JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka mengatakan, Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( RUU TPKS) yang telah disetujui DPR jadi UU melalui rapat paripurna, dipimpin Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rapat Paripurna, Selasa (12/4/2022), sebagai wujud dari sejarah perjuangan panjang perempuan Indonesia.
Perjuangan itu, kata Diah, esensi dari perayaan Hari Kartini.
“Karena Kartini itu, dia berjuang untuk mendapatkan pendidikan bagi kaum perempuan, sama halnya ini kan bicara tentang pencerahan, kesadaran baru, sama halnya di momentum Kartini ini, kita merasakan bahwa UU TPKS ini sebagai sebuah bagian dari perjuangan perempuan untuk terus menghidupkan semangat Kartini di Indonesia,” kata Diah, sebagaimana dikutip dari relis yang diterima. wartawan, Sabtu (16/4), di Jakarta,
Untuk itu, Diah berharap, ada peningkatan pelayanan yang dihadirkan pemerintah dan memberi rasa keadilan bagi para korban kekerasan seksual.
Politikus PDI Perjuangan itu mengungkapkan, dalam proses pembahasan RUU TPKS yang luar biasa ini, lahir kesadaran publik yang tadinya masalah seksualitas itu dianggap masalah yang memaluka, sehingga orang kalau membicarakan persoalan kekerasan seksual, itu dianggap masalah pribadi-pribadi, masalah keluarganya.
Sementara kalau dibawa ke aparat penegak hukum kadang kesadaran mereka juga enggak semua paham.
“Terkadang itu dianggapnya, misalnya ada perempuan mengalami tindak perkosaan, pertama kali yang dilakukan pasti diam karena malu. Banyak juga kan teman-teman media mengangkat kasus sampai bunuh diri, atau mungkin kita nggak tahu ada juga mungkin yang sampai gila, karena dia menahan beban itu sendiri,” lanjutnya.
Diah menambahkan, selain membangun kesadaran publik, UU TPKS ini juga mengubah kultur yang tadinya tertutup menjadi terbuka, keterbukaan dalam melaporkan.
Tindak kekerasan seksual, ini juga satu hal yang baru dari undang-undang ini, lalu pendekatan hukum yang juga berbeda.
“Selama ini kekerasan seksual dilihatnya sebagai persoalan kesusilaan, jarang dilihat sebagai persoalan tindak pidana. Pendekatan hukum yang berbeda ini juga menarik menurut saya dalam kerangka hukum, yang pendekatannya berbeda dengan KUHP. Di KUHP masih ada tetap pasal-pasal yang dibahas dalam kerangka kesusilaan, ini yang yang menarik,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan mengatakan darurat kekerasan seksual adalah sinyal Indonesia harus memiliki payung hukum yang pro korban dan sistematis dalam penanganan kekerasan seksual, tak hanya penindakan tetapi juga perlindungan hingga pemulihan korban.
Ketua DPP PDI Perjuangan ini mengakui tanpa peran masyarakat sipil, UU TPKS tak akan mulus melewati proses politik di Senayan.
“UU TPKS bisa terwujud atas upaya bersama seluruh elemen Bangsa, termasuk masyarakat sipil yang terus menggaungkan, menyumbang ide dan pemikiran,” kata Puan.
Ditegaskan Puan dalam prosesnya, dia berkali-kali menerima audiensi perwakilan organisasi masyarakat, pakar dari perguruan tinggi, mahasiswa, pegiat media sosial, hingga perwakilan masyarakat lintas profesi yang concern terhadap UU TPKS.
“Sekalipun banyak korban kekerasan seksual datang dari kaum perempuan, tapi saya tahu betul banyak sekali kalangan laki-laki yang ikut memperjuangkan UU TPKS. Semua pihak terus berpartisipasi,” ujarnya.
Dia berharap agar UU TPKS yang baru saja disetujui DPR harus menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual.
“Saya atas nama Pimpinan memberikan apresiasi kepada seluruh Anggota DPR RI yang telah berkomitmen untuk bekerja optimal dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya yang dilakukan di masa sidang ini,” kata Puan.
Secara khusus, Puan juga menyinggung soal fungsi legislasi yang telah dilakukan dewan pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 ini.
“Semangat pembentukan Undang Undang TPKS, selain memenuhi kebutuhan hukum nasional juga untuk memberikan perlindungan bagi korban serta pemenuhan hak-hak korban secara tepat, cepat dan komprehensif,” ucapnya. (J05)