2022: Konsolidasi Demokrasi?

  • Bagikan

Tahun 2021 baru saja berakhir. Kini kita memasuki tahun 2022. Apa yang bisa kita ambil hikmah dari pergantian tahun 2021 ke 2022 dalam demokrasi kita? Bagi saya, tahun 2022 adalah tahun dimana persoalan Konsolidasi Demokrasi dikemukakan kembali. Mengapa?

Tentu saja saya memiliki beberapa alasan. Saya tertarik dengan pernyataan J Kristiadi,–pengamat politik yang menulis opininya di harian Kompas (18 November 2021): Tahun 2022: Memantapkan Stabilitas Politik.

Menurutnya, sejauh ini demam pemilu meski menghangat tetapi masih wajar. Dinamika politik yang kontributif jadi modal awal menggembirakan menapak 2022. Ada beberapa fenomena politik sebagai modal memantapkan stabilitas politik.

Riuh rendah festival rakyat mulai dirasakan intensitasnya melalui media sosial terkait wacana dukungan calon presiden dan wakil presiden serta main tebak pasangan mereka; juga dengan pemasangan ribuan baliho raksasa capres dan cawapres 2024 di berbagai pelosok Tanah Air.

Pernyataan yang sama juga dilontarkan Menko Polhukam Mahfud Md di sejumlah media bahwa ia optimis kondisi politik pada 2022 tetap stabil, kondusif dan terkendali. Walaupun dia memperkirakan di ranah praktis akan lebih dinamis karena jelang Pilkada serentak pada 2024.

Kondisi Politik tahun 2022 diperkirakan akan tetap stabil, kondusif dan terkendali pada tataran kebijakan, meski di ranah praktis situasinya diperkirakan akan lebih dinamis karena akan ada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan diselenggarakan secara serentak pada tahun 2024.

Pernyataan kedua tokoh penting itu, menggambarkan kepada kita bahwa demokrasi Indonesia sedang baik-baik saja. Itu dibuktikan dengan ritualitas praktek pemilu yang, terutama menuju Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024.

Kita seolah dibawa pada suasana dimana Indonesia sedang menuju sebuah proses apa yang disebut Konsolidasi Demokrasi. Sebuah fase lanjutan dari transisi demokrasi yang telah kita jalankan sejak Reformasi 1998.

Transisi demokrasi selesai ketika kesepakatan yang memadai telah dicapai tentang prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan terpilih, ketika pemerintah berkuasa yang hasil langsung dari pemungutan suara yang bebas dan populer, ketika pemerintah ini secara de facto memiliki wewenang untuk menghasilkan kebijakan baru, dan ketika kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dihasilkan oleh demokrasi baru tidak harus berbagi kekuasaan dengan badan-badan lain secara de jure (Juan J. Linz and Alfred Stepan, 1996).

Tapi, benarkah kita akan menuju fase Konsolidasi Demokrasi? Untuk menjawab persoalan tersebut, penting bagi kita untuk memahami secara konseptual apa yang disebut Konsolidasi Demokrasi.

Konsolidasi Demokrasi
Kita harus memahami bahwa demokrasi membutuhkan lima arena yang saling berinteraksi untuk menjadi demokrasi yang terkonsolidasi. Arena ini, yang berinteraksi dengan dan memperkuat satu sama lain, adalah:

Masyarakat sipil yang hidup, masyarakat politik yang relatif otonom, negara hukum, negara yang dapat digunakan secara adil bagi masyarakat, dan masyarakat ekonomi.

Linz dan Stepan (1996) menawarkan konsep kerangka konsolidasi yang telah menjadi sangat berpengaruh dan yang menginformasikan banyak dari yang lain; dimensi perilaku, sikap, dan konstitusional dari konsolidasi, di mana “demokrasi menjadi rutin dan mendalam” terinternalisasi dalam kehidupan sosial, kelembagaan, dan bahkan psikologis seperti dalam perhitungan politik untuk mencapai kesuksesan.”

Dalam konsolidasi demokrasi, mungkin ada konflik yang intens, tetapi tidak signifikan aktor politik atau sosial berusaha untuk mencapai tujuan mereka dengan ilegal, inkonstitusional, atau antidemokrasi.

Selanjutnya, meskipun mungkin ada masalah pemerintahan yang parah dan ketidaksetujuan yang meluas terhadap pemerintahan saat ini, elit dan masyarakat luas secara luar biasa percaya “bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah yang paling cara yang tepat untuk mengatur kehidupan kolektif.”

Konsolidasi demokrasi dibina oleh sejumlah institusi, kebijakan, dan perubahan perilaku. Banyak di antaranya meningkatkan tata kelola langsung dengan memperkuat kapasitas negara; liberalisasi dan rasionalisasi struktur ekonomi; mengamankan ketertiban sosial dan politik dengan tetap menjaga kebebasan dasar; meningkatkan akuntabilitas horizontal dan supremasi hukum; dan pengendalian korupsi.

Lainnya meningkatkan fungsi perwakilan pemerintahan yang demokratis dengan memperkuat partai politik dan keterkaitan dengan kelompok sosial, mengurangi fragmentasi dalam sistem kepartaian, meningkatkan kapasitas otonom dan akuntabilitas publik badan legislatif dan pemerintah daerah, dan menyegarkan masyarakat sipil

Faktor kuncinya mungkin pola perilaku (dan keyakinan, jika kita dapat menemukan cara yang andal untuk mengukurnya) dari pemain utama dalam hal ini sistem. Mungkin tidak ada pemain antisistem yang signifikan dan eksplisit tetapi ada instansi militer dan polisi yang tetap, atau tidak bertanggung jawab kepada otoritas sipil dan menghina hukum dan norma konstitusi.

Implikasi dari tanda-tanda perilaku yang tidak merata, ambivalen, atau memburuknya komitmen demokrasi ada dua. Pertama, dalam kasus itu di mana pejabat yang kuat (dipilih dan tidak dipilih) dan orang-orang kuat dan kelompok-kelompok di luar negara berperilaku seperti ini, kebebasan sipil menjadi dilecehkan, kekuatan oposisi dilecehkan, Pemilu bisa menjadi kekerasan (dan bahkan curang), dan demokrasi dilubangi.

Kedua implikasinya lebih spekulatif, tetapi mengikuti secara logis. Jika ini kasar elit tidak bertindak melawan bentuk konstitusional demokrasi, mereka komitmen untuk itu tampaknya tetap bergantung dan instrumental daripada rutin, terinternalisasi, dan berprinsip.

Dan banyak nilai instrumental yang mereka peroleh dari mempertahankan bentuk demokratis (atau fasad), seseorang dapat berspekulasi, berutang kepada internasional sistem, yang membebankan biaya pada negara yang menjungkirbalikkan demokrasi.

Jika tekanan internasional ini (atau persepsinya) pernah surut, kelangsungan hidup demokrasi yang lemah juga akan berkurang. Internasional, dan terutama regional Eropa, kendala akhirnya membantu mengonsolidasikan demokrasi di Eropa Selatan, dan melakukannya hari ini di beberapa negara di Eropa Tengah Timur.

Karena mereka dipercepat dan diperkuat perubahan abadi dalam budaya politik elit dan massa. Budaya seperti itu perubahan tidak terjadi di antara elit kunci di banyak gelombang ketiga demokrasi, meskipun demokrasi tersebut telah bertahan.

Menurut definisi, demokrasi tidak dapat dikonsolidasikan sampai militer menjadi benar-benar tunduk pada kontrol sipil dan berkomitmen kuat menuju tatanan konstitusional yang demokratis.

Lebih spesifik. sebagai Felipe Aguero memasukkannya ke dalam Tema dan Perspektif, “supremasi sipil” memberi pemerintah yang dipilih secara demokratis otoritas yang tidak perlu dipertanyakan atas semua kebijakan arena. termasuk mendefinisikan tujuan dan mengawasi organisasi dan pelaksanaan pertahanan negara.

Dalam sistem seperti itu, peran militer terbatas pada masalah pertahanan nasional dan keamanan internasional-dengan militer dibebaskan dari semua tanggung jawab untuk keamanan internal-dan struktur pemerintahan (seperti kementerian pertahanan sipil) ditempatkan di tempat untuk memungkinkan warga sipil melakukan pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap militer (serta dinas intelijen).

Sebuah kunci. elemen di kemajuan pesat menuju konsolidasi demokrasi baru Spanyol, Portugal. dan Yunani adalah pendirian (difasilitasi sebagian oleh integrasi ke dalam NATO) dari norma dan struktur tersebut (Larry Diamond, 1997).

Di mana militer sebagai sebuah institusi memiliki tradisi intervensi politik yang panjang dan di mana ia mempertahankan politik dan ekonomi yang luas? Demokrasi menghadapi kesulitan dan bahaya yang khusus tantangan.

Dalam keadaan seperti itu, membangun supremasi sipil adalah hal yang kompleks dan biasanya berlarut-larut proses, membutuhkan banyak faktor yang mempromosikan demokrasi konsolidasi secara umum: kepemimpinan politik yang terampil, persatuan di antara warga sipil kekuatan politik (melintasi partisan dan perpecahan lainnya), dan keahlian sipil (baik di dalam maupun di luar pemerintahan) tentang masalah keamanan nasional, sebagai serta keberuntungan (dalam bentuk perpecahan di dalam militer dan kegagalan pemberontakan militer).

Reformasi yang berhasil juga membutuhkan jangka panjang visi kebijakan. Biasanya ini melibatkan pengurangan ukuran secara bertahap militer (dan karenanya kapasitasnya untuk merebut dan menjalankan kekuasaan politik) sekaligus meningkatkan kapasitas militer untuk menjalankan misi pertahanannya, menjaga gaji pada tingkat yang terhormat, dan menjaga kehormatan militer sebagai institusi.

Penutup
Berdasarkan pada kerangka pemikiran konsep Konsolidasi Demokrasi di atas, ada banyak persoalan kita—memasuki tahun 2022 ini yang belum selesai. Demokrasi yang kita jalankan masih sekedar procedural dan ritual. Masih jauh dari sisi demokrasi yang berkualitas.

Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang memuaskan warga dan tidak menimbulkan masalah (Warjio, 2022). Praktek demokrasi dengan melihat hasil Pemilu 2019 serta Pilkada Serentak 2020 yang banyak masalah sehingga di bawah ke pengadilan.

Masyarakat ekonomi yang hanya didominasi segelintir kelompok sementara kelompok lain terpinggir, keterlibatan militer dan polisi dalam hak politik warga mencerminkan kita sebenarnya sedang menghadapi pengikisan demokrasi yang menimbulkan persoalan Kondolidasi Demokasi.

Karena itu, konsolidasi perlu ditopang oleh legitimasi yang dalam dan meluas demokrasi. Dan legitimasi ini diinternalisasi, dipraktikkan, dan ditransmisikan lintas generasi politik-melibatkan lebih dari komitmen untuk demokrasi secara abstrak; itu juga memerlukan kepatuhan terhadap aturan khusus dan batasan sistem ketatanegaraan. Karena jika tidak, ia hanya pepesan kosong. WASPADA

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Fisip USU, Penulis buku Mengukur Kualitas Demokrasi (2022).

  • Bagikan