Teuku Rayuan Sukma diapit Zul Ilmi dan Nurul Akmal. Waspada/Ist
ADA catatan epik dibalik raihan dua medali perak lifter Aceh yang tampil di SEA Games 2023 Kamboja; Nurul Akmal dan Muhammad Zul Ilmi. Narasi bertenaga itu diuraikan HT Rayuan Sukma. Dia adalah Ketua PABSI Aceh. Bosnya sang lifter.
Teuku Rayuan Sukma ikut menyaksikan langsung di Phonm Phenh Kamboja kala ketua anak asuhnya bertanding. Ia ikut mendampingi Ketua Umum KONI Aceh H Kamaruddin Abubakar serta Ketua Pelatda PON Aceh H Bakhtiar Hasan serta Bendahara KONI Kennedi Husen.
Rombongan ini terbang khusus ke Kamboja untuk menyemangati lima atlet tanah rencong yang tampil membela Indonesia di Sea Games 2023. Kelima atlet itu tampil di cabang olahraga dayung, esport, dan angkat besi. Hasilnya, atlet binaan KONI Aceh yang main di pesta olahraga Asia Tenggara ini mendulung empat emas, tiga perak tiga perunggu.
Bicara tentang prestasi yang diukir dua atlet angkat besi, Zul Ilmi dan Nurul Akmal, Rayuan Sukma punya cerita. Ia mengatakan, banyak teman-teman baik dari KONI Aceh maupun dari kalangan lain yang bertanya padanya. “Bagaimana perasan bapak terhadap kegagalan Ilmi dan Nurul meraih emas di Sea Games Kamboja?”
Dengan lapang dada, Rayuan merasa pertanyaan tersebut wajar. “Karena semua tahu bahwa saya adalah Ketua Umum PABSI Aceh yang setidaknya punya rasa khusus terhadap kegagalan Ilmi dan Nurul meraih Emas Sea Games Kamboja,” urai Rayuan.
Sea Games kali ini, keduanya hanya mampu mempersembahkan medali perak. Padahal, pada Sea Games di Vietnam, Ilmi sukses mendulang medali emas. Sedangkan Amel — panggilan Nurul meraih kepingan perak. “Namun, tidak satupun dari pertanyaan itu yang saya jawab,” ungkap mantan Kadispora Aceh ini.
Ada alasan kenapa pria berdarah ninggrat Aceh ini diam. “Karena kata orang bijak, rasa itu sulit diungkapkan dengan kata. Pengulangannya, rasa itu tidak bisa diwakilkan dengan kata, kalau pun kita memilih kata untuk mewakili rasa. Rasa pasti didustakan oleh kata,” Rayuan mengurai dalam nada filosofis.
“Jelasnya andaikan aku menceritakan apa yang aku rasakan saat ini, rasamu belum tentu sama dengan rasaku,” tukas Rayuan meminta pelaku olahraga untuk mencerna maksud luhur dari untaian katanya.
Tak cukup sampai disitu. Ia melanjutkan. “Semua kita pernah dengar pemeo seperti pungguk merindukan bulan. Pemeo ini diibaratkan suatu hal yang tidak mungkin terwujudkan. Konon ceritanya, sampai saat ini pungguk tetaplah pungguk dan bulan tetap dalam peredarannya,” lanjutnya.
Kata Rayuan, sejarah mencatat, pungguk dan bulan tidak akan pernah bertemu. Dan tinggallah sang pungguk dengan segenap angan-angannya. “Tapi seorang Zul Ilmi dan Nurul Akmal bukanlah pungguk. Mereka adalah dua pemimpi,” tukas dia lagi.
“Ilmi dan Nurul ingat petuah yang menyatakan ‘bermimpilah, karena tanpa mimpi tidak akan pernah ada kenyataan’. Keduanya tahu kalau sebuah kemenagan selalu diawali dari sebuah mimpi. Sekali lagi saya katakan, keduanya bukanlah pungguk. Hanya saja saat ini impian mereka belum mampu dijadikan kenyataan,” ungkap dia.
Rayuan tidak diam. Ia berdiri tegar di sisi panggung penghormatan. Netra elangnya melihat dua anak didik berembun. Menitik air mata. Itu ekspresi Ilmi dan Nurul yang kadung kecewa. Kedunya tak bisa mempersembahkan emas untuk Indonesia.
“Saat tangisan air mata keduanya waktu saya peluk di pelataran pangung penghormatan pemenang di Kamboja, saya bisikkan, ‘kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Kami salam panco bertiga. Air mata mereka sudah mengering,” ceritanya.
Kata Rayuan; hanya suara lara yang sangat mengiris sayup-sayup terdengar: “Maafkan kami pak…!!!. Suara hati dua lifter kebanggan Aceh itu begitu nelangsa. Tapi ia maklum. Ada kalanya menang, ada pula waktunya kalah. Sebab kekalahan adalah kemenangan yang tertunda.
“Hopefully, tomorrow will be better,” tutup Rayuan. *Munawardi Ismail