JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani sepakat dan mendukung terbitnya Undang-Undang ((UU) Perampasan Aset dari pelaku tindak pidana. Bagi koruptor, juga bisa dikenakan untuk tindak pidana yang lain, terutama membawa kerugian kepada negara, meskipun bukan karena korupsi.
Arsul mengingatkan pemerintah, semangatnya menerbitkan UU Perampasan Aset ini harus serius, yang tadinya masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 5 tahunan, namun belum didorong masuk ke dalam prolegnas tahunan, terutama Tahun 2022, sebagai RUU inisiatif pemerintah.
“Saya ingin menyampaikan untuk menjadi pemahaman kita semua, ketika kita bicara RUU Perampasan Aset, maka ini bukan hanya untuk tindak pidana korupsi saja, itu dulu yang harus diketahui,”ungkap Arsul dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Menakar Urgensi RUU Perampasan Aset” di Media Center DPR RI , Jakarta Selasa (20/9/2022).
.
Bentuk keseriusan itu, menurut Wakil Ketua MPR yang juga anggota Komisi III DPR RI itu, harus menata ulang politik hukum yang terkait dengan pemidanaan.
“Diperlukannya RUU Perampasan Aset, karena semua instrumen hukum acara pidana yang kita kenal tidak bisa memaksimalkan, katakanlah, pengembalian kerugian negara termasuk dalam tindak pidana Tipikor.
Kalau kita mengikuti instrumen yang ada di dalam hukum acara pidana baik di KUHAP maupun UU sektoral terkait, prosesnya lama, aset itu disita dulu atau diblokir dulu kalau itu rekening di bank.
Makanya namanya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Contoh, Tindak Pidana Narkotika, telah membawa kerugian kepada negara, karena negara terpaksa kemudian harus melakukan rehabilitasi dan kemudian menyembuhkan para pengguna narkotika.
Kemudian tindak pidana penyelundupan, juga merugikan negara, karena harusnya ada bea masuk, ada pajak impor yang dibayar.
“Jadi melalui forum ini, mohon disampaikan juga kepada Menko Polhukam, bagaimana pemerintah akan menata politik hukum dan jangan hanya sekedar mengatakan itu sudah diserahkan kepada DPR dan kemudian minta DPR untuk membahas, ini harus kita pikirkan. Saya pribadi atau fraksi PPP, di pembahasan RKUHP itu kita minta agar subsidair hukuman itu dihapuskan. kalau orang dijatuhi pidana penjara 5 tahun, denda 100 juta, dan kemudian uang pengganti (subsider) sekian, dia dipenjaranya 5 tahun, tapi begitu dia keluar dari penjara, kasih kesempatan. Sistem hukum kita harus memberikan kesempatan, apakah pelaku mau menyelesaikan denda dan uang penggantinya berapa lama, katakanlah kasih 6 bulan atau setahun. Kalau dia tidak bayar maka negara wajib mempalilitkan, maka selama dia belum membayar denda dan uang pengganti. Statusnya dia adalah menjadi orang yang pailit karena punya hutang, kewajiban kepada negara. Itu lebih dahsyat dampaknya, daripada subsideritas setahun atau bahkan 2 tahun,”tutur Arsul Sani.
Anggota Fraksi PKS Nasir Jamil mengatakan, dengan sejumlah latar belakang berbagai kasus memang ada pihak yang melihat bahwa sudah sangat penting RUU Perampasan Aset dijadikan Undang-Undang, sehingga kemudian akan meningkatkan potensi aset recovery yang selama ini memang gencar dilakukan oleh institusi aparat penegak hukum.
Menurut dia, ada mekanisme selama ini yang belum memadai, sehingga kemudian penegak hukum lebih banyak menempatkan pelaku-pelaku dipenjara atau di lembaga pemasyarakatan saja.
“Kemarin sudah keluar ada puluhan jumlahnya dan itu juga dikritik dan dikomentari terkait bebasnya puluhan napi korupsi tersebut, meskipun mereka sudah mendapatkan sesuai dengan haknya, tapi itulah Indonesiaku. Oleh karena itu, sekali lagi saya pribadi memberikan dukungan untuk RUU ini, tapi memang harus kita pastikan jangan sampai RUU ini saat menjadi undang-undang justru terjadi potensi penyalahgunaan,”tukas Nasir Jamil.
Pakar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad berpendapat, secara yuridis, memang ada alasan yang cukup urgen untuk dibahasnya RUU Perampasan Aset.
“Secara sosiologis saya kira juga sangat urgent, mengingat bahwa selama ini ada kendala-kendala terhadap upaya perampasan aset terhadap orang-orang yang tidak bisa diadili, misalnya pelaku korupsi meninggal dunia, bagaimana cara merampasnya mengingat yang bersangkutan itu tidak bisa diadili karena sudah meninggal tadi itu, apakah kemudian hartanya begitu saja kemudian dibiarkan, maka ini menjadi satu hal yang sangat mendesak, untuk kemudian mengambil alih hasil kejahatan tersebut.
Demikian pula juga ada bahwa para pelaku kejahatan-kejahatan itu sendiri juga belum bisa diadili misalnya karena kabur, karena sembunyi atau sengaja disembunyikan dan lain sebagainya, jadi melihat dari tiga sudut pandang tadi itu secara filosofis, sosiologis maupun yuridis, saya kira RUU ini memiliki urgensi.
Problemnya adalah bagaimana memformulasikannya regulasi tersebut,”ungkap Suparji Ahmad.(j04)











