiran daging buatan tersebut, dan menentukan status halal-haramnya daging tersebut. Sehingga kemaslahatan umat akan terjaga.
Penulis adalah Pengajar pada Program Studi Magister PMP Universitas Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh